Pancasila sudah ada di Bulukumba ribuan tahun silam dalam tradisi demokrasi Ammatoa Kajang

26 Maret 2022, 18:00 WIB
Wisatawan domestik di luar gapura masuk ke kawasan adat Ammatoa Kajang /Instagram.com/@ammatoakajang

WartaBulukumba - Berdasarkan pappasang Ri Kajang, maka Ammatoa sebagai pemimpin adat juga sebagai penegak hukum yang selain adil, arif dan bijaksana juga sangat demokratis.

Dengan menyusuri tradisi demokrasi di Kajang hari ini, maka kita bisa temukan Pancasila sesungguhnya sudah ada di Bulukumba ribuan tahun silam dalam tradisi demokrasi Ammatoa Kajang.

Keputusan-keputusan Ammatoa sangat prinsipil bahwa sesuatu yang baku (lebba) yang diterapkan pada setiap orang yang melakukan pelanggaran akan diberikan sanksi. Ammatoa dalam proses pengambilan keputusan selalu bersikap tegas (gattang), taat (pisona), dan sabar (sabbara).

Baca Juga: Bertandang ke rumah filosofi Ammatoa Kajang di Bulukumba

Prinsip ini sesuai dengan salah satu butir Pasang: “Anre’ na’kulle nipinra-pinra punna anu lebba”, artinya: “Jika sudah menjadi ketentuan, tidak bisa dirubah lagi”.

Dalam bukunya yang berjudul “Something In Bulukumba”, diterbitkan P31 Press pada tahun 2012, penulis dan peneliti dari Bulukumba, Anis Kurniawan, mengisahkan kejadian menarik suatu pagi pada tahun 2011, betapa alotnya perdebatan antara kelompok yang berseteru di rumah adat Ammatoa.

Saat itu Anis Kurniawan dan rombongan sebenarnya tidak ingin ikut serta dalam sebuah forum kecil menyerupai diskusi-diskusi akademis. Tetapi saat tiba di depan rumah adat, Ammatoa yang kebetulan turun dari rumah langsung mempersilahkan rombongan kecil itu naik dan bergabung di tengah borong-borong.

Baca Juga: Ammatoa Kajang di Bulukumba, telusur miniatur ideal peradaban di Tanah Kamasemasea

Dua belah pihak yang bersengketa tanah silih berganti menyampaikan pendapat. Kasus tanah tersebut melibatkan seorang warga bernama Sangkala dengan sepupunya bernama Tambara. Keduanya warga Desa Sapanang. Konflik antar keluarga tersebut sebenarnya sudah berjalan lama dan telah dimediasi di tingkat RT, Dusun dan Kepala Desa.

Seperti biasa, kata Sengka salah seorang warga yang hadir, persoalan-persoalan warga harus melewati dulu penyelesaian dari tingkat bawah.

Jika ternyata belum menemukan kesepakatan ke tingkat desa, maka pihak yang bersengketa akan memperhadapkan duduk persoalan pada sang pemimpin adat Ammatoa.

Baca Juga: Menelusuri Kajang dari pojok sejarah dan geografi

Meski diskusi berjalan alot, kedua belah pihak sangat menghormati prinsip musyawarah mufakat. Semua pihak optimis bisa menemukan jalan keluar yang berimbang dan adil. Ammatoa sangat memperhatikan detail pernyataan-pernyataan yang muncul dari kedua belah pihak, termasuk dari Kepala Desa atau Galla’ Sapa’.

Jika disimak secara detail, posisi Ammatoa adalah seperti tim mediasi atau hakim yang akan menimbang dan mengambil keputusan terkait penyelesaian masalah.

Itulah sebabnya, setiap kali Ammatoa angkat bicara maka itu berkaitan dengan pandangan objektif yang sangat bijak dan netral. Nampak jelas raut wajah berwibawa dan penyayang itu tidak sekedar sebagai pemimpin adat yang dihormati, Ammatoa juga sebagai pemberi nasehat dan hakim yang adil.

Baca Juga: Sejarah Bandung Lautan Api, begini alasan pejuang dan rakyat membakar Kota Bandung

Setelah proses diskusi yang panjang dan berjalan alami tersebut, Ammatoa mengeluarkan pandangannya terkait penyelesaian konflik. Kesimpulan tersebut kemudian dikembalikan kepada kedua belah pihak. Lalu diberi pertimbangan-pertimbangan oleh pendamping Ammatoa.

