Imbauan agar rakyat mengonsumsi ubi pertanda kegagalan fatal pemerintah

5 Oktober 2023, 22:25 WIB
Ilustrasi rakyat kelaparan - Imbauan agar rakyat mengonsumsi ubi pertanda kegagalan fatal pemerintah /Pixabay/billycm

WartaBulukumba.Com - Bayangkan jika ada sepiring ubi dari hasil panen di kebun belakang rumah. Sejurus kemudian berpindah ke perut. Mungkin saja mengenyangkan. Bagaimana halnya dengan harga ubi yang juga liar di pasar? Mencoba melihat Indonesia dari relung-relung terdalam, ada perbincangan menarik dengan pengamat dari Atlantika Nusantara Institute, Jacob Ereste.

Melalui wawancara online dengan WartaBulukumba.Com, Jacob Ereste menguraikan banyak perihal. Hal itu bermuara pada kesimpulan bahwa ada pertanda kegagalan fatal pemerintah.

"Rentenir itu cara pemberi hutang untuk menjerat mereka yang berhutang. Padahal masalah utang piutang sangat tidak dianjurkan untuk dilakukan. Baik oleh pemberi hutang maupun mereka yang berhutang. Sebab budaya hutang piutang itu -- yang dimaksud riba dalam terminologi agama -- tidak baik bagi kedua belah pihak," kata Jacob Ereste memulai perbincangan pada Kamismalam, 5 Oktober 2023.

Baca Juga: Kisruh Rempang: Pengamat peringatkan kemarahan rakyat kian meluas jika pemerintah tetap lakukan penggusuran

Maka itu konsep sedekah, lanjut Jacob Ereste, tolong menolong bahkan hibah sangat dianjurkan untuk dilakukan untuk menjadi kebiasaan bagi penganut agama yang baik dan benar.

"Dalam budaya tolong menolong -- apalagi untuk anggota keluarga sendiri -- tidak sedikit yang meyakininya sebagai suatu kewajiban. Bagi kawan dan sahabat, konsep serupa itu dapat diimplementasikan dalam berbagai bentuk gotong royong yang sama makna dan hakekatnya dengan solidaritas," urainya.

Tapi sikap solidaritas yang bisa mengacu pada soliditas dan keteguhan kaum buruh Indonesia -- kini seperti layu terkulai, menurut dia, tak berdaya melawan gerus budaya kapitalisme yang individualistik itu yabg merupakan perangai bawaan aslinya kapitalisme.

Baca Juga: Luas lahan untuk proyek di Pulau Rempang hanya 7.500 hektar! Mengapa harus ada penggusuran?

"Itulah sebabnya sikap dan sifat individualisme semakin mewabah lalu mencemari kejernihan hati rakyat yang otentik guyub, penuh rasa kebersamaan. Tidak egoistik seperti yang terus menggejala dan sangat meresahkan keutuhan budaya warisan leluhur. Akibatnya, tentu saja kearifan lokal seperti yang masih tersisa dalam masyarakat yang mampu bertahan dari imbas budaya pasar atau budaya perkotaan, masih bisa menikmati keguyuban serta keharmonisannya yang terjaga. Seperti dalam perayaan pernikahan misalnya, sanak famili yang datang dari daerah berbagai pelosok daerah lain, masih mau menyeret kambing untuk disembelih agar ikut memeriahkan acara perkawinan itu," ulasnya dalam.

Demikian juga dengan sanak famili yang lain, lanjutnya, tak segan memikul beras, menenteng kelapa dan beragam sayur mayur hingga buah-buahan, demi ikut berpartisipasi dalam acara yang perkawinan yang masih dianggap sakral.

"Tentu saja berbeda dalam kehidupan warga masyarakat yang sudah menganut budaya perkotaan. Upacara perkawinan di perkotaan -- bagi rakyat kelas menengah bawah -- cukup dilakukan seefisien mungkin. Tak hanya soal dana, tapi juga waktu bagi mereka yang sudah fanatis dengan keyakinan bahwa waktu itu adalah uang. Jadi jelas orientasinya lebih mengedepankan materi yang merupakan dogma dari kapitalisme," urainya.

Baca Juga: Kasus Pulau Rempang: Ada konspirasi investasi terselubung?

Biaya Hidup yang Mencekik

Dalam kesulitan yang sedang dihadapi warga masyarakat sekarang bukan saja masalah duit dan betapa sukar untuk mendapat pekerjaan saja, menurut Jacob Ereste, tapi juga biaya hidup yang semakin mencekik hingga rakyat diimbau agar mau makan ubi yang juga langka di pasar.

"Toh, good estate yang diharap sudah panen justru meninggalkan kerusakan lingkungan bagi warga masyarakat setempat sehingga harus mengungsi ke daerah lain yang bisa sedikit memberi daya tahan hidup untuk sementara," tegasnya.

Belum lagi jumlah warga masyarakat dari daerah lain yang tergusur untuk proyek pemerintah maupun yang diberikan kepada pihak swasta, urai Jacob Ereste lebih dalam, dan celakanya pihak pengusaha swasta itu pun milik bangsa asing, seperti yang sudah direncanakan di Pulau Rempang, Kepulauan Riau.

Baca Juga: Pulau Rempang: Antara warisan sejarah dan investasi besar

Korupsi Ugal-ugalan

"Kasus penyerobotan tanah atau lahan milik penduduk setempat menjelang Pemilu 2024 terkesan jadi marak. Hingga fenomena ini kuat diduga dilakukan untuk membiayai kontestan Pemilu, baik legislatif maupun bagi eksekutif yang memang harus ditebus dengan harga yang mahal," ulasnya lebih jauh menukik.

Jacob Erseste juga menyoroti pengakuan politisi Senior PDIP, Trimedya Panjaitan yang sudah bertebaran di media sosial.

"Sungguh membuat banyak orang awam yang terperangah. Bagaimana mungkin untuk menjadi anggota legislatif saja harus tersedia duit minimal 3 sampai 5 milyar rupiah. Begitu juga untuk Jabatan Gubernur atau Bupati. Sedangkan bagi calon Presiden, minimal harus ada duit 10-12 triliun rupiah!" kata Jacob Ereste sambil geleng-geleng kepala.

Agaknya, itulah sebabnya perilaku korupsi di Indonesia jadi ugal-ugalan dilakukan oleh pejabat publik, menurut pandangan Jacob Ereste, karena ingin menebus biaya dan ongkos dari rentenir yang sudah terlanjur menjadi hutang piutang yang harus dibayar kontan atau dalam bentuk konsesi yang telah tergadai sebelumnya.

"Maka itu rakyat yang diamplopi tiga ratus ribuan, bisa saja diterima asalkan suara pilihan tetap untuk kandidat yang terbaik dan tidak lupa pada amanah rakyat. Setidaknya dengan tiga ratus ribu rupiah itu bisa untuk membeli beras," ungkap Jacob Ereste sambil tersenyum, terlihat getir.

Menurut dia, agar tidak perlu pusing dengan imbauan pejabat negeri ini yang culas memberi saran seperti itu, sementara mereka sendiri tetap ingin mengonsumsi beras seperti biasanya.

"Logikanya untuk mengganti beras dengan ubi itu sungguh tidak masuk akal. Lha, tanaman ubi yang sudah dirancang melalui program food estate itu saha tak pernah panen. Padahal, kalau ada ubinya, pahamilah harganya pun liar tak mampu dikendalikan oleh pemerintah," tandas Jacob Ereste menghakhiri perbincangan.***

Editor: Nurfathana S

Tags

Terkini

Terpopuler