Jejak perjalanan jurnalistik lelaki kelahiran Tanjung Bira Bulukumba Wakil Ketua PWI Sulsel

- 26 September 2022, 01:47 WIB
Jejak kewartawanan Usdar Nawawi dapat ditemukan dalam dua buku ini.
Jejak kewartawanan Usdar Nawawi dapat ditemukan dalam dua buku ini. /WartaBulukumba.com

Setelah menimba ilmu dan praktik jurnalistik di mingguan bertiras besar di Sulsel itu, Usdar berpikir mencari suasana baru. Tahun 1984, dia pindah ke Harian Berita Buana, Jakarta dengan wilayah tugas di Sulawesi Selatan. Di situ dia berkenalan dengan Moelawarman dan Ajiep Padindang. Namun cuma satu tahun bertahan, Ketua Yayasan Pers Indonesia (1986-1988) ini kemudian pindah ke Majalah FAKTA Surabaya. Waktu itu, Majalah FAKTA mencapai oplag 10.000 eksemplar yang beredar di Sulsel. Di majalah inilah dia menjalani hari-harinya sebagai wartawan Hukum dan Kriminal selama 8 tahun untuk wilayah Sulawesi Selatan.

Sekali waktu, dia memprogramkan untuk membongkar praktik prostitusi di sejumlah warung remang-remang di salah satu kabupaten, dekat perbatasan dengan salah satu kota madya. Lelaki yang pernah berkiprah sebagai Eksekutif Penerbitan Majalah “Potensi” ini berpikir, wah…, ini sudah tidak benar. Daerah yang dipimpin Mansyur A.Sultan waktu itu, sekitar tahun 1986, dikenal dalam sejarah sebagai daerah santri yang sangat diperhitungkan. Kok bisa-bisanya praktik haram itu tumbuh dengan aman di daerah itu.

Menggunakan sepeda motor butut, anggota Dewan Redaksi Tabloid “Gema” tersebut – ketika itu --, pun meluncur dari Makassar ke daerah yang dimaksud. Setelah melewati kota, dia tiba di lokasi, tempat terdapat delapan warung remang-remang yang sedang ramai ditandangi pengunjung.

Para pengunjung ini rupanya dari kalangan sopir truk angkutan barang yang getol singgah minum kopi, sambil menikmati kehangatan Penjaja Seks Komersial (PSK) yang berkedok sebagai penjaga warung. Setiap warung dilengkapi dengan sedikitnya tiga kamar tempat berkencan.

Dinding kamarnya terbuat dari bahan bambu, yakni “gamacca” (gedek), dengan ukuran kamar 2 X 3 m2. Itulah potret rumah bordil kelas kambing. Di depan warung memang banyak truk yang parkir.

Hampir tengah malam, sang Dewan Redaksi Tabloid Borgol (2001-2010) ini masuk ke salah satu warung dengan menyamar sebagai tamu yang kemalaman dalam perjalanan ke Parepare.

Dia memesan secangkir kopi, sekalian minta satu kamar untuk menginap, plus disiapkan seorang pelayan wanita yang tak lain adalah PSK kelas kambing itu. Meski kelas kambing, mereka cantik juga tampaknya. Sebab, lampu warungnya remang-remang, yang dipadu warna merah dan kuning. Seandainya PSK-nya sudah nenek-nenek, mungkin saja masih bisa dikira cantik, bak gadis 19 tahun. Bah !

Saat semua warung sedang ramai-ramainya, tempat wartawan yang berani jalan sendirian ini, masih menikmati kopi dan pelan-pelan mengorek informasi dari PSK yang duduk di dekatnya, tiba-tiba datang polisi dua truk melakukan penggerebekan. Seluruh warung digerebek, Semua PSK-nya diangkut ke kantor Polsek setempat.

Selama penggebekan yang berlangsung sekitar setengah jam, Usdar merasakan juga dag dig dug kencang di jantungnya. Jangan-jangan polisi juga akan mempersilakan dia ikut naik ke truk. Apa kata dunia nanti. Tapi anehnya, satu-satunya PSK yang tidak digelandang ke truk polisi, cuma PSK yang duduk di samping si “wartawan asal Tanjung Bira” ini.

Kemudian, seorang polisi mendekat dan berkata :
“Pak, bapak tenang-saja di situ. Tak usah khawatir .. Ini perintah Kapolres,” bisik seorang polisi yang tiba-tiba merapat ke Usdar yang membuat dia menjadi bingung juga, apa maksud polisi ini. PSK yang diinvestigasi Usdar itu memang tidak ditangkap, tapi juga sudah lari ketakutan entah ke mana.

Halaman:

Editor: Sri Ulfanita


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah

x