Melacak asal usul Pinisi Bulukumba yang ditetapkan UNESCO sebagai Warisan Budaya Dunia

- 28 September 2023, 23:08 WIB
Perahu Pinisi - Melacak sejarah Pinisi Bulukumba yang ditetapkan UNESCO sebagai Warisan Budaya Dunia
Perahu Pinisi - Melacak sejarah Pinisi Bulukumba yang ditetapkan UNESCO sebagai Warisan Budaya Dunia /ExploreMakassar.go.id

WartaBulukumba.Com -  Layarnya yang besar menjebol angin, memaksa lautan membuka jalan. Sejak memulai pelayaran dari negerinya, Bulukumba, para pelaut bergerak seperti penari. Di dalam perut Pinisi, cerita-cerita petualangan laut tak terhitung jumlahnya. Di tepi dek, matahari menyinari wajah-wajah yang pernah melihat badai dan matahari terbenam. Pinisi adalah sepotong sejarah hidup, meneruskan warisan maritim Indonesia membelah lautan. 

Salah satu 'pelabuhan' terpenting bagi Pinisi di lautan sejarahnya adalah saat ditetapkan  menjadi Warisan Budaya Dunia Tak Benda oleh UNESCO.

UNESCO memutuskan bahwa seni pembuatan kapal Pinisi dari Bulukumba Sulawesi Selatan terpilih sebagai Warisan Budaya Tak Benda (Intangible Cultural of Humanity). Penetapan itu dikukuhkan dalam sidang ke-12 Komite Warisan Budaya Tak Benda UNESCO di Pulau Jeju, Korea Selatan, Kamis 7 Desember 2017.

Baca Juga: Melayari asal usul Pinisi Bulukumba dari cerita rakyat 'Sawerigading'

Diberitakan Antara pada Jumat, 8 Desember 2017, banyak peserta sidang dari berbagai negara yang merasa kagum dengan pembuatan kapal Pinisi dan menyampaikan selamat kepada delegasi Indonesia.

Pada saat nominasi Pinisi dibahas, delegasi RI memperlihatkan buku-buku Warisan Budaya Takbenda yang dicetak Kemdikbud setiap tahun sejak 2013. Dengan demikian terlihat keseriusan Indonesia dalam menangani Warisan Budaya Takbenda Indonesia. Sebuah miniatur kapal Pinisi diletakkan di meja, dan video pembuatan Pinisi berdurasi dua menit juga ditayangkan saat Sidang berlangsung.

Wakil Bupati Bulukumba saat itu, Tomy Satria Yulianto, hadir dalam Sidang dan memberikan sambutan sambil memakai sarung dan topi adat. Kesiapan Indonesia dalam mempertahankan Pinisi ini terlihat sangat serius oleh para peserta Sidang.

Setelah ditetapkan, banyak negara-negara sahabat Indonesia yang menyalami Indonesia. Ada yang merasa senang melihat bagaimana Pinisi dicatatkan di ICH setelah melihat dokumen dan video yang ditayangkan. Ada juga yang terharu karena pada waktu kecil orang tersebut berada di Sulawesi Selatan dan melihat langsung kapal-kapal Pinisi dibuat. Kebanyakan mereka menyelamati kami atas kesiapan kami yang cukup matang.

Baca Juga: Filosofi dan ritual di balik kelahiran setiap kapal Pinisi di Bulukumba

“Agak kewalahan juga kami menerima ucapan selamat dari negara-negara sahabat yang mengerubungi meja Indonesia setelah keputusan tercatatnya Pinisi dibacakan,” ujar Tomy Satria Yulianto.

Pada saat sesi pagi selesai, Wakil Bupati Bulukumba, Tomy Satria Yulianto, mempersembahkan miniatur Pinisi kepada Chairman Sidang, Sekretaris ICH, Chairperson Evaluation Body, Direktur Kreativitas UNESCO dan pimpinan lainnya. Pin berbentuk Pinisi juga diberikan kepada para anggota Komite ICH sebagai tanda terima kasih atas bantuan mereka sehingga Pinisi dapat tercatat di ICH.

