Ia anak kelima dari tujuh bersaudara yang seluruhnya juga mempunyai nama depan Radhar. Kehidupan masa kecilnya sangat keras.
Ayahnya pernah difitnah sebagai simpatisan komunis. Ia mendidik anak-anaknya dengan disiplin tinggi.
Orang tuanya punya mimpi agar Radhar menjadi pelukis, sedangkan ia menyukai teater dan menulis.
Baca Juga: PBB: Jutaan warga Myanmar terancam kelaparan
Pada akhir tahun 1970, Radhar sering pergi meninggalkan rumahnya di Lebak Bulus, Jakarta Selatan.
Ia kemudian menjadi penghuni kawasan Bulungan, tempat di mana Radhar mengalami tempaan dan pahatan menjadi seorang sastrawan.
Karya pertama Radar dimuat di harian Kompas. Saat duduk di bangku kelas dua SMP, ia menjadi redaktur tamu majalah Kawanku. Selama beberapa bulan, ia membantu menyeleksi naskah cerpen dan puisi yang masuk.
Ia mulai mengarang cerita pendek, puisi, dan membuat ilustrasi ketika duduk di kelas tiga SMP. Beberapa karyanya, di antaranya, dimuat di majalah Zaman, yang waktu itu redakturnya adalah Danarto. Radhar menggunakan nama samaran Reza Morta Vileni.
Baca Juga: Kasus infeksi harian Covid-19 di India lampaui rekor global
Nama samaran itu diilhami oleh nama teman sekolahnya, Rezania, yang piawai berdeklamasi. Saat sekolah SMA di Bogor ia juga sempat bergabung dengan Bengkel Teater Rendra. Namun, Radhar berselisih dengan Rendra mengenai manajemen grup. Akhirnya, ia mengundurkan diri.