Melihat Bulukumba dari kearifan lokal ekologis: Cara Ammatoa Kajang melestarikan lingkungan

- 15 Mei 2024, 18:10 WIB
Salah satu sesi dalam ritual adat Andingingi di kawasan adat Ammatoa Kajang, Kabupaten Bulukumba, Sulawesi Selatan - Melihat Bulukumba dari komunitas adat berbaju hitam: Cara Ammatoa Kajang melestarikan lingkungan
Salah satu sesi dalam ritual adat Andingingi di kawasan adat Ammatoa Kajang, Kabupaten Bulukumba, Sulawesi Selatan - Melihat Bulukumba dari komunitas adat berbaju hitam: Cara Ammatoa Kajang melestarikan lingkungan /Instagram.com/@chandrayunus_
 
WartaBulukumba.Com - Di balik lebatnya hutan adat Bulukumba, komunitas adat Ammatoa Kajang menjalani kehidupan dan kisah yang mendalam tentang tradisi dan kearifan ekologis.
 
Komunitas adat Ammatoa Kajang identik dengan warna hitam. Hitam adalah simbol dari kembalinya manusia ke tanah, merefleksikan sebuah filsafat yang mendalam dan berakar kuat pada prinsip-prinsip alam.
 
Hitam ataupun gelap adalah salah satu elemen dari semesta. Sisi terang adalah cahaya ketika sisi lainnya merupakan kegelapan. Namun, bagi Ammatoa Kajang,  gelap ataupun hitam diasumsikan sebagai bentuk lain dari dimensi kebajikan. Terutama yang berkenaan dengan kebajikan terhadap semesta itu sendiri. 
 
 
Melihat Bulukumba dari komunitas adat berbaju hitam, Ammatoa Kajang, kita akan menemukan cara sangat elegan dalam melestarikan lingkungan yang sudah berlangsung sejak ratusan tahun.
 
Komunitas adat berbaju serba hitam-hitam itu bermukim di sebuah areal di Kecamatan Kajang, Kabupaten Bulukumba, Sulawesi Selatan.
 
Areal yang mereka huni sejak ratusan tahun lalu itu juga kerap disebut Ilalang Embayya (Kawasan Dalam). Mereka juga kerap menyebutnya Tanah Kamase-masea (Tanah Bersahaja).
 

Pasang ri Kajang

Salah satu pola hidup unik yang mereka warisi dari leluhur yakni orientasi pada kehidupan bersahaja dan menerima nasib apa adanya. Hidup bersahaja ini dianut dengan prinsip jujur, tegas, sabar, dan pasrah.
 
Sikap dan pola hidup dengan menganut empat sifat tersebut, tertuang dalam “Pasang ri Kajang” (pesan atau amanat di Kajang).
Pasang Ri Kajang adalah ajaran leluhur dan merupakan hukum atau undang-undang berupa pedoman hidup yang diwariskan secara turun temurun.
 
Pasang dikomunikasikan secara lisan melalui Ammatoa dan para pemangku adat lainnya. Sebagai ajaran dan tuntunan hidup bagi komunitas adat Kajang, Pasang mengatur semua aspek kehidupan sosial budaya dalam masyarakatnya; aspek-aspek tersebut meliputi sistem ritual kepercayaan, adat istiadat, sistem nilai, dan hubungan sosial dalam masyarakat, Pasang juga mengatur hubungan antara manusia dengan lingkungannya.
 
 
Ammatoa adalah pemimpin tertinggi dalam komunitas ini. Dalam menjalankan peran dan fungsinya sebagai kepala suku, Ammatoa dibantu oleh pemangku adat yang bertugas mengurusi bidang tertentu. Sekalipun Ammatoa merupakan pemimpin tertinggi namun pengambilan keputusan selalu dimusyawarahkan dengan para pembantunya.
 
Hal ini menggambarkan bahwa sosok Ammatoa adalah pemimpin yang wajib menganut demokrasi, jujur, adil dan mengayomi. Sehingga Ammatoa selalu didengar nasehatnya, dicontoh perbuatannya, dan tempat berlindung bagi komunitasnya. Sosok Ammatoa adalah panutan yang sangat disegani, baik, oleh komunitasnya maupun dari luar kawasan adat.
 