Asal Usul Pinisi

Bagaimana asal usul Pinisi yang sebenarnya? Mengutip laman Explore.makassar.go.id, sebuah tulisan yang menyebutkan awal munculnya pinisi perahu layar asal Sulawesi terdapat pada sepucuk artikel dalam majalah Koloniale Studiën tahun 1917: “… sebuah sekunar kecil dengan tali-temali berteladan Eropa”.  

Baca Juga: Muhammad Arief Saenong dan mimpi tentang museum Pinisi di Bulukumba

Sebagai kendaraan laut Nusantara, layar tipe kets-sekunar, pinisi memang baru terekam pada pertengahan abad ke 19 dan baru pada awal abad ke-20 makin banyak perahu asal Sulawesi mulai berdatangan. 

Artikel lainnya menunjukkan adanya pembuatan perahu di ujung tenggara Sulawesi Selatan yang berasal dari Notitie atau ‘Berbagai Catatan’, karangan Cornelis Speelman, pemimpin armada Kompeni India Timur Belanda yang pada tahun 1666-1669 menyerang dan menaklukkan kesultanan Makassar.  

Dalam ratusan halaman notulen tulisan tangan tentang kegiatan Speelman selama perang itu. Terdapat juga beberapa laporan tentang keadaan Sulawesi pada masanya.

“Biera, een propere negerij op den hoeck van Lassem. Daeraan heeft de Compagnie oock eygendom, maer is door de Bougijs gebrand. […] Het volck van dese negerij sijn almeest praauwemaeckers, alsoo alhier wel de voorneemste timmerwerff van de Maccassaren is geweest, om de houtrijckheyt van Boelecomba daar naest aan leggende, uytleverende seer durabel ijsserhout, van ongelooffelijcke swaarte, en voorts ander slagh meede.”

Baca Juga: Film 'Once Upon a Time in Pinisi', kisah romansa travel blogger dengan perawat cantik di Bulukumba

“Bira adalah sebuah negeri sendiri di Tanjung Lassem. Kebanyakan rakyat negeri itu adalah pembuat perahu, sehingga di situ pun terdapat galangan terpenting orang Makassar, sebab negeri itu berdekatan dengan Bulukumba yang kaya akan kayu, menyediakan kayu besi yang sangat bertahan dengan beratnya yang tak dapat dipercaya dan berbagai jenis kayu lain.”

Sepucuk naskah lainnya tentang pelayaran dan perdagangan pada pertengahan kedua abad ke-17 ini berasal juga Kodeks Amanna Gappa l, menurut cendekiawan Belanda yang pada tahun 1869 menerbitkan sebuah artikel “Pedagang sulawesi sampai hari ini masih sangat dihormati oleh semua saudagar dan pelaut”.  Naskah ini juga membahas berbagai aturan yang harus diikuti pelaut, saudagar dan penumpang selama berlayar dan menjabarkan cara membagi hasil suatu pelayaran perdagangan.

Di dalamnya juga terdapat penjelasan atas berbagai jalur yang biasa dilayari para pelaut Sulawesi pada waktu itu. Ternyata mereka terbiasa berdagang ke seluruh pelosok Nusantara.  Tradisi pelayaran ini tergambar juga pada beberapa peta laut Bugis pada abad ke-18 dan ke-19 yang tetap mengikuti keterangan yang diuraikan dalam naskah pelayaran karangan Amanna Gappa I itu.

Dalam terjemahan buku Stovorinus itu ke dalam Bahasa Inggris terdapat sebuah catatan kaki yang menyajikan berbagai informasi tambahan yang diambil dari pengamatan sebuah nahkoda inggris di Bengkulu