Pada setiap musyawarah penyelesaian konflik, Ammatoa memang didampingi oleh Puto Betto yang biasa disebut sebagai paranrang bicara (moderator).

Hadir pula Puto Pagala sebagai pemangku adat. Pada diskusi hari itu, hadir pula seorang tua berjenggot kira-kira usianya sekitar seabad. Lelaki tua itu biasa dipanggil Amu atau Puto Amu.

Amu diposisikan sebagai totoa kampong atau yang paling dituakan. Amu juga menjadi pemberi nasehat dan memberi penegasan terhadap hasil kesepakatan rapat.

Baca Juga: Dokumen Lacerta: Wawancara Alien Reptilian, penghuni Planet Bumi sebelum generasi Homo Sapiens ada

Puto Betto akan menetapkan hasil musyawarah, tetapi sebelum itu ia meminta pertimbangan pada Ammatoa.

Pemimpin adat kharismatik tersebut kemudian memberi nasehat pada kedua belah pihak dan menekankan sekali lagi tentang perlunya komitmen terhadap keputusan yang sudah dianggap lebba. 

Ammatoa hari itu memberi pesan istimewa ketika berkata yang maknanya kira-kira: “Ada orang yang punya sawah yang luas, ada yang hanya sedikit bahkan ada yang tidak punya sepetak sawah pun. Tapi ketahuilah bahwa semuanya sama-sama bisa hidup. Bahwa yang namanya rezeki sudah dibagi olh Yang Maha Kuasa. Tetapi yang perlu ditekankan adalah bahwa sawah dan harta tidak akan dibawa ke hari kemudian. Oleh sebab itu jangan sampai kalian bersepupu berkonflik mendarah daging hanya karena persoalan harta.” 

Pesan itu kemudian dimaklumi semua yang hadir. Ammatoa memang memaksudkan pesan-pesan humanis yang ia katakan didengar semua yang hadir.

Baca Juga: Menguak misteri Atlantis dan Lemurian, dua peradaban Alien yang pernah berjaya di Planet Bumi

Itulah sebabnya, ia selalu mengulang-ulang kalimat “langngere ngasei di”(dengarkan semua) ketika Ammatoa memberi pesan yang sifatnya universal. Sebaliknya ketika statement yang dikeluarkan bersifat spesifik pada person tertentu, Ammatoa selalu menyebutkan nama, kepada siapa pesannya ditujukan.

Intonasinya lembut dan penuh hormat, pandangannya diarahkan persis ke wajah orang yang diberinya nasehat. Ammatoa selain menyebut nama juga menyebut kata “nak” untuk pengganti nama yang dalam konteks sehari-hari bermakna kasih sayang antara yang tua dan yang lebih muda.

Kesepakatan dianggap paten apabila tidak ada lagi komentar dari pihak bersengketa. Setelah itu, Puto Betto menyampaikan kembali hasil kesepakatan secara detail, jelas dan tidak ambigu. Kesepakatan itulah kemudian diterima dan dijalankan sebagai sesuatu yang lebba.

Persoalan dan konflik kedua belah pihak dianggap selesai di forum istimewa itu. Puto Betto kemudian mempertegas persyaratan penyelesaian konflik yang biasa disebut passeko. Passeko adalah tanda kesepakatan yang dipersyaratkan ketika rapat penyelsaian masalah sudah mencapai kesepakatan tertentu. Jumlahnya antara Rp600.000, Rp800.000, atau bahkan sampai Rp1.200.000.

Ammatoa sekali lagi menjelaskan bahwa pada perkara tersebut anre tau nibeta-anre tau pabeta yang artinya tidak ada yang kalah dan tidak ada yang menang.

Ammatoa memberi petunjuk bahwa passeko dibayar secara adil oleh kedua belah pihak yang berperkara.

Passeko pada forum itu sebesar Rp.600.000. masing-masing pihak menyerahkan uang Rp.300.000 kepada Puto Betto lalu dihitung oleh Ammatoa.Uang tersebut kemudian dipecah-pecah menjadi uang Rp.50.000, Rp.20.000 dan Rp.10.000. Ammatoa kemudian membagikan uang tersebut pada semua pihak yang berperan penting atau menjadi sabbi dalam proses perdamaian.