Di dalam kawasan adat Ammatoa Kajang, khususnya di kawasan inti Dusun Benteng, rumah penduduk seluruhnya menghadap ke arah barat. Ada filosofi yang mereka anut dalam menata permukiman. Kalau rumah mereka tidak menghadap ke barat, setidaknya harus menghadap ke gunung. Secara filosofi hal ini bermakna munculnya kegelapan. Menurut mereka kehidupan yang sesungguhnya adalah kehidupan sesudah kematian atau akhirat. Bahkan pada malam hari dilarang menggunakan cahaya yang berlebihan, meskipun lingkungan sekitarnya sangat rimbun oleh berbagai jenis tumbuhan.
 
Menurut komunitas Ammatoa Kajang, warna hitam mengandung makna bahwa semua manusia akan kembali ke dunia yang gelap atau kematian. Selain itu, menurut mereka penggunaan warna hitam, meskipun kena noda tidak akan terlalu nampak.
 
Secara umum bentuk arsitektur rumah komunitas Ammatoa sama dengan bentuk rumah suku Bugis Makassar. Model rumah mereka berupa rumah panggung yang terdiri dari tiga bagian. Ini melambangkan dunia mikrokosmos yang terbagi menjadi tiga bagian, yaitu dunia atas dunia tengah dan dunia bawah.
 
Bagian atas rumah mereka sebut Para (loteng) yang melambangkan dunia atas. Para ini mereka fungsikan sebagai tempat menyimpan hasil pertanian berupa seperti padi, jagung dan sebagainya. Bagian badan rumah atau bagian tengah mereka sebut Kale Bola yang melambangkan dunia tengah.
 
Badan rumah inilah yang ditempati oleh pemiliknya untuk beraktifitas sehari-hari. Bagian bawah rumah disebut Siring yang melambangkan dunia bawah. Siring atau kolong rumah mereka fungsikan sebagai tempat untuk menyimpan peralatan pertanian. Kolong rumah juga berfungsi sebagai tempat menumbuk padi, menenun dan bahkan dijadikan sebagai kandang ternak.
 
Menurut Mas Alim Katu dalam bukunya “Tasawuf Kajang” (2005), Pasang Ri Kajang berarti Pesan, Amanat atau Ajaran di Kajang. Dari segi isi Pasang dapat berarati amanah, tuntunan atau wasiat maupun ajaran. Semua isi dan kandungan Pasang merupakan nilai budaya dan nilai sosial bagi komunitas adat Ammatoa.
 
Semua kegiatan yang merupakan umpan balik dari tuntunan tersebut, pelaksanaannya diawasi langsung oleh Ammatoa. Pelaksanaan Pasang telah menjadi suatu tradisi yang melembaga dalam berbagai aspek kehidupan sosial. Wujud Pasang sesungguhnya merupakan himpunan dari seluruh pengetahuan dan pengalaman masa lampau. Cakupannya sangat luas yakni seluruh aspek kehidupan dari leluhur komunitas Ammatoa. Bahkan Pasang dapat dianggap sebagai payung hukum adat yang dihormati dan dijunjung tinggi.
 
Materi Pasang bukan hanya bersifat verbal, namun juga bersifat faktual, meliputi perbuatan dan tingkah laku. Sehingga Pasang merupakan himpunan dari sejumlah sistem.
 
Cakupan dari sejumlah sistem dan sejumlah norma tersebut meliputi sistem kepercayaan, sistem ritus dan sejumlah norma sosial lainnya. Sebagai sistem ritus, Pasang dan ajarannya mengatur tata peribadatan manusia kepada yang dianggap mutlak. Mereka menyebutnya “Tu’ Rie’ A’ra’na” (Yang Maha Kuasa). Selanjutnya Pasang merupakan suatu sistem norma atau kaidah yang mengatur hubungan antara manusia dengan alam lingkungannya.
 
Seluruh isi dan makna Pasang tersebut diwariskan secara turun temurun dari satu generasi ke generasi berikutnya. Sistem pewarisan itu, melalui penuturan lisan dalam bentuk ungkapan atau cerita-cerita lisan (folklore). Uniknya, tak satu butir Pasang pun yang diamanahkan dalam bentuk tulisan. Bagi komunitas adat Ammatoa ssebagai pemilik, sangat dipantangkan untuk menulis materi butir-butir Pasang.
 