“Mereka membuat perahu-perahu paduakan mereka dengan sangat rapat, dengan menyambung papan-papannya dengan pasak kayu, sebagaimana yang dibuat oleh pembuat tong kayu pada bagian yang menjadi penutup, dan meletakkan kulit kayu asal sejenis pohon tertentu di antaranya, yang mengembang [bila kena air], dan berikutnya memasang gading-gadingnya kepada [papan itu …].  Di Eropa kita membangun [kapal] secara terbalik; kita mendirikan gading-gadingnya dahulu, dan setelahnya memasang papan-papannya kepadanya; yang terbesar tak pernah lebih besar daripada 50 ton [muatan]; mereka cenderung menggunakan model-model dan perlengkapan kuno dalam melengkapi perahu-perahu mereka. Bagian haluan perahu-perahu paduakan direndahkan atau dipotong sebuah sekat didirikan seberapa jarak ke arah buritan, untuk melindunginya terhadap air laut, dan bagian haluan itu sedemikian rendah bahwa ia sering berada di bawah permukaan laut.  [Perahu-perahu itu] memakai tiang tripod dengan layar bersegi yang menjulang tinggi; tiang tripod itu terbuat dari batangan bambu yang kuat; dua batang yang didirikan di sebelah kiri-kanannya, dan satu dari bagian haluan perahu, diikat di ujung atasnya; kedua batang di buritan dilubangi [… dan dipasang kepada kaki tiang] seperti pada sebuah engsel; bagian depannya dipasang ke haluan, seperti tali laberang, pada sebatang kayu, dengan pengunci; dengan membuka pengunci itu tiangnya dapat dibaringkan dalam sesaat.”

Penamaan Pinisi

Ada yang mengklaim bahwa istilah Pinisi berasal dari salah satu pelabuhan historis di Italia, tepatnya di kota Venesia. Tempat yang dikunjungi pelaut pada zaman terdahulu dimana mungkin jenis layar itu berasal. Ada yang menyebutkan bahwa salah seorang Raja Tallo telah menamai perahunya ‘Pinisi’ sejak awal abad ke-17. Adapun pun yang berpendapat bahwa perahu Pinisi sudah dipakai oleh para pahlawan Epos La Galigo guna mencari jodoh dan takdir. 

Salah satu versi terbaru yaitu konon pernah ada seseorang yang bernama Pinisi yang ketika lewat di Tanjung Bira menegur salah seorang nahkoda kapal bahwasanya layar yang digunakannya masih perlu diperbaiki.  Sejak saat itu orang Bira berfikir dan mendesain layar sedemikian rupa dan akhirnya berbentuk layar Pinisi yang seperti sekarang ini.  Atas teguran orang tersebut maka orang-orang Bira memberi layar itu dengan nama Pinisi. Sayangnya, tak satu pun dari sekian banyak sebutan kisah ini menjelaskan sumbernya. 

Legenda terkenal dihubungkan dengan Epos La Galigo, serangkaian naskah yang mengisahkan awal kerajaan Luwu, salah satu negeri di ujung utara Teluk Bone.  Konon ceritanya, salah seorang putra mahkota kerajaan yang bernama Sawerigading jatuh cinta pada adik kembarnya, We Tenriabeng.  Karena percintaan yang demikian dianggap melanggar adat dan susila maka Sawerigading diminta meninggalkan Luwu dan berlayar ke Cina, di mana tinggal seorang putri kerajaan yang separas dengan adik kembarnya itu. 

Sebuah perahu besar, Waka Welenreng dibangun untuknya dan setelah menjalani berbagai petualangan, Sawerigading akhirnya berhasil meminang putri yang bernama We Cuddai itu.  Akan tetapi, ketika ingin berlayar pulang ke Luwu, perahu Sawerigading tenggelam terpecah-belah di Selat Selayar dan pecah-pecahan yang terdampar di pesisir Lemo-Lemo, Bira dan Ara kemudian dikumpulkan oleh masyarakat setempat untuk disusun kembali menjadi perahu pertama yang dibangun di daerah itu.

Versi lainnya, menurut orang Lemo-Lemo, lunas dan gading-gading lambung hanyut ke pantai di depan kampung, sehingga merekalah yang mendapatkan rumus pembuatan perahu. Sedangkan menurut orang Ara, papan-papannya yang terdampar di pantai mereka pasangkan ulang sehingga menjadi pedoman bagi perahu-perahu buatan mereka. Sedangkan tiang perahu terdampar di Bira, sehingga orang Bira belajar berlayar dan menjadi pelaut ulung.***

Editor: Sri Ulfanita


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah

x