Mengenal pola hidup unik Ammatoa Kajang di Kabupaten Bulukumba Sulsel

- 26 Maret 2022, 13:00 WIB
Rumah khas komunitas adat Ammatoa Kajang
Rumah khas komunitas adat Ammatoa Kajang /Instagram.com/@jwb_sulsel

WartaBulukumba - Memasuki Ilalang Embaya adalah juga menelusuri jalan panjang kearifan lokal, cara perlakuan terhadap budaya yang lestari, hingga merajut filosofi ke kehidupan keseharian.

Komunitas Ammatoa Kajang menganut pola hidup yang unik sehingga berbeda dengan masyarakat Kajang yang berdiam di luar kawasan adat.

Secara umum, pola kehidupan mereka sangat ditentukan oleh ajaran Pasang yang merupakan nilai budaya dan sosial yang mengajarkan warganya untuk hidup sederhana.

Baca Juga: Bertandang ke rumah filosofi Ammatoa Kajang di Bulukumba

Diurai dalam catatan budayawan dan penulis Bulukumba, Muhammad Arief Saenong, berdasarkan ajaran pappasang, komunitas Ammatoa diwajibkan untuk hidup bersahaja dan pasrah kepada nasib.

Karena ajaran yang dianut dan diwarisi secara turun temurun inilah sehingga pola kehidupan mereka hanya tumbuh secara alamiah.

Hamparan penjelasan pola hidup unik komunitas adat Ammatoa Kajang juga bisa ditemukan dalam buku yang ditulis Yusuf Akib yang berjudul “Ammatoa Komunitas Berbaju Hitam”, diterbitkan Pustaka Refleksi pada tahun 2008.

Baca Juga: Ammatoa Kajang di Bulukumba, telusur miniatur ideal peradaban di Tanah Kamasemasea

Buku yang menggamit pappasang ri Kajang diurai oleh Mas Alim Katu dalam buku “ Tasauf Kajang” yang diterbitkan pada tahun 2005. 

Uraian yang cukup komprehensif juga bisa diperoleh melalui buku yang disusun oleh Tim Penulis La Macca Press pada tahun 2006 berjudul “Tradisi Masyarakat di Sulawesi Selatan”.

Kehidupan mereka relatif tidak statis yang disebabkan oleh tradisi yang sangat ketat.

Dalam memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, mereka sangat tergantung dari alam lingkungannya. Mereka mengolah ladang dan sawah untuk dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan pokok mereka.

Baca Juga: Menelusuri Kajang dari pojok sejarah dan geografi

Itulah sebabnya sehingga dari segi ekonomi, komunitas adat Ammatoa Kajang masih sangat terbelakang.

Berbeda dengan penduduk Kecamatan Kajang yang berdomisili di Tana Koasaya atau komunitas non Ammatoa, taraf  kehidupannya  jauh lebih maju. Ini disebabkan karena mereka menganut pola kehidupan yang mengarah pada pemenuhan kebutuhan yang progresif.

Pola kehidupan yang mereka anut sama dengan gerak kehidupan masyarakat Indonesia pada umumnya.

Baca Juga: Pakistan benteng terakhir umat Islam dan 'panji hitam' terbit dari sana?

Hal ini nampak pada aktivitas mereka diberbagai sektor seperti pertanian, perikanan, perdagangan dan sektor ekonomi lainnya.

Tidak mengherankan jika masyarakat yang berdiam di luar kawasan adat Ilalang Embaya banyak yang berhasil dalam usahanya.

Tallasa Kamase-mase (Hidup Sederhana)

Komunitas Kajang dalam kawasan adat Ammatoa, menganut pola hidup sederhana yang disebut Tallasa Kamase-mase.

Baca Juga: Bumi Manusia dari 'ruang kiri', yang dilarang dan yang dirubung

Pola hidup ini berhubungan dengan keyakinan Patuntung yang mereka anut, yang tertuang dalam Pasang Ri Kajang. Dan selanjutnya dijalankan secara ketat oleh Ammatoa dan dibantu oleh para Galla (penghulu adat).

