Menyibak Bulukumba Toa 1900-1911 dari catatan antropolog Belanda BF Matthes

4 Mei 2022, 07:00 WIB
Ilustrasi warga Bulukumba pada tempo doeloe di zaman Hindia Belanda. /Dok. Rudy Tahas

WartaBulukumba -  Sulawesi Selatan termasuk Bulukumba di masa silam banyak direkam oleh antropolog Belanda, BF Matthes dalam bentuk catatan-catatan penting bernilai historis.

Dari beberapa catatan BF Matthes pula tersibak ihwal awal abad ke-16 adalah awal berkembangnya kekuatan ekonomi dan pertahanan pada kerajaan-kerajaan kecil yang ada di Bulukumba.

Pada masa itu beberapa kerajaan kecil ada di Bulukumba sebelum nama Bulukumba muncul.

Baca Juga: Menyingkap 'baku puli' di Bulukumba Sulawesi Selatan, tradisi seserahan penuh filosofi di acara pernikahan

Penamaan Bulukumba baru dibentuk setelah adanya pertentangan antara kerajaan Gowa dan Kerajaan Bone.

Beberapa kerajaan kecil pada masa itu yakni Kerajaan Tanete (Bulukumba Toa), Kerajaan Kindang, dan Kerajaan Ujung Loe.

Di kawasan timur Bulukumba terdapat kerajaan-kerajaan Suku Konjo yaitu Kerajaan Tiro, Kerajaan Hero Langnge-langnge, Kerajaan Kajang, Kerajaan Ara, Kerajaan Bira, Kerajaan Lemo Lemo, Kerajaan Tanah Beru, Kerajaan Batang, Kerajaan Tangnga, dan Kerajaan Sudiang.

Baca Juga: Menyingkap sejarah Masjid Taqwa Ponre di Bulukumba Sulsel, ternyata pendirinya adalah keturunan Raja Bone

Kerajaan Bulukumba Toa

Menurut catatan sejarah yang dinukil dari salah satu catatan BF Matthes, Karaeng Tunruang Daeng Makkelo Arung Bulukumba Toa (1900-1911) adalah sosok pemimpin yang berjiwa tegas dan amanah dalam menjalankan pemerintahan di era kolonial Hindia Belanda pada masa lalu.

Karaeng Tunruang Daeng Makkelo menjabat dua periode dengan SK yang diterbitkan oleh pemerintah kolonial Hindia Belanda di Cipanas Jawa Barat sebagai Arung Bulukumba Toa yang dewasa ini merupakan Kecamatan Bulukumpa.

Dalam struktural kepemimpinan, Karaeng Tunruang Daeng Makkelo  Arung Bulukumba membawahi Sullewatang dan Anrongguru Palambbara.

Baca Juga: Inilah tradisi unik masyarakat Bulukumba dalam bulan Ramadhan yang telah lama hilang

Karaeng Tunruang Daeng Makkelo juga membawahi Lompo Bulukumba Toa, Gallarang Bulo Bulo, Gallarang Jawi - Jawi, Gallarang Bintaronga, Gallarang Balangtaroang, Gallarang Kambuno, Gallarang Butta Keke dan Lompo Batu Karopa.

Karaeng Tunruang Daeng Makkelo merupakan anak kandung dari Panglima Perang Sinjai La Makkaroda Baso Kalaka Puang Lampe Uttu.

Semasa hidupnya, Karaeng Tunruang Daeng Makkeloini memiliki 9 anak dari 4 istri yang tersebar di Bulukumba dan sekitarnya yaitu Mandalle Daeng Tabunga, Palinjai Daeng Sibatu, Parojai Daeng Siame, Mabbakkasang Daeng Pajala, Massessareng Daeng Mapaccing, Indo Kati Daeng Risompa, Ture Daeng Manessa, Sebbe Daeng Tacinnong dan Eja.

Baca Juga: Pancasila sudah ada di Bulukumba ribuan tahun silam dalam tradisi demokrasi Ammatoa Kajang

Sumber data tersebut berdasarkan catatan dari BF Matthes pada tahun 1864, seorang antropolog Belanda yang banyak mewariskan karya ihwal Sulawesi selatan di masa silam.

Karya-karya  BF Matthes tentang orang Bugis Makassar sangat lengkap. Mulai dari kamus Bugis-Makassar-Belanda, penulisan ulang epos I La Galigo, atlas hingga terjemahan bibel dalam bahasa Bugis.

Lelaki yang bernama lengkap Benyamin Fredricus Matthes ini menginjakkan kaki di Tanete Barru Sulawesi Selatan sekitar tahun 1852 dan bertemu Colliq PujiE Ratna Kencana Arung Pancana Toa.

