Jejak perjalanan jurnalistik lelaki kelahiran Tanjung Bira Bulukumba Wakil Ketua PWI Sulsel

- 26 September 2022, 01:47 WIB
Jejak kewartawanan Usdar Nawawi dapat ditemukan dalam dua buku ini.
Jejak kewartawanan Usdar Nawawi dapat ditemukan dalam dua buku ini. /WartaBulukumba.com

Hasyim Ado yang penanggung jawab siaran, tentu saja tak mau tinggal diam menghadapi :serangan” itu. Dia pun membuat artikel sanggahan ke PR untuk menangkis kritikan Awang, lelaki yang ketika masih hidup selalu menunggang sepeda motor vespa itu.
Persoalannya, pada artikel tersebut nama penulisnya bukan Hasyim Ado, tetapi atas nama Usdar Nawawi. Padahal saat itu Usdar sedang berlibur di kampung.

Mengapa bisa demikian ? Pertimbangannya ternyata ialah, agar di struktur RRI tidak tampak berhadapan langsung dengan kritikan Awang Bayu Asmara. Bukan Hasyim Ado yang melawan Awang, melainkan Usdar. Silakan saja Awang berpolemik dengan Usdar. Padahal yang sibuk bikin artikel adalah Hasyim Ado.

Yang menjadi persoalan kemudian, beban moral yang harus ditanggung oleh Usdar. Dia tak masalah bila namanya dipasang sebagai penulis artikel yang sedang berpolemik dengan seorang wartawan senior sekelas Awang. Tapi masalahnya, apakah pada hari-hari ke depan nantinya, dia bisa menulis artikel sendiri menyamai kualitas tulisan seniornya, Hasyim Ado? Di situ persoalannya. Tujuh hari tujuh malam Usdar susah tidur memikirkannya.

Usdar memang sangat grogi dibuatnya. Seorang anak kampung yang tak pernah menulis artikel di koran besar, tiba-tiba namanya muncul sebagai penulis pada artikel hebat yang berpolemik kencang dengan seorang wartawan senior.

Yang baru dia miliki masih sebatas membuat majalah kampus, yang notabene masih lebih banyak demi kepentingan pengembangan bakat belaka. Apa mungkin tulisan, karyanya sendiri, nanti bisa lolos muat di PR, mengingat media ini adalah harian terbesar di Indonesia timur pada saat itu. Standarnya tentu bukan level majalah kampus yang iseng sebagai penyalur bakat.

Namun di balik itu, Usdar merasa tertantang. Dia harus bisa menulis artikel sendiri ke PR, tentang apa saja yang bisa ditulis. Sudah terlanjur namanya kok muncul di koran besar.

Sebulan berikutnya, dia membawa tiga judul artikel ke Redaksi PR di Jl.A. Mappanyukki, dengan perasaan harap-harap cemas. Apa artikelnya bisa termuat di surat kabar, atau mungkin akan menuju ke tong sampah. Biasa, begitulah kekhawatiran para penulis pemula membayangkan nasib artikel yang disetornya ke media, apalagi sekelas PR kala itu.

Dua hari kemudian, bertepatan dengan peringatan Hari Ibu, artikelnya yang berbicara tentang Hari Ibu, benar-benar dimuat PR. Saat itu, perasaannya benar-benar senang luar biasa. Dirinya seolah terbang ke langit. Kepalanya terasa membesar dengan rambut terasa berdiri kencang laksana duri landak.

Pada bulan itu juga, tiga artikelnya termuat semuanya. Dan, di situ pula dia pertama kalinya merasakan kebanggaan luar biasa, yakni pada saat menerima honor tulisannya yang dibayar Rp.3.500 per judul, dengan total honor Rp.10.500. Jumlah ini sesuatu yang sangat berarti pada masa itu.

Sejak itulah, Usdar menjadi salah seorang penulis di PR yang cukup produktif, bersama Oemar Labetubun, Jurlan Em Sahoas, Hasanuddin Hamid, Mappinawang, dan sejumlah penulis artikel lainnya. Tak hanya di PR, Usdar saat itu juga rajin menulis di Harian Fajar, Harian Terbit Jakarta, Berita Buana Jakarta, dan di sejumlah koran lainnya.

Halaman:

Editor: Sri Ulfanita


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah

x