Radhar Panca Dahana menutup usia

- 22 April 2021, 22:54 WIB
Radhar Panca Dahana.
Radhar Panca Dahana. /Jurnal Medan

WartaBulukumba - Radhar Panca Dahana menutup usia di malam yang baik dan bulan yang baik.

Ulama dan sastrawan KH Mustofa Bisri tetiba mengabarkan duka itu melalui akun Instagram-nya @s.kakung, pada Kamis malam 22 April 2021, pukul 23.00 Wita.

"Innã liLlãhi wainnã ilaiHi rãji'űn...
Malam ini mendengar berita: satu lagi saudaraku yang baik, Radhar Panca Dahana pulang ke rahmat Allah.
Pejuang kebudayaan yang tulus itu wafat di malam baik di bulan baik. Semoga Allah menerima segala amal baiknya dan mengampuni segala kesalahan-kesalahannya. Allahummaghfir lahu warhamhu wa'ãfihi wa'fu 'anhu... Al-Fãtihah.
Semoga keluarga yang ditinggalkannya dianugerahi kekuatan dan ketabahan. AzhzhamaLlãhu ajrahum wa ahsana azã-ahum," unggah KH Mustofa Bisri.

Baca Juga: Kajian Perpres sudah final, potong gaji ASN untuk bayar zakat

Indonesia dan juga dunia mengenal Radhar Panca Dahana sebagai seorang esais, sastrawan, kritikus sastra, dan jurnalis. Ia pun bergiat sebagai pekerja dan pengamat teater. Belakangan Radhar juga kerap muncul dalam kanal YouTube pribadinya dengan konten esai politik.

Timbunan karya esai, kritik, karya jurnalis, kumpulan puisi, naskah drama, pertunjukan teater, dan beberapa buku tentang teater lahir dari jejari, imajinasi, dan pemikirannya.

Siapakah sebenarnya Radhar Panca Dahana? Berikut penggalan jejaknya, telusur WartaBulukumba pada berbagai sumber.

Baca Juga: Prostitusi online melalui MiChat pekerjakan anak-anak dibawah umur

Radhar mulai menghirup udara dunia di Jakarta pada 26 Maret 1965. Nama Radhar sebenarnya merupakan singkatan nama kedua orang tuanya: Radsomo dan Suharti.

Ia anak kelima dari tujuh bersaudara yang seluruhnya juga mempunyai nama depan Radhar. Kehidupan masa kecilnya sangat keras.

Ayahnya pernah difitnah sebagai simpatisan komunis. Ia mendidik anak-anaknya dengan disiplin tinggi. 

Orang tuanya punya mimpi agar Radhar menjadi pelukis, sedangkan ia menyukai teater dan menulis. 

Baca Juga: PBB: Jutaan warga Myanmar terancam kelaparan

Pada akhir tahun 1970, Radhar sering pergi meninggalkan rumahnya di Lebak Bulus, Jakarta Selatan.

Ia kemudian menjadi penghuni kawasan Bulungan, tempat di mana Radhar mengalami tempaan dan pahatan menjadi seorang sastrawan.

Karya pertama Radar dimuat di harian Kompas. Saat duduk di bangku kelas dua SMP, ia menjadi redaktur tamu majalah Kawanku. Selama beberapa bulan, ia membantu menyeleksi naskah cerpen dan puisi yang masuk.

Ia mulai mengarang cerita pendek, puisi, dan membuat ilustrasi ketika duduk di kelas tiga SMP. Beberapa karyanya, di antaranya, dimuat di majalah Zaman, yang waktu itu redakturnya adalah Danarto. Radhar menggunakan nama samaran Reza Morta Vileni.

Baca Juga: Kasus infeksi harian Covid-19 di India lampaui rekor global

Nama samaran itu diilhami oleh nama teman sekolahnya, Rezania, yang piawai berdeklamasi. Saat sekolah SMA di Bogor ia juga sempat bergabung dengan Bengkel Teater Rendra. Namun, Radhar berselisih dengan Rendra mengenai manajemen grup. Akhirnya, ia mengundurkan diri.

Ia menuruti anjuran Anto Baret untuk melanjutkan studi ke perguruan tinggi. Harapannya diterima di Studi Ekonomi Pembangunan, Universitas Pajajaran, gagal.