Baca Juga: Lontara: cara mengeja Bulukumba dan membaca Sulawesi Selatan dari pojok sejarah

BF Mathes sangat tertarik untuk mengetahui Epos Ilagaligo dan mengantarkannya pada wawancara mendalam dengan Colliq PujiE. Dari Colliq PujiE lah, Matthes dapat mengumpulkan bahan-bahan Sureq La Galigo hingga terkumpul menjadi 300.000 baris.

BF Matthes dinilai sangat berjasa menyelamatkan warisan budaya dunia, sebuah karya sastra terbesar didunia.

Bisa dikatakan, Colliq PujiE adalah guru bahasa Matthes. Sehingga bukan hanya mengumpulkan Sureq La Galigo, namun BF Matthes juga berhasil menyusun kamus Bugis-Makassar-Belanda yang terbit 1874.

Baca Juga: Refleksi Sumpah Pemuda dan perjuangan Andi Sultan Daeng Radja, Pahlawan Nasional Indonesia dari Bulukumba

BF Matthes juga menyusun atlas etnografi, yang menggambar dengan sangat teliti bentuk rumah, peralatan ritual bissu, peralatan besi, peralatan penangkap ikan dan berbagi kehidupan sehari-hari orang bugis makassar. 

BF Matthes berumur sekitar 90 tahun dan meninggal 1908. BF Matthes meninggalkan banyak karya yang kelak menjadi referensi penting bagi mereka yang ingin mempelajari budaya Bugis Makassar.

Pada pertengahan abad 19 Masehi, berkembang teknologi cetak aksara Lontara yang diprakarsai oleh BF Matthes.

Baca Juga: Melintasi Bulukumba di antara garis sejarah, mitos, dan demografis

BF Matthes dikomisikan oleh Lembaga Penginjilan Belanda untuk mempelajari bahasa-bahasa yang digunakan di Sulawesi Selatan dengan tujuan menghasilkan kamus, materi tata bahasa, dan terjemahan Injil yang layak bagi bahasa-bahasa tersebut.

BF Matthes tiba di Makassar pada tahun 1848 M dan tinggal di sana selama sepuluh tahun.

Dia bekerja sama dengan percetakan Tetterode di Rotterdam, sebuah font cetak untuk aksara Lontara yang Matthes anggap cukup memuaskan selesai diproduksi pada tahun 1856, dengan beberapa suntingan selama beberapa tahun ke depannya. Sejak itu, bacaan sastra Makassar dan Bugis, dengan font Lontara yang digubah Matthes, dapat dicetak massal dan menjadi lumrah beredar di khalayak umum.

Istilah Andi untuk bangsawan di Sulawesi Selatan digagas oleh BF Matthes

Baca Juga: Bertandang ke rumah filosofi Ammatoa Kajang di Bulukumba

Setelah Belanda berhasil menguasai Sulawesi Selatan sepenuhnya, pemerintah kolonial mulai bisa mengintervensi kerajaan. Makanya, pemerintahan kolonial butuh tenaga-tenaga ahli dari kaum terpelajar.

Belanda kemudian mendirikan sejumlah sekolah lanjutan atau setara SMP. Salah satunya adalah Mulo dan Holland Indlands Kwekschool atau HIK.

Anak-anak bangsawan yang telah berhasil menyelesaikan pendidikan di sekolah yang telah ditentukan Belanda itu kemudian akan memperoleh gelar Andi di depan nama mereka.

Hal ini juga diurao dalam buku berjudul "Sejarah, Masyarakat dan Kebudayaan Sulawesi Selatan" karya Prof Dr Mattulada.

Prof Dr Mattulada mencatat bahwa jika ingin mengikuti sekolah dari tingkat HIS atau sekolah pamong praja yang lazim disebut sekolah raja, maka setiap siswa harus menyertakan stamboom atau daftar silsilah keturunan dan lembar pernyataan kesetiaan pada pemerintah Hindia Belanda.

Mattulada mencatat penggunaan gelar Andi ini dimulai sekitar tahun 1930 oleh para kepala swapraja dan keluarga bangsawan untuk memudahkan identifikasi keluarga raja.

Jadi istilah gelar Andi diberikan oleh Belanda untuk membedakan bangsawan Sulawesi dengan yang terdidik atau bangsawan biasa.

Para bangsawan terdidik ini sengaja diberi gelar sendiri dan nantinya dipersiapkan oleh Belanda untuk mengisi jabatan-jabatan penting atau jabatan pemerintahan.

Hingga saat ini penggunaan gelar Andi ini masih digunakan oleh para keturunan bangsawan dan tetap menyematkannya di depan nama anak-anak atau keturunan mereka.***

Editor: Nurfathana S

Tags

Terkini

Terpopuler