Komunitas adat Ammatoa yakin, bahwa Pasang sebenarnya berasal dari suatu wujud yang mutlak di luar manusia. Dari Ammatoa pertama Pasang tersebut di amanahkan kepada penggantinya. Selanjutnya Pasang tersebut diwariskan kepada generasi berikutnya dan seterusnya hingga generasi sekarang.
 
Tidak diketahui dengan pasti kapan Pasang itu diterima oleh Ammatoa pertama. Hal ini disebabkan karena ungkapan dan cerita lisan tersebut tidak menyebutkan angka tahun. Namun berdasarkan beberapa sumber yang berasal dari pengakuan Ammatoa Ke- XVI (sekarang) yang bernama Puto Palasa, dapat diduga dengan mengadakan perhitungan bahwa setiap Ammatoa berkuasa sepanjang usianya. Dengan asumsi bahwa Ammatoa memegang pimpinan adat ± 30 tahun, sehingga diperkirakan pemerintahan Ammatoa pertama sekitar 480 tahun yang lalu, atau sekitar tahun 1500 M.
 
Dapat disimpulkan bahwa Pasang Ri Kajang sebagai suatu ajaran atau tuntunan, menyangkut semua aspek kehidupan dalam komunitasnya, termasuk sistem religi, masalah sosial, dan lingkungan.

Pasang ri Kajang dan Pelestarian Hutan

Pasang Ri Kajang berisi ratusan pasal teks lisan berupa sumber nilai dan pesan leluhur. Dari sekian banyak pasal tersebut, ada sekitar 20-an pasal diantaranya berisi tentang sistem pengelolaan Iingkungan. Walaupun butir Pasang tersebut hanya berupa pesan lisan namun dapat disebut sebagai suatu kearifan lingkungan. Di dalam Pasang tercakup aturan untuk menjaga keseimbangan hubungan antara manusia dengan alam lingkungannya dan aturan tesebut ditaati sejak leluhur mereka.
 
Pasang Ri Kajang yang berkaitan dengan sistem pengelolaan lingkungan ditaati oleh komunitas Ammatoa Kajang secara sadar dan ikhlas. Ketaatan pada ajaran Pasang dalam pemeliharaan lingkungan (hutan) selama ratusan tahun, hal itu berkaitan dengan fungsi hutan.
 
Bagi masyarakat adat Ammatoa Kajang, hutan adalah merupakan bagian yang tidak bisa dipisahkan dalam melangsungkan kehidupan mereka. Itu sebabnya maka penganut kepercayaan patuntung ini menganggap hutan menjadi sangat penting dalam menjaga ekosistem dan kelestarian lingkungan.
 
Sesuai ajaran leluhur mereka, konsep pengelolaan hutan disamping terkait dengan kebutuhan sehari-hari, hutan juga memiliki nilai ritual. Ada beberapa fungsi hutan sesuai konsep pengelolaan hutan bagi orang Kajang, sebagai berikut:

1. Untuk menjaga potensi keaneka ragaman hayati seperti kayu dan hasil-hasil hutan bukan kayu. Seperti rotan, madu dan berbagai jenis tanaman lainnya serta beberapa jenis satwa.

2. Untuk mengatur tata air dan mengatur turunnya hujan. Dengan terpeliharanya hutan, air hujan yang turun sebagian diserap ke dalam tanah yang menimbulkan mata air.

3. Untuk fungsi ritual. Ada tiga upacara ritual dan sakral yang dilaksanakan di dalam Borong Karamaka (hutan keramat) yaitu : upacara pelantikan Ammatoa, upacara attunu passau (upacara kutukan bagi pelanggar adat), dan upacara apparuntuk paknganro.
 
Berikut ini beberapa butir Pasang yang merupakan ajaran pokok dalam melestarikan lingkungan.

“Jagai Linoa lollong bonena, kammayatompa langika siagang rupa taua, siagang boronga.” Pasang ini berarti: “Peliharalah bumi beserta isinya, begitupun langit, manusia maupun hutan.”
 
Komunitas Ammatoa yakin bahwa bumi, langit, manusia dan hutan adalah satu kesatuan yang tidak terpisahkan dalam satu ekosistem. Oleh karena keempat unsur tersebut berada dalam satu sistem, maka manusia harus menjaga keseimbangannya. Untuk mewujudkan itu semua berarti harus ada kewajiban dan tanggung jawab bersama untuk menjaga keseimbangan ekosistem bumi, langit, manusia dan lingkungan.