Ia diterima di sosilogi, UI. Mata kuliahnya diselesaikan dalam waktu 2,5 tahun. Teater dan kerja jurnalistik kembali menggodanya sehingga ia tidak acuh pada tata adminitrasi di kampusnya.

Saat ia akan pergi ke Prancis, barulah ia mengurus masalahnya itu. Tahun 1997, Radhar melanjutkan studi di Ecole des Hautes Etudes en Science Sociales, Prancis, dengan meriset postmodernisme di Indonesia. Baru setahun, Radhar pulang ke Indonesia dan membatalkan fasilitas studi yang harusnya mencapai tingkat doktoral.

Baca Juga: Edy Manaf diharapkan emban amanah sebagai Ketua Kwarcab Pramuka Bulukumba

Pada waktu itu di Indonesia sedang terjadi kekacauan politik dan ketidakstabilan keamanan akibat tergulingnya Suharto dari kursi presiden.

Sepulang dari Prancis, Radhar mengalami stres berat. Ia divonis gagal ginjal kronis, acute renal failure dan cjronic renal failure, pembunuhan sel ginjal secara perlahan. Dua buah ginjalnya dinyatakan sudah mati. 

Salah satu pencapaiannya adalah saat mengelola rubrik “Teroka” di harian Kompas, memimpin Federasi Teater Indonesia, Bale Sastra Kecapi, dan Teater Kosong yang ia dirikan serta pengajar di Universitas Indonesia.

Radhar Panca Dahana lama menetap di Tangerang bersama istri dan seorang anaknya. Ketika Arswendo Atmowiloto membuat Koma (Koran Remaja) pada akhir 1970-an, Radhar turut terlibat sebagai reporter dan menandai kiprahnya sebagai jurnalis.

Baca Juga: Fadly Zon kembali sorot kasus pembantaian 6 laskar FPI

Ia mencantumkan nama aslinya Radhar sebagai reporter dan Reza sebagai penata artistik. Pada periode itu produktivitasnya mengarang cerpen remaja sangat tinggi. Waktu itu terbit berbagai majalah kumpulan cerpen di Jakarta, seperti Pesona dan Anita, menjadi tempat penampungan karyanya.

Cerpen Radhar Panca Dahana kala itu juga mengisi media massa cetak, seperti majalah remaja Gadis, Nona, dan Hai, bahkan, majalah dewasa, seperti Keluarga, Pertiwi, dan Kartini.

Karier Radhar sebagai jurnalis pemula semakin berkembang ketika ia diterima bekerja di harian Kompas. Valens Doy, wartawan senior berpengaruh, menempatkannya sebagai pembantu reporter atau reporter lepas. Ia diminta menulis rubrik apa saja: olahraga, kebudayaan, pendidikan, berita kota tentang kriminalitas, dan hukum.

Baca Juga: Safari Ramadhan Pemkab Bulukumba tahun ini sangat berbeda

Radhar Panca Dahana menulis banyak buku, di antaranya: Homo Theatricus, Menjadi Manusia Indonesia (esai humaniora, 2002), Jejak Posmodernisme (2004), Inikah Kita; Mozaik Manusia Indonesia (esai humaniora, 2006), Dalam Sebotol Coklat Cair (esai sastra, 2007).

Buku antologi puisinya, antara lain, Simponi Duapuluh (1988) dan Lalu Waktu (2003) 

Kumpulan cerpennya, antara lain: Masa Depan Kesunyian (1995), Ganjar dan Si Lengli (1994),  Cerita-Cerita dari Negeri Asap (2005).

Kumpulan dramanya: Metamorfosa Kosong (2007).

Baca Juga: Sudjiwo Tedjo: mengenang Kartini baiknya juga mengenang Kartono

Memimpin kelompok Teater Aquilla, Telaga, dan Teater Kosong Radhar Panca Dahana terpilih sebagai satu di antara lima seniman muda masa depan Asia versi NHK (1996).

Ia juga pernah meraih Paramadina Award (2005), serta menjadi Duta Terbaik Pusaka Bangsa dan Duta Lingkungan Hidup (sejak 2004).

Pada tahun 2007 Radhar menerima Medali Frix de le Francophonie 2007 dari lima belas negara berbahasa Prancis.***

Editor: Alfian Nawawi


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah