Qahhar Mudzakkar mengemukakan pandangan tentang ketatanegaraan Indonesia, bahwa revolusi kemerdekaan Indonesia pada tahun 1945, sesungguhnya bukanlah revolusi kebangsaan atau kenegaraan.
Eesensialnya adalah revolusi individual, karena tidak digerakkan oleh siapa pun tetapi tercipta dari kehendak sendiri seluruh individu rakyat Indonesia, untuk membebaskan diri dari belenggu penjajah dan juga feodalisme kaum ningrat yang berkongsi dengan kaum kolonial.
Maka atas dasar itu Qahhar Mudzakkar menegaskan bahwa setelah kemerdekaan tercapai, maka ketatanegaraan yang dipahamkan Sukarno berdasarkan ajaran dan semboyan-semboyan "onotjoroko" Madjapahit, segera digantikan dengan ketatanegaraan yang baru, yaitu ketatanegaraan yang sesuai dengan keadaan hidup rakyat dan bangsa Indonesia, sebagai "bangsa bersuku" dan "bangsa beragama" yang terdiri dari banyak golongan suku bangsa yang mempunyai kehidupan sejarah, peradaban, kepercayaan, kebudayaan dan bahasa yang berbeda-beda.
Konsepsi ketatanegaraan yang dimaksudkan Qahhar, bukanlah "Negara Kesatuan” sebagaimana dipraktekkan oleh Soekarno dan diteruskan di masa Orde Baru.
Bentuk seperti itu hanyalah penjelmaan atas paham yang ditanamkan Madjapahit untuk menguasai seluruh wilayah nusantara, dan diterjemahkan meluas secara feodalistik oleh kaum ningrat di Pulau Jawa untuk memperluas kekuasaan keraton.
Jika bentuk ketatanegaraan semacam itu diberlakukan lagi untuk seluruh wilayah pulau-pulau dan seluruh golongan bangsa Indonesia, dan dipaksakan untuk diikuti, tidak lebih adalah bagian dari penjajahan baru sesama bangsa sendiri, karena konsepsi semacam itu tidak sesuai dengan keadaan rakyat Indonesia.
Baca Juga: Mochtar Pabottingi, cendekiawan nasional dari Bulukumba dalam sastra dan politik yang holistik
Buku ini secara ringkas membahas konsepsi ketatanegaraan yang harusnya diberlakukan dalam negara.