Koalisi Masyarakat Sipil meminta MK menghadirkan Presiden Jokowi

- 6 April 2024, 01:52 WIB
Sidang sengketa hasil Pilpres di MK
Sidang sengketa hasil Pilpres di MK /

WartaBulukumba.Com - Sengkarut pesta demokrasi memasuki babak baru. Mungkinkah Presiden Jokowi hadir dalam sidang sengketa hasil Pilpres 2024 yang digelar di MK?

Mahkamah Konstitusi Indonesia menerima sebuah surat terbuka pada Kamis, 4 April 2024, di Gedung 2 mereka, dari Koalisi Masyarakat Sipil untuk Demokrasi dan Antikorupsi. Koalisi ini melibatkan aktivis, pemikir, dan tokoh dalam demokrasi, hak asasi manusia, dan antikorupsi.

Dikutip dari Mkri.id pada Sabtu, 6 April 2024, surat tersebut diterima oleh Budi Wijayanto, Kepala Biro Humas dan Protokol, yang didampingi oleh Andi Hakim, Kepala Bagian Hubungan Masyarakat dan Kerjasama Dalam Negeri, serta Immanuel Hutasoit, Kepala Bagian Sekretariat AACC dan Kerjasama Luar Negeri.

Baca Juga: Gaduh wacana hak angket DPR: Bisa menjadi ajang pembuktian legislator kerja untuk rakyat?

Dalam surat itu, mereka meminta agar Mahkamah memanggil Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan delapan anggota timnya untuk memberikan kesaksian dalam perselisihan hasil Pemilihan Presiden 2024.

Anggota Koalisi Masyarakat Sipil terdiri dari mantan Koordinator Indonesia Corruption Watch (ICW) Adnan Topan Husodo, mantan Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Agus Rahardjo, Sekretaris Jenderal Transparency International Danang Widoyoko, ahli hukum tata negara Feri Amsari, mantan penyidik KPK Novel Baswedan, dan mantan pimpinan KPK Saut Situmorang.

“Dalam surat hari ini, kami menyampaikan surat terbuka yang meminta hakim konstitusi untuk memanggil dan mendengarkan kesaksian dari Presiden Joko Widodo dan delapan menteri serta pejabat tinggi, yang kami anggap sangat penting untuk didengarkan dalam sidang sengketa pemilihan presiden saat ini,” urai Usman Hamid, perwakilan Koalisi Masyarakat Sipil.

Baca Juga: Gonjang-ganjing Hak Angket DPR: Menakar kemungkinan pemakzulan Jokowi

Hakim MK Arief Hidayat: ‘Pilpres kali ini lebih hiruk pikuk’

Hakim MK, Arief Hidayat, dalam persidangan menyebut Pilpres 2024 “lebih hiruk pikuk” karena ada beberapa pelanggaran yang terjadi antara lain di MK dan Komisi Pemilihan Umum.

Arief menyebut yang didalilkan pemohon sidang adalah “cawe-cawenya kepala negara”.

Posisi presiden sebagai kepala negara, sambung Arief, membuat “kurang elok” apabila MK memanggil presiden sehingga pembantu–pembantu presiden – para menteri – yang kemudian diminta hadir MK.

Beberapa pertanyaan yang diajukan Hakim Arief adalah penggantian Kepala Badan Urusan Logistik (Bulog).

“Pada saat-saat kritis, saya baca di mass media, Kepala Bulog Budi Waseso diganti - ada faktor apa ini yang melatarbelakangi? Saya mau tanya. kita pengen mengerti karena ini termasuk bisa disebut juga masalah yang tadi disebut cawe-cawe,” ujarnya, dikutip dari BBC News Indonesia pada Jumat.

Kepada Menteri Sosial Tri Rismaharini, Arief juga menanyakan saat-saat di mana Presiden Jokowi disebut “bagi-bagi bansos di depan Istana” juga saat kunjungan-kunjungan di daerah yang “kebetulan” pada waktu kampanye sehingga menimbulkan saling curiga dan fitnah.

“Itu menggunakan bansos apa? Dari mana itu?” tanya Arief.

Frasa “agenda pembangunan nasional dan penugasan presiden” yang tertera di pelaksanaan tugas Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan juga dipertanyakan Arief.

“Apa sih yang dimaksud dengan penugasan presiden? Apakah penugasan-penugasan tertentu karena presiden juga cawe-cawe itu . Karena kalau saya membaca agenda pembangunan nasional [maka] penugasan presiden juga termasuk. Tapi kok ada frasa khusus?” ujar Arief.

Bawaslu kerahkan satu ahli dan tujuh saksi

Badan Pengawas Pemilihan Umum- Bawaslu menghadirkan satu ahli dan tujuh saksi dalam lanjutan Sidang Sengketa Hasil Pilpres 2024 di Mahkamah Konstitusi (MK). Ahli dan para saksi menyampaikan mengenai tugas pencegahan, pengawasan, dan penindakan yang berkaitan dengan dalil yang diajukan pemohon paslon nomor urut 1 dan paslon nomor urut 3.

Ahli yang dihadirkan, Muhammad mengatakan ada empat indikator penyelenggara pemilu yang mandiri/ independen. Pertama, bukan anggota parpol namun tidak anti-parpol atau berpihak ke partai tertentu, melainkan memperlakukan semua parpol setara. Kedua, tidak berada di bawah lembaga negara apapun.

"Ketiga, melaksanakan tugas dan fungsi tidak dibawah tekanan, paksaan dan intimidasi. Empat menyelenggarakan pemilu berdasarkan peraturan perundang undangan dan kode etik penyelenggara pemilu," papar dia dihadapan majelis hakim MK di Ruang Sidang MK, dikutip dari laman Bawaslu.go.id.***

Editor: Sri Ulfanita


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah