Jejak perjalanan jurnalistik lelaki kelahiran Tanjung Bira Bulukumba Wakil Ketua PWI Sulsel

- 26 September 2022, 01:47 WIB
Jejak kewartawanan Usdar Nawawi dapat ditemukan dalam dua buku ini.
Jejak kewartawanan Usdar Nawawi dapat ditemukan dalam dua buku ini. /WartaBulukumba.com

Pada tahun 1979, Usdar bersama sejumlah rekan penulis muda, mendirikan organisasi Ikatan Pemuda Penulis Indonesia (IPPI) Makassar yang diketuai Asmianto Amin, wartawan PR yang kini sudah bermukim di Jakarta. Usdar dipercaya menjadi Sekum IPPI. Pengurus IPPI saat itu dilantik oleh Ketua PWI Sulsel, Rachman Arge, di Ford Rotterdam Benteng Ujungpandang. Ide pembentukan IPPI tersebut, muncul di Taman Macan, yakni lapangan segi tiga yang terletak di Jl.Balaikota - Jl.Sultan Hasanuddin.

Melamar Jadi Wartawan

Tahun 1980, dia berkunjung ke Redaksi Surat Kabar Mingguan “Mimbar Karya” di Jl.Achmad Yani. Di situ juga berkantor dua surat kabar lainnya, yakni Harian “Fajar” dan Harian “Tegas” yang terbit sore hari.
Usdar memperkenalkan diri ke seorang redaktur, yakni Nasir Tongkodu. Dan, tak disangka-sangka ternyata Nasir sudah mengenal nama Usdar melalui sejumlah tulisannya di PR. Hari itu juga Usdar dihadapkan ke Pimpinan Redaksi, Gani Haryanto (alm.), dan langsung diterima menjadi wartawan, tanpa tes dan tanpa surat lamaran.

“Kamu sejak hari ini diterima jadi wartawan ‘Mimbar Karya;, dan ditugaskan sebagai Wartawan Ekonomi dan Pertanian” kata Gani Haryanto almarhum.
Tugas pertamanya, meliput sukses KUD Mattirobulu di Bulukumba, yang berhasil menjadi KUD terbaik di Indonesia pada saat itu. Karena memang kampungnya sendiri, maka tak begitu sulit bagi Usdar menjangkau KUD Mattibulu yang terletak di Gangking (Gantarang Kindang).

Dengan kamera otomatis pinjaman dari tetangga, Usdar pun meluncur ke KUD Mattirobulu dengan menumpang bus. Dia menempuh jarak 150 km ke arah selatan. Inilah pengalaman pertamanya melakukan perjalanan jurnalistik dengan tustel pinjaman milik tetangga sebelah rumah.

Di KUD Mattirobulu, ternyata dia diterima dengan sangat ramah oleh Ibnu, Ketua KUD yang didampingi beberapa pengurus lainnya. Maklum, “Mimbar Karya” saat itu beredar luas di seluruh pelosok daerah Sulsel sebagai koran spesialis masuk desa.

Seharian Usdar di KUD tersebut mengumpulkan bahan tulisan, sambil melakukan pemotretan ke sana-kemari, hingga para pengurus dan karyawan yang dipotret berkali-kali, jadi capek bergaya. Maklum saja, dia juga baru pertama kali memotret untuk keperluan berita. Dia serba hati-hati memang saat memotret. Takut hasilnya jelek. Apalagi, lokasi dan objek pengambilan gambarnya jauh dari Kota Makassar.

Sekembali ke Makassar, kamera yang berisi rol film 36 kutip itu, langsung dibawa ke tukang cuci foto Beng Seng di Jl.Sulawesi. Toko ini, milik warga keturunan, yang sejak dulu sudah dikenal keterampilan mencuci-cetak foto hitam putih. Banyak wartawan senang mencetak foto mereka di sini, karena hasilnya bagus. Kualitas kertasnya mengkilap dan itu sangat disukai teman-teman wartawan.

Di benaknya, kira-kira ada 30-an hasil foto yang sisa dipilih untuk dimuat, sebagai gambar pendukung berita. Beng Seng, si pemilik tempat cuci foto itu, terlihat alisnya mengerut saat membolak-balik pembungkus rol film itu di dalam kain hitam. Seolah-olah ada sesuatu yang terasa aneh. Usdar seperti menangkap firasat tak beres dengan hasil pemotretannya. Jangan-jangan berantakan semua.

"Rol filmnya tak bisa dicuci karena dalam keadaan kosong. Tak ada gambar,’’ kata pemilik cuci foto Beng Seng yang membuat Usdar nyaris ‘pingsan’.

Apa yang terjadi? Ternyata, ketika Usdar memasang rol film ke dalam kamera, tidak rapat ke cantolannya sehingga bila pemutar rol otomatis diaktifkan, rol film tidak ikut terputar. Masya Allah. Namanya juga baru pegang kamera. Tustel tetangga pula.

Halaman:

Editor: Sri Ulfanita


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah

x