“Punna nita’bangi kayua ri boronga, angnqurangngi bosi, appatanrei timbusua, anjo boronga angkontai bosia, aka‘na kayua appakalompo timbusu, raung kayua angngonta bosi.” Artinya: “Kalau pohon kayu di hutan ditebang, akan mengurangi hujan, meniadakan mata air. Hutan itulah yang mengontak hujan, akarnya membesarkan mata air, daunnya yang menarik hujan.”
 
Masyarakat Ammatoa sejak leluhur mereka percaya bahwa fungsi hutan sangat besar peranannya dalam menjaga ekosistem alam. Kalau hutan sudah berkurang, akan berakibat pada berkurangnya curah hujan. Dalam hal ini Suriaatmaja (1997) telah berhasil meneliti hubungan antara curah hujan dengan pertumbuhan pohon.
 
Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa pada hutan yang pohon-pohonnya sudah banyak ditebang, menunjukkan bahwa curah hujan memang berkurang. Hal ini disebabkan karena pohon-pohon mampu mengurangi kecepatan angin sehingga akibatnya mengurangi penguapan air.
 
“Punna erokko anna’bang sipoko’ kayu ri boronga, a’lamunko rolo ruang poko’anggenna timbo.” Artinya: “Kalau ingin menebang satu batang pohon kayu di dalam hutan harus menanam dulu dua pohon sampai tumbuh dengan baik.”
 
Aturan Pasang tentang penebangan kayu di hutan bagi kawasan adat Ammatoa Kajang, sudah berlaku sejak komunitas mereka ada. Hal ini berarti ratusan tahun sebelum Indonesia merdeka komunitas adat Kajang sudah memiliki kearifan di dalam sistem pengelolaan Lingkungan. Bahkan pengelolaan hutan di Kajang, dapat dijadikan rujukan untuk penyelamatan hutan di tanah air.
 
Jauh sebelum Negara Kesatuan Republik Indonesia terbentuk, masyarakat adat Kajang telah lama mengembangkan konsep pengelolaan hutan yang dibagi berdasarkan zona-zona tertentu.
 
Menurut Yusuf Akib dalam bukunya “Ammatoa Komunitas Berbaju Hitam" (2008) hutan di kawasan adat Ammatoa memiliki luas sekatar 1.899 ha. Kawasan hutan tersebut dibagi menjadi tiga zona.
 
Zona pertama disebut Borong Karamaka (Hutan Keramat). Kawasan ini biasa juga disebut hutan pusaka. Hutan ini sama sekali tidak boleh diganggu. Pada area tersebut tidak diperbolehkan mengadakan kegiatan apapun yang dapat merusak kelestarian hutan. Kegiatan yang dimaksud adalah antara lain penebangan kayu, perburuan hewan dan sebagainya. Areal hutan ini tidak boleh dimanfaatkan secara Iangsung baik dalam bentuk hasil kayu maupun yang bukan kayu.
 
Hutan pusaka ini, merupakan hutan lindung sehingga untuk masuk ke dalam kawasan ini tidak diperbolehkan kecuali bila ada acara ritual tertentu. Hutan adat ini betul-betul dijaga dengan sangat ketat, saking ketatnya sampai, memotong rantingpun tidak diperbolehkan. Komunitas adat Ammatoa meyakini bahwa hutan mengandung kekuatan gaib. Kekuatan gaib tersebut dapat mensejahterakan masyarakat tetapi juga sekaligus dapat mendatangkan bencana apabila tidak dijaga kelestariannya. Keyakinan ini kemudian diwariskan secara turun temurun.
 
Bahkan masyarakat tanah kamase-masea sangat yakin bahwa Tu Rie’ A’ra’na (Yang Maha Berkehendak) mengawasi perilaku komunitas Ammatoa dari dalam hutan.
 
Zona kedua dikenal dengan nama Borong Batasaya (Hutan Kemasyarakatan). Hutan ini boleh digarap atau ditebang pohonnya dengan syarat tertentu. Syarat yang paling utama ialah apabila Ingin menebang pohon untuk suatu keperluan harus atas izin dari Ammatoa. Selanjutnya harus menanam pohon terlebih dahulu sebanyak dua kali dari jumlah yang dibutuhkan. Pohon yang ditanam tersebut dipelihara hingga tumbuh dengan baik.
 
