Dasar Negara Pancasila dan Islam dalam pemikiran Mohammad Natsir

- 21 September 2021, 06:00 WIB
Ilustrasi bendera Merah Putih
Ilustrasi bendera Merah Putih /Pixabay/kopikeeran

 

 
WartaBulukumba - Mohammad Natsir dikenal sebagai menteri yang "tak punya baju bagus, jasnya bertambal'"
 
Dia pun dikenang sebagai menteri yang tak punya rumah dan menolak diberi hadiah mobil mewah. Mohammad Natsir banyak bergaul dengan pemikir-pemikir Islam, salah satunya adalah KH Agus Salim.
 
Selama pertengahan 1930-an, ia dan Salim terus bertukar pikiran tentang hubungan Islam dan negara dalam pemerintahan Indonesia di masa depan yang dipimpin Soekarno. 
 
 
Menurut Mohammad Natsir, Islam bukan semata-mata religi, yaitu agama dalam pengertian ruhaniah saja.
 
Islam mengatur hubungan antara manusia dengan Allah dan antara sesama manusia. Islam merupakan pedoman dan falsafah hidup yang tidak mengenal pemisahan agama dan politik.
 
Mohammad Natsir merupakan salah satu tokoh yang selama penyusunan UUD tahun 1956-1959 dalam Majelis Konstituante menyuarakan penegakan syariat Islam di Indonesia.
 
 
Dalam sebuah artikel Islam sebagai dasar negara, ia mengakui bahwa dalam Islam tidak ada perintah untuk mendirikan suatu negara Islam oleh Rasulullah.
 
Namun demikan ia juga menyatakan penolakannya terhadap gagasan sekularissi dengan menegaskan bahwa faham sekularisasi tidak sejalan dengan jalan pikiran bangsa kita yang beragama .
 
Dari sekilas pemikiran Mohammad Natsir ini timbul kesan singkat bahwa pada dirinya terdapat pemikiran yang berbenturan antara satu sama lainnya.
 
Di satu sisi, secara normatif Islam dalam pandangannya tidak memberikan pola atau bentuk khas dari suatu negara, tetapi disisi yang lain juga ia tidak menghendaki adanya sekulerisasi sebagaimana Islam juga dipahami sebagai agama dan negara.
 
 
Tokoh dan cendekiawan Islam ini dengan tegas menolak sistem theokrasi dan sekulerisasi, namun menerima gagasan nasionalisme.
 
Selain itu demokrasi dalam pandangan Natsir harus berjalan di atas prinsip-prinsip: tauhid, persaudaraan, persamaan, dan ijtihad. Islam kedaulatan tertinggi berada di tangan Tuhan bukan di tangan rakyat.
 
Dalam buku berjudul Debat dasar negara Islam dan Pancasila: Konstituante 1957 yang ditulis oleh Muhammad Natsir, Penerbit Pustaka Panjimas tahun 1957, terurai pemikiran dan pandangannya yang jernih dan obyektif terhadap dasar negara bagi Indonesia. 
 
 
Banyak buku telah ditulis tentang cendekiawan, ulama, politisi, dan negarawan Mohammad Natsir. Sedikitnya ada 15 buku telah ditulis tentang sosok maupun pemikiran Mohammad Natsir.
 
Sebagai contoh, beberapa penulis dan bukunya: Yusuf Abdullah Puar, 1978, Muhammad Natsir 70 Tahun Kenang-kenangan Kehidupan dan Perjuangan; H. Endang Saifuddin Anshari dan M. Amien Rais,1988, Pak Natsir 80 Tahun Buku Pertama Pandangan dan Penilaian Generasi Muda; Ajip Rosidi, 1990, M. Natsir Sebuah Biografi 1, Lukman Hakiem (ed), 1993, Pemimpin Pulang Rekaman Perisistiwa Wafatnya M. Natsir; Anwar Harjono dkk, 1996, Pemikiran dan Perjuangan Mohammad Natsir; dan  Dr. Thohir Luth, 1999, M. Natsir Dakwah dan Pemikirannya.
 
Mohammad Natsir lahir pada 17 Juli 1908 dan wafat pada 6 Februari 1993. Ia dilahirkan di Alahan Panjang, Lembah Gumanti, Kabupaten Solok, Sumatra Barat dari pasangan Mohammad Idris Sutan Saripado dan Khadijah.
 

Ulama, politikus, dan pejuang kemerdekaan Indonesia ini merupakan pendiri sekaligus pemimpin partai politik Masyumi, dan tokoh Islam terkemuka Indonesia.

Ia pernah menjabat menteri dan Perdana Menteri Indonesia. Di kancah internasional, ia pernah menjabat sebagai presiden Liga Muslim Dunia (World Muslim League) dan ketua Dewan Masjid se-Dunia.

Natsir lahir dan dibesarkan di Solok, sebelum akhirnya pindah ke Bandung untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang SMA dan kemudian mempelajari ilmu Islam secara luas di perguruan tinggi.

Baca Juga: Tan Malaka, di antara pemikiran, penjara, dan pergerakan

Ia terjun ke dunia politik pada pertengahan 1930-an. Pada 5 September 1950, ia diangkat sebagai Perdana Menteri Indonesia kelima.

Setelah mengundurkan diri dari jabatannya pada tanggal 26 April 1951 karena berselisih paham dengan Presiden Soekarno, ia semakin lantang menyuarakan pentingnya peranan Islam di Indonesia hingga membuatnya dipenjarakan oleh Soekarno.

Pasca kebebasannya pada tahun 1966, Natsir terus mengkritisi pemerintah yang saat itu telah dipimpin Soeharto hingga membuatnya dicekal.

Baca Juga: Hari Lahir Pancasila 1 Juni atau 18 Agustus?

Natsir banyak menulis tentang pemikiran Islam. Ia aktif menulis di majalah-majalah Islam setelah karya tulis pertamanya diterbitkan pada tahun 1929.

Hingga akhir hayatnya ia telah menulis sekitar 45 buku dan ratusan karya tulis lain. Ia memandang Islam sebagai bagian tak terpisahkan dari budaya Indonesia.

Halaman:

Editor: Alfian Nawawi


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah

x