Budaya 'siri na pacce' Bugis Makassar, bisa berakhir maut seperti yang terjadi di Bulukumba baru-baru ini

- 3 April 2023, 22:14 WIB
Ilustrasi penikaman - Budaya 'siri na pacce' dalam budaya Bugis Makassar, bisa berujung tragis seperti yang terjadi di Bulukumba
Ilustrasi penikaman - Budaya 'siri na pacce' dalam budaya Bugis Makassar, bisa berujung tragis seperti yang terjadi di Bulukumba /pixabay

WartaBulukumba - Hunjaman badik adalah ujung sebuah penyelesaian yang kerap dipilih lelaki Bugis Makassar, termasuk lelaki Bulukumba, manakala bersinggungan langsung dengan siri.

Pekan lalu, memenuhi linimasa pemberitaan kriminalitas dari Bulukumba, karena siri, akibat istrinya diselingkuhi lelaki lain, seorang lelaki menghunjamkan badik sebanyak 17 kali kepada seorang lelaki pelanggar kehormatan (pelakor). Di sana ada ujung dari siri yakni pembunuhan dan kematian. 

Budaya siri na pacce merupakan filosofi hidup masyarakat Sulawesi Selatan yang berarti menjaga harga diri serta kokoh dalam pendirian. Nilai-nilai kearifan lokal Bugis Makassar seperti siri, merupakan kearifan lokal klasik yang hakikatnya terbawa dalam hati yang baik.

Baca Juga: Menelusuri sejarah awal masuknya Islam ke Bulukumba, ketika tasawuf bertemu mistisisme

Namun, apabila ditelusuri lebih jauh tentang makna siri, banyak makna yang ditemukan, bukan sekadar rasa malu. Budaya siri dapat berarti harga diri, martabat, kehormatan, dan cinta.

Meskipun secara harfiah, kata siri dalam bahasa Bugis dan Makassar, memiliki arti malu. Namun, makna siri dalam kehidupan masyarakat Bugis Makassar jauh lebih kompleks.

Dua kata ini sangat penting dan sulit dipisahkan, yaitu siri dan pacce. Kedua kata inilah yang dijunjung tinggi dalam masyarakat Bugis Makassar.

Baca Juga: Bulukumba darurat judi sabung ayam! Begini hukum sabung ayam dalam Islam

Tidak hanya sebatas malu di depan orang lain. Lebih dari itu, siri dianggap sebagai sebuah sikap yang menjunjung tinggi nilai-nilai sopan santun, kerendahan hati, dan kebijaksanaan. Sikap siri diharapkan dapat mendorong seseorang untuk menghormati orang lain, tidak melakukan hal yang dapat membahayakan diri sendiri atau orang lain, serta selalu berusaha untuk memperbaiki diri.

Sedangkan pacce, merupakan rasa kemanusiaan yang adil dan beradab, semangat rela berkorban, bekerja keras, dan pantang mundur. Dalam kehidupan masyarakat Bugis Makassar, sikap pacce dianggap sebagai sebuah nilai yang sangat penting. Orang yang memiliki sikap pacce diharapkan mampu bersikap adil dan bijaksana dalam mengambil keputusan, selalu siap untuk membantu orang lain, dan tidak mudah menyerah dalam menghadapi segala tantangan.

Kedua nilai ini, siri dan pacce, dianggap sebagai fondasi utama dalam menjalankan kehidupan di masyarakat Bugis-Makassar. Dalam konteks ini, siri dan pacce dianggap sebagai sebuah kesatuan yang saling melengkapi satu sama lain.

 

Baca Juga: Menyingkap tradisi 'massuro baca' suku Bugis Makassar jelang Ramadhan, termasuk di Bulukumba

Dalam kehidupan sehari-hari, kedua nilai ini seringkali diaplikasikan dalam berbagai situasi. Misalnya, dalam pertemuan antarindividu, sikap siri diharapkan mampu mendorong masing-masing individu untuk menghormati satu sama lain, tidak mengganggu ketertiban, serta tidak melakukan hal yang dapat membahayakan diri sendiri maupun orang lain. Sementara itu, sikap pacce diharapkan mampu mendorong masing-masing individu untuk selalu membantu satu sama lain, menjunjung tinggi keadilan, serta tidak menyerah dalam menghadapi segala tantangan.