Zona ketiga adalah hutan rakyat. Kawasan hutan rakyat ini di peruntukkan kepada masyarakat luas. Hutan ini digarap bersama-sama oleh masyarakat setempat, dan hasilnya dinikmati bersama-sama. Hasil hutan yang diambil dari hutan ini, umumnya digunakan untuk kepentingan pembangunan rumah, untuk kayu bakar dan sebagainya.

Sanksi Adat Bagi Pelanggar Pasang

Salah satu pasal dan Pasang berbunyi “Anjo boronga anre nakkulle nipanraki punna nipanraki boronga, nupanrakintu kalennu”. Artinya: “Hutan tidak boleh dirusak, jika engkau merusak hutan maka berarti engkau merusak dirimu sendiri.”
 
Apabila ada pelanggar ketentuan seperti mengganggu kelestarian hutan dan pelakunya diketahui, maka akan dikenakan sanksi sesuai tingkat pelanggarannya. Untuk menjatuhkan vonis diadakan acara Aborong (bermusyawarah) yang dihadiri oleh anggota dewan adat. Acara A’borong dipimpin langsung oleh Ammatoa. Menurut ketentuan Pasang Ri Kajang, ada tiga tingkatan sanksi yang dikenakan kepada setiap pelanggar:

1. Cappa’ ba’bala, artinya ujung cambuk, yaitu pelanggaran ringan. Cappa ba’bala diberlakukan terhadap pelanggar yang menebang pohon dari hutan/ kebun rakyat masyarakat adat Ammatoa. Hukumannya berupa denda enam Real senilai Rp600.000,- ditambah satu gulung kain putih.

2. Tangnga ba’bala, artinya pertengahan cambuk, yaitu pelanggaran sedang. Tangnga ba’ba1a merupakan sanksi untuk pelanggaran yang dilakukan dalam kawasan borong batasaya atau hutan kemasyarakatan. Pengambilan kayu dan hasil apa saja dalam kawasan borong batasaya tanpa izin Ammatoa harus dihukum dengan aturan Tangnga ba’bala. Walaupun ada izin tetapi ternyata mengambil lebih dari yang diizinkan, maka orang tersebut dianggap melanggar aturan dan kepadanya akan dikenakan denda delapan Real atau senilai dengan Rp800.000,- ditambah dengan satu gulung kain putih.

3. Poko ba’bala, artinya pangkal cambuk, yaitu pelanggaran berat. Yang dikenakan sanksi poko’ ba’bala yaitu masyarakat yang mengambil hasil hutan baik kayu maupun non kayu di dalam hutan adat (hutan keramat). Poko’ ba’bala merupakan denda/hukuman paling tinggi dalam aturan menurut pasang. Pelakunya dikenai sanksi berupa denda dua belas Real dan bila dirupiahkan senilai dengan Rp1.200.000,- ditambah satu gulung kain putih. Kayu yang sudah diambil kemudian harus dikembalikan ke dalam hutan.

Membongkar Kedok Perusak Hutan

Komunitas Adat Ammatoa punya cara khusus untuk membongkar kedok perusak hutan cukup. Menurut Pasang bila hal ini terjadi maka harus diadakan upacara attunu panrolik (membakar linggis).
 
Dalam upacara tersebut linggis dibakar sampai berwarna merah saking panasnya.
 
Sebelum upacara dilaksanakan di rumah Ammatoa dipukul gendang dengan irama tertentu. Semua warga yang mendengar bunyi gendang segera tahu bahwa ada upacara attunu panrolik. Mereka segera berkumpul untuk menghadiri upacara tersebut. Linggis pun dibakar sampai merah.
 
Kepada setiap warga dipersilahkan memegang linggis yang sudah memerah karena panasny. Bagi orang yang bukan pelaku penebangan kayu di hutan tidak akan merasakan panasnya linggis tersebut. Ini suatu hal yang aneh. tetapi bagi pelaku kalau hadir dan memegang linggis akan segera ketahuan sebab tangannya akan melepuh.
 
Menurut pengalaman, pelaku penebangan tidak akan mau menghadiri upacara tersebut. Dengan demikian pelakunya akan diketahui dan segera dicari orangnya.***

Editor: Alfian Nawawi


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah