Kutukan rakyat yang tergusur dari tanah leluhur pasti didengar Tuhan

3 Oktober 2023, 05:00 WIB
Ilustrasi para wanita ikut serta dalam aksi bela Rempang di Kota Banda Aceh. /Kilasaceh.com/Syaiful Anshori

WartaBulukumba.Com - Berbincang dengan pengamat sosial budaya, Jacob Ereste, dari Atlantika Nusantara Institute, selalu memunculkan ruang-ruang pemikiran yang bergairah. Dalam sebuah wawancara online, Jacob Ereste tidak eksplisit menyebut nama kasus maupun peristiwa namun secara implisit menguar dari jejak-jejak teranyar di republik ini. Sebut saja Rempang, misalnya.

Indonesia di bagian timur baru saja bangun dari tidur, ayam jantan kabarkan pagi saat WartaBulukumba.Com pada Selasa, 3 Oktober 2023, menelisik pemikiran dan pandangan Jacob Ereste di seputar ihwal kondisi terkini negeri yang berbagao sudutnya sedang 'membara'.

"Menanamkan kebencian kepada rakyat itu tidak berbeda dengan menanamkan dinamit di dalam rumah," kata Jacob Ereste.

Baca Juga: Luas lahan untuk proyek di Pulau Rempang hanya 7.500 hektar! Mengapa harus ada penggusuran?

Pada saatnya kelak, lanjutnya, dinamit itu akan meledak juga. Maka mengusir, membuldozer atau pun mengosongkan warga dari tempat huniannya yang telah turun temurun mereka tempati -- apapun dalihnya -- akan menimbulkan kutukan.

"Sebab di tempat hunian itu sudah menjadi bagian dari sejarah, budaya serta harapan penghidupan anak cucu mereka hari ini dan di masa datang," ujarnya.

Dia menegeaskan, orang-orang yang terusir dari tanah kelahirannya akan bersumpah serapah, sebab makam para leluhur mereka pun tak rela ditinggal begitu saja. Kecuali itu, kesadaran dari mereka yang hendak digusur sangat paham bila hak serta ketenteraman hidup mereka diusik, para leluhur mereka pun tidak rela untuk menerima begitu saja.

Baca Juga: Kasus Pulau Rempang: Ada konspirasi investasi terselubung?

"Maka itu, sekecil apapun perlawanan harus dan wajib untuk dilakukan. Setidaknya agar tak balik dikutuk oleh para leluhur yang telah mewariskan segenap tata budaya serta tuntunan hidup yang baik dan harmoni," tutur Jacob Ereste dengan wajah serius.

Dia menekankan pula, itulah sebabnya dalam sengketa pertanahan orang berani memasang lehernya untuk dipenggal, atau harus memenggal leher mereka yang mengusir itu.

Tuah Tanah Leluhur

"Karena beban sejarah, budaya serta segenap warisan leluhur sudah tertanam di tempat pemukiman mereka. Dan mereka pun paham artinya kemerdekaan -- tak ingin mengusik orang lain -- juga tak hendak diusik oleh siapapun juga. Meski pada akhirnya harus kalah, toh perlawanan tetap dilakukan agar supaya para leluhur tidak menyesali keberanian dan tekad hidup dari anak keturunannya," ungkap Jacob Ereste.

Baca Juga: Pulau Rempang: Antara warisan sejarah dan investasi besar

Ibarat sejengkal tanah warisan itu telah memiliki tuah. Tidak sedikit di antara penduduk setempat yang beranggapan pamali bila untuk memindah tangankan tanah atau lahan warisan itu -- utamanya ladang dan pekarangan rumah yang merupakan peninggalan dari warisan para leluhur mereka.

"Atas dasar pemahaman serupa itu, maka tanah sejengkal itu pun tidak bisa dibandingkan dengan lahan yang berlipat ganda luasnya di tempat lain. Karena nilai lahan atau pekarangan rumah maupun kebun yang telah diolah bertahun-tahun dan telah mencatat semua peristiwa dan sejarah masa lalu dari keluarga tersebut, tidak lagi bisa dinilai dengan luas dan lebar secara fisik, sebab lahan atau pekarangan termasuk kebun yang telah diolah secara turun temurun itu memiliki nilai lebih -- sakral dan spiritual sifatnya -- yang tidak mungkin disetarakan secara fisik semata," urainya.

Mereka yang kalah mempertahankan tanah, lanjut Jacob ereste, lahan dan pekarangan atau bahkan kebun tempat mereka bercocok tanam untuk memenuhi kebutuhan hidup secara turun temurun, ketika kalah dan harus tergusur karena keangkuhan buldozer penguasa, termasuk mereka yang cuma dijadikan alat penggusur oleh pengusaha -- akan dikutuk seumur hidup sampai ke ujung akhirat.

Baca Juga: Kisruh Rempang: Pengamat peringatkan kemarahan rakyat kian meluas jika pemerintah tetap lakukan penggusuran

"Karena bukan saja telah membuat dera dan derita anak istri serta keluarga mereka yang lain, tapi dera dan derita yang berkepanjangan itu akan mereka bawa sampai mati agar kelak dapat disampaikan langsung kepada Tuhan," ungkapnya.

Dalam semua keyakinan agama, urai Jacob Ereste, semua orang percaya bahwa perbuatan baik itu sangat disukai oleh Tuhan. Sebaliknya, perlakuan yang buruk, jahat dan keji serta zalim sangat dibenci oleh Tuhan.

"Lain ceritanya untuk mereka yang tidak percaya pada tuntunan dan ajaran agama, dan mereka yang tidak beragama. Karena semua perbuatan itu -- baik atau buruk -- kelak akan mendapatkan balasan yang juga setimpal," tandas Jacob Ereste.***

Editor: Sri Ulfanita

Tags

Terkini

Terpopuler