Ammatoa membagikan langsung di hadapan forum satu persatu kepada Puto Betto, Puto Pagala, Kepala Desa dan semua yang mendampingi Ammatoa. Menariknya, perempuan yang hadir dan menyajikan hidangan alakadarnya atau disebut pappatala juga diberi sejumlah uang. Dalam tradisi seperti ini, semua pihak tidak boleh menolak pemberian Ammatoa, karena dianggap sebagai tanda selesainya sebuah persoalan.

Ketika forum dianggap selesai, suasana kembali cair. Semua orang sudah bisa saling berdiskusi masing-masing. Ammatoa memanfaatkan momen tersebut rupanya untuk menyampaikan pasang dan nasehat berharga bagi semua yang hadir. Sesi ini sangat meriah karena Ammatoa sesekali ketawa dan membuat joke berupa cerita atau sindiran.

Pada suasana cair yang seperti itulah, ballo (minuman keras tradisonal) dikeluarkan dari dalam rumah. Gelas diberikan kepada semua yang datang bahkan sebagian menikmati ballo dengan satu gelas yang diminum bersama secara bergantian. Bagi masyarakat Kajang, tradisi minum bersama setelah konflik selesai seperti itu dianggap sebagai bentuk kebahagiaan dan persaudaraan.

Menariknya memang adalah ketika ballo itu diminum setelah proses pertemuan dianggap selesai. Warga Kajang mengakui, ballo memang diminum setelah persoalan selesai karena apabila diminum sambil mendiskusikan masalah, tentu akan mempengaruhi mental dan pikiran seseorang. Bagi warga Kajang, ballo memang minuman yang memabukkan tapi bukan karena itu sehingga dilarang. Yang terpenting adalah bagaimana kita bersikap setelah minum ballo yakni tidak membuat onar tau masalah, tetapi segera beristirahat dan tidur.

Perdamaian pihak bersengketa ditandai dengan arahan Ammatoa pada kedua belah pihak untuk berjabat tangan di tengah forum. Hal ini menandai diakhirinya masalah dan kedua belah pihak disarankan oleh Ammatoa untuk tidak mengungkit-ungkit lagi masalah yang sudah berlalu itu di kemudian hari.

Kedua pihak yang bersengketa kemudian menjabat tangan meminta maaf kepada Ammatoa dan semua yang hadir satu persatu. Suasana haru sangat terasa, nampak wajah kedua pihak bersengketa yang awalnya tegang menjadi meriah dan senang.

Tradisi penyelesaian masalah seperti ini memang sudah berlangsung ratusan tahun. Sebuah tradisi musyawarah dan berdemokrasi yang tumbuh di atas tradisi dan nilai-nilai Pasang Ri Kajang. Pertanyaannya kemudian adalah pernahkah kita belajar cara berdemokrasi dari sebuah tatanan nilai lokal seperti di Komunitas Ammatoa? Bukankah kita sama-sama tahu bahwa tradisi seperti itu sudah ada bahkan jauh sebelum demokrasi liberal dicangkokkan oleh Barat ke dalam konstitusi negara kita?

Semestinya memang demokrasi di Nusantara bisa jauh lebih berkembang dibandingkan di Barat. Kita sudah punya tradisi dan budaya yang berkembang berupa nilai-nilai dan praktik berdemokrasai sejak berabad-abad lalu. George Sorensen misalnya seorang pemikir demokrasi sudah memberi penjelasan yang tegas bahwa demokrasi hanya bisa bertumbuh di atas akar budaya dan tradisi politik.

Komunitas Ammatoa adalah bagian dari Indonesia tapi tatanan berdemokrasi Komunitas Ammatoa tidak menjalankan demokrasi liberal seperti di Indonesia, bahwa kebenaran dan keputusan selalu berdasar pada suara terbanyak atau voting, sebab komunitas adat Ammatoa senantiasa menemukan kebenaran dan keputusan melalui konsensus dengan bersandar pada nilai-nilai berkomunikasi yang humanis. Dan itulah intisari demokrasi yang sesungguhnya.***

Editor: Alfian Nawawi

Tags

Terkini

Terpopuler