Di lain sisi, budaya siri mampu memotivasi untuk berprestasi, menumbuhkan sikap kesetiakawanan sosial, kepatutan, dan penegakan hukum. Rasa malu, harga diri, kejujuran, kepemimpinan, dan etos kerja selalu dijadikan patokan dalam memaknai siri.

Untuk membantu memperluas cakrawala kita di seputar siri yang kompleks, maka bisa kita jelajahi buku "The Bugis" yang ditulis Christian Pelras, penerbit Wiley, tahun 1996.

Secara komprehensif, kita bisa telusuri lebih mendalam seputar siri dalam buku "Menguak Nilai Kearifan Lokal Bugis Makassar: Perspektif Hukum dan Pemerintahan" yang disusun Nurul Qamar, Muhammad Syarif, Dachran S. Busthami, Hasbuddin Khalid, Farah Syah Rezah, Abd. Kahar Muzakkir, diterbitkan SIGn pada 2018.

Baca Juga: Dai Bulukumba ingatkan hadits Rasulullah SAW tentang pemimpin yang seperti singa

Dari ruang pendidikan, kita bisa menemukan pemanfaatan kearifan lokal ini dalam buku: "Model Pendidikan Karakter Berbasis Kearifan Budaya pada Anak Usia Dini", penulis: Harun, Amat Jaedun, Sudaryanti dan Abdul Manaf. Penerbit UNY Press, tahun 2020.

Tiga Jenis Siri dalam Budaya Bugis Makassar

Di era digital, berlangsung begitu perubahan pada berbagai bidang, termasuk kebudayaan. Tak bisa dinafikan, kebudayaan suatu etnis tidak bisa mengelak dari perubahan yang terjadi, dan perubahan sosial budaya masyarakat cenderung terjadi karena adanya diferensiasi sosial dan integrasi.

Emile Durkheim dalam karyanya "The Division of Labor in Society" mengamati bentuk-bentuk solidaritas masyarakat tradisional dan modern.

Di Sulawesi Selatan, perubahan sosial masyarakat cenderung dipengaruhi oleh kebutuhan materi dan diferensiasi struktural modern yang berkontribusi pada integrasi manusia ke dalam sebuah kebudayaan yang sama, seperti industrialisasi dan kapitalisme.

Baca Juga: Mengapa komunitas adat Ammatoa Kajang di Bulukumba harus memakai pakaian hitam-hitam? Ini filosofinya

Namun, perubahan tersebut juga dapat mengisolasi budaya tradisional dan memengaruhi pengembangannya dengan pengetahuan klasik.

Dalam budaya Bugis Makassar, siri sejauh ini berdasarkan perubahan-perubahan yang terjadi seiring perkembangan zaman, telah meliputi sedikitnya tiga jenis.

1. Siri Masiri

Siri masiri muncul akibat perasaan malu karena mengalami kegagalan, bodoh, dan tidak berprestasi. Siri’ masiri’ ini tidak menuntut pembunuhan dalam penyelesaian masalah, seperti budaya harakiri Jepang dengan melakukan bunuh diri apabila gagal dalam meraih prestasi, namun lebih pada pengasingan diri atau pelarian yang jauh dari kampung halaman.

Baca Juga: Kepak sayap spiritual dan intelektual dari Bulukumba, Muhammad Yusuf Shandy

Dewasa ini, masyarakat Bugis memaknai siri’ sebagai bentuk tanggung jawab meraih prestasi atau menumbuhkan sifat matriarki/patriarki. Artinya, semakin tinggi jabatan seseorang maka semakin tersohor dan terhormatlah orang tersebut.

Sebuah pepatah Bugis berbunyi: “narekko sompekko, aja’ lalo muelo’ mancaji anagguru, ancaji punggawako” artinya: "jika kamu pergi merantau ke negeri orang, jangan sekali-kali kamu mau menjadi bawahan, tapi jadilah seorang pemimpin."

2. Siri Ripakasiri

Siri ripakasiri artinya malu karena dipermalukan. Masyarakat Bugis akan bereaksi apabila siri’nya dilanggar atau dilecehkan.

Baca Juga: Mochtar Pabottingi, cendekiawan nasional dari Bulukumba dalam sastra dan politik yang holistik

Implikasi dari pelecehan ini akan diasingkan, dikucilkan, atau dijauhi dari interaksi masyarakat, bahkan bisa berujung pada pembunuhan. Cara pemulihan siri’ ialah dengan bertarung atau mati dalam pertarungan merupakan jalan terakhir.

Masyarakat Sulawesi Selatan menganggap bahwa naiyya to de’e siri’na, olokolo maddupa taumi, artinya orang yang tidak punya siri itu binatang berwujud manusia.

Mati karena menegakkan siri berarti telah memulihkan identitas dirinya sebagai manusia seutuhnya, daripada hidup sebagai manusia setengah binatang.

Baca Juga: Menyibak Bulukumba Toa 1900-1911 dari catatan antropolog Belanda BF Matthes

3. Siri mappakasiri’

Siri mappakasiri artinya malu karena mempermalukan. Konsep siri’ mappakasiri’ ialah adanya rasa pembodohan dalam diri yang mengakibatkan seseorang melakukan perbuatan tercela, dan melanggar adat. Siri’ mappakasiri’ mengacu pada tindakan seseorang dalam menurunkan atau merendahkan derajat dan martabat orang lain.

Orang yang dipakasiri’ tersebut berhak memberi sanksi dalam upaya pengembalian harga diri, sedangkan orang yang mappakasiri’ harus ikhlas menerima sanksi.

Konsep ini bisa kita temukan dalam peristiwa-peristiwa berujung maut di Sulawesi Selatan. Salah satunya dalam beberapa peristiwa penikaman yang terjadi di Bulukumba dalam beberapa tahun terakhir.

Baca Juga: Siapakah pencipta logo Kabupaten Bulukumba?

Kewajiban Menegakkan Siri

Bagi masyarakat Bugis Makassar, siri harus ditegakkan bersama-sama, karena tidak hanya menjadi kewajiban satu pihak saja.

Pendapat ini didapat dari lontara, "barulah sempurna kehidupan suami-istri" di mana kedua belah pihak saling memberi pertimbangan, seiring dengan kehendak dan saling menjaga malu (siri') dari semua perbuatan yang dapat merusak malu (maka riposiri'e).

Masyarakat Bugis Makassar rela mengorbankan apa saja demi tegaknya siri' dalam kehidupannya, termasuk menegakkan dan membela siri' yang dianggap tercemar atau dicemarkan oleh orang lain.

Baca Juga: Semasa kecilnya di Kajang Bulukumba Imam Besar Masjid Al Hikmah New York 'hobi berkelahi'

Siri adalah jiwa, harga diri, dan martabat masyarakat Bugis Makassar. Mereka rela mengorbankan nyawa dan keluarganya untuk menegakkan siri', meskipun nyawa menjadi taruhannya.

Apabila siri' dikontruksi dengan falsafah cinta, manusia dituntut untuk menanam dan menumbuhkan cinta dalam dirinya. Dengan demikian, tidak akan tercipta permusuhan yang mengakibatkan hilangnya nyawa seseorang.

Nilai siri' na pacce di dalam masyarakat Bugis-Makassar mengajarkan tentang moralitas kesusilaan yang berupa anjuran, larangan, hak dan kewajiban yang mendominasi tindakan manusia untuk menjaga serta mempertahankan kehormatannya.

Yang juga sangat penting adalah bahwa siri sebagai aspek nilai budaya masyarakat Bugis Makassar mempunyai hubungan erat dengan dakwah Islam yang sangat menentukan untuk memelihara harga diri manusia dalam kehidupannya sebagai mahkluk individu dan sosial.***

 

Editor: Alfian Nawawi


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah

x