Melacak asal usul Pinisi Bulukumba yang ditetapkan UNESCO sebagai Warisan Budaya Dunia

- 28 September 2023, 23:08 WIB
Perahu Pinisi - Melacak sejarah Pinisi Bulukumba yang ditetapkan UNESCO sebagai Warisan Budaya Dunia
Perahu Pinisi - Melacak sejarah Pinisi Bulukumba yang ditetapkan UNESCO sebagai Warisan Budaya Dunia /ExploreMakassar.go.id

“Bira adalah sebuah negeri sendiri di Tanjung Lassem. Kebanyakan rakyat negeri itu adalah pembuat perahu, sehingga di situ pun terdapat galangan terpenting orang Makassar, sebab negeri itu berdekatan dengan Bulukumba yang kaya akan kayu, menyediakan kayu besi yang sangat bertahan dengan beratnya yang tak dapat dipercaya dan berbagai jenis kayu lain.”

Sepucuk naskah lainnya tentang pelayaran dan perdagangan pada pertengahan kedua abad ke-17 ini berasal juga Kodeks Amanna Gappa l, menurut cendekiawan Belanda yang pada tahun 1869 menerbitkan sebuah artikel “Pedagang sulawesi sampai hari ini masih sangat dihormati oleh semua saudagar dan pelaut”.  Naskah ini juga membahas berbagai aturan yang harus diikuti pelaut, saudagar dan penumpang selama berlayar dan menjabarkan cara membagi hasil suatu pelayaran perdagangan.

Di dalamnya juga terdapat penjelasan atas berbagai jalur yang biasa dilayari para pelaut Sulawesi pada waktu itu. Ternyata mereka terbiasa berdagang ke seluruh pelosok Nusantara.  Tradisi pelayaran ini tergambar juga pada beberapa peta laut Bugis pada abad ke-18 dan ke-19 yang tetap mengikuti keterangan yang diuraikan dalam naskah pelayaran karangan Amanna Gappa I itu.

Dalam terjemahan buku Stovorinus itu ke dalam Bahasa Inggris terdapat sebuah catatan kaki yang menyajikan berbagai informasi tambahan yang diambil dari pengamatan sebuah nahkoda inggris di Bengkulu

“Mereka membuat perahu-perahu paduakan mereka dengan sangat rapat, dengan menyambung papan-papannya dengan pasak kayu, sebagaimana yang dibuat oleh pembuat tong kayu pada bagian yang menjadi penutup, dan meletakkan kulit kayu asal sejenis pohon tertentu di antaranya, yang mengembang [bila kena air], dan berikutnya memasang gading-gadingnya kepada [papan itu …].  Di Eropa kita membangun [kapal] secara terbalik; kita mendirikan gading-gadingnya dahulu, dan setelahnya memasang papan-papannya kepadanya; yang terbesar tak pernah lebih besar daripada 50 ton [muatan]; mereka cenderung menggunakan model-model dan perlengkapan kuno dalam melengkapi perahu-perahu mereka. Bagian haluan perahu-perahu paduakan direndahkan atau dipotong sebuah sekat didirikan seberapa jarak ke arah buritan, untuk melindunginya terhadap air laut, dan bagian haluan itu sedemikian rendah bahwa ia sering berada di bawah permukaan laut.  [Perahu-perahu itu] memakai tiang tripod dengan layar bersegi yang menjulang tinggi; tiang tripod itu terbuat dari batangan bambu yang kuat; dua batang yang didirikan di sebelah kiri-kanannya, dan satu dari bagian haluan perahu, diikat di ujung atasnya; kedua batang di buritan dilubangi [… dan dipasang kepada kaki tiang] seperti pada sebuah engsel; bagian depannya dipasang ke haluan, seperti tali laberang, pada sebatang kayu, dengan pengunci; dengan membuka pengunci itu tiangnya dapat dibaringkan dalam sesaat.”

Penamaan Pinisi

Ada yang mengklaim bahwa istilah Pinisi berasal dari salah satu pelabuhan historis di Italia, tepatnya di kota Venesia. Tempat yang dikunjungi pelaut pada zaman terdahulu dimana mungkin jenis layar itu berasal. Ada yang menyebutkan bahwa salah seorang Raja Tallo telah menamai perahunya ‘Pinisi’ sejak awal abad ke-17. Adapun pun yang berpendapat bahwa perahu Pinisi sudah dipakai oleh para pahlawan Epos La Galigo guna mencari jodoh dan takdir. 

Salah satu versi terbaru yaitu konon pernah ada seseorang yang bernama Pinisi yang ketika lewat di Tanjung Bira menegur salah seorang nahkoda kapal bahwasanya layar yang digunakannya masih perlu diperbaiki.  Sejak saat itu orang Bira berfikir dan mendesain layar sedemikian rupa dan akhirnya berbentuk layar Pinisi yang seperti sekarang ini.  Atas teguran orang tersebut maka orang-orang Bira memberi layar itu dengan nama Pinisi. Sayangnya, tak satu pun dari sekian banyak sebutan kisah ini menjelaskan sumbernya. 

Legenda terkenal dihubungkan dengan Epos La Galigo, serangkaian naskah yang mengisahkan awal kerajaan Luwu, salah satu negeri di ujung utara Teluk Bone.  Konon ceritanya, salah seorang putra mahkota kerajaan yang bernama Sawerigading jatuh cinta pada adik kembarnya, We Tenriabeng.  Karena percintaan yang demikian dianggap melanggar adat dan susila maka Sawerigading diminta meninggalkan Luwu dan berlayar ke Cina, di mana tinggal seorang putri kerajaan yang separas dengan adik kembarnya itu. 

Sebuah perahu besar, Waka Welenreng dibangun untuknya dan setelah menjalani berbagai petualangan, Sawerigading akhirnya berhasil meminang putri yang bernama We Cuddai itu.  Akan tetapi, ketika ingin berlayar pulang ke Luwu, perahu Sawerigading tenggelam terpecah-belah di Selat Selayar dan pecah-pecahan yang terdampar di pesisir Lemo-Lemo, Bira dan Ara kemudian dikumpulkan oleh masyarakat setempat untuk disusun kembali menjadi perahu pertama yang dibangun di daerah itu.

Versi lainnya, menurut orang Lemo-Lemo, lunas dan gading-gading lambung hanyut ke pantai di depan kampung, sehingga merekalah yang mendapatkan rumus pembuatan perahu. Sedangkan menurut orang Ara, papan-papannya yang terdampar di pantai mereka pasangkan ulang sehingga menjadi pedoman bagi perahu-perahu buatan mereka. Sedangkan tiang perahu terdampar di Bira, sehingga orang Bira belajar berlayar dan menjadi pelaut ulung.***

Halaman:

Editor: Sri Ulfanita


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah

x