Bagi orang Kajang, khususnya komunitas Ammatoa, dunia ini hanya tempat persinggahan sementara. Untuk selanjutnya menuju ke kehidupan  yang kekal abadi “Riallo njorengang” (akhirat).

Itulah sebabnya mereka komunitas Ammatoa tidak terpengaruh oleh kesenangan di dunia, seperti komunitas di Tana Koasaya atau di luar kawasan adat. Kesenangan di maksud ialah kesenangan dalam kehidupan sehari-hari seperti makanan, pakaian, perumahan, harta benda, dan sebagainya.

Baca Juga: Konsep emansipasi menurut Rohana Kudus, wartawati pertama di Indonesia

Mereka hanya makan secukupnya, dari hasil pertanian seperti jagung, beras, ketela, sayur-mayur dan sebagainya. Hidup sederhana bagi mereka adalah prinsip dasar dan idiologi dalam kehidupannya.

Tallasa Kamase-masea (hidup sederhana apa adanya) adalah prinsip hidup komunitas Ammatoa berdasarkan ajaran Pasang Ri Kajang. Inilah yang dipedomani mereka, sebab tujuan mereka adalah kebahagiaan Ri Allo njorengang atau di 'Hari Kemudian'.

Ada dua pedoman pola hidup di dalam pappasang  yang dianut komunitas adat Ammatoa yaitu :

1. Anre kalumannyang kalupepeang ; Rie kamase-masea, anggare narie’, bola situju-tuju, care-care narie’, koko narie’, pammali juku ‘narie’. Artinya kekayaan itu tidak kekal, yang ada hanya kesederhanaan, makan secukupnya, rumah sederhana, pakaian seadanya, kebun secukupnya, pembeli ikan secukupnya. Pola hidup sesuai ajaran Pasang tersebut, merupakan gambaran nyata bahwa komunitas Ammatoa Kajang menganut prinsip hidup apa adanya. Yang penting bagi mereka adalah kebutuhan primer dapat terpenuhi.

2. Ammentengko nukamase-mase, accidongko nukamase-mase, a’dakako nukamase-mase, a’miakko nukamase-mase,. Artinya berdiri engkau sederhana, duduk engkau sederhana, melangkah engkau sederhana dan berbicara engkau sederhana. Ajaran pola hidup tersebut mengharuskan warganya untuk bersikap sederhana dalam segala hal.

Ajaran Pasang tersebut menjadi keyakinan dan pola hidup komunitas Ammatoa Kajang. Semua aspek kehidupan seperti makanan, pakaian, kebun, rumah menjadi serba sederhana dan tidak berlebihan, termasuk pemanfaatan sumber daya alam.

 

Mata Pencaharian

Masyarakat Kajang pada umumnya mempunyai mata pencaharian bercocok tanam dan beternak hewan, termasuk komunitas adat Ammatoa.

Dalam kegiatan pertanian komunitas Ammatoa memanfaatkan tanah semaksimal mungkin untuk diolah menjadi lahan pertanian.

Jadi, sistem pertanian yang mereka anut ialah menggunakan lahan secara intensif,. Artinya mereka memanfaatkan lahan dengan areal terbatas, tetapi dengan produksi yang maksimal.

Dalam usaha untuk penyuburan tanah, mereka anggap tabu menggunakan pupuk pabrik.

Pada umumnya mereka memupuk tanamannya dengan pupuk kandang. Lahan pertanian mereka sangat terbatas, disebabkan oleh aturan adat untuk tidak lagi membuka lahan pertanian baru. Kalau membuka lahan pertanian baru, berarti mereka harus membabat hutan.

Dan apabila membabat hutan untuk lahan pertanian, dapat dianggap melanggar Pasang. Hal ini berkaitan dengan usaha menjaga atau melestarikan ekosistem lingkungan hutan.

Pada dasarnya semua lahan yang berada di dalam kawan adat Ammatoa merupakan milik adat.

Tidak ada seorang wargapun yang berani melanggar aturan. Sebab siapa yang melanggar akan dikenai sanksi berat yang diputuskan secara adat “a’borong” atau musyawarah.***

Editor: Alfian Nawawi


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah