Bumi Manusia dari 'ruang kiri', yang dilarang dan yang dirubung

- 21 November 2021, 07:00 WIB
Novel Bumi Manusia
Novel Bumi Manusia /Tngkapan layar Instagram.com/@film.bumimanusia_movie

WartaBulukumba - Dianggap datang dari ruang 'kiri', tak ada buku karya sastra di Indonesia yang pernah mengalami pelarangan yang seketat novel Bumi Manusia.

Bumi Manusia 'dibelenggu' sepanjang berlangsungnya rezim pemerintahan Soeharto di era Orde Baru. 

Novel karya Pram ini lantas 'bergerilya' di tengah para penikmat karya-karya Pram di Indonesia.

Baca Juga: Bertandang ke rumah filosofi Ammatoa Kajang di Bulukumba

Sederet gerakan bawah tanah seperti stensilan dan diskusi sembunyi-sembunyi dilakukan oleh para penggemar karya-karyaPram. 

Bumi Manusia adalah buku pertama dari Tetralogi Buru karya Pramoedya Ananta Toer yang pertama kali diterbitkan oleh Hasta Mitra pada tahun 1980.

Pramoedya Ananta Toer menggarap buku ini saat menghuni 'penjara' Pulau Buru.

Baca Juga: Konsep emansipasi menurut Rohana Kudus, wartawati pertama di Indonesia

Sebelum Pram menulis novel ini pada tahun 1975, sejak tahun 1973 ia menceritakannya terlebih dahulu kepada teman-temannya.

Atas perintah Jaksa Agung, Bumi Manusia kemudian dilarang beredar setahun kemudian.

Padahal sebelum terjadi pelarangan, buku ini sukses dengan 10 kali cetak ulang dalam setahun selama 1980-1981.

Baca Juga: Hari Pahlawan 10 November, Resolusi Jihad dan pekik 'Allahu Akbar' dalam pertempuran Surabaya

Sampai tahun 2005, buku ini telah diterbitkan dalam 33 bahasa. Pada September 2005, buku ini diterbitkan kembali di Indonesia oleh Lentera Dipantara.

Buku ini melingkupi masa kejadian antara tahun 1898 hingga tahun 1918, masa ini adalah masa munculnya pemikiran politik etis dan masa awal periode Kebangkitan Nasional.

Masa ini juga menjadi awal masuknya pemikiran rasional ke Hindia Belanda, masa awal pertumbuhan organisasi-organisasi modern yang juga merupakan awal kelahiran demokrasi pola Revolusi Prancis.

Baca Juga: Ketika Ki Hajar Dewantara menulis esai ngeri-ngeri sedap 'Seandainya Aku Seorang Belanda'

Buku ini bercerita tentang perjalanan seorang tokoh bernama Minke. Minke adalah salah satu anak pribumi yang sekolah di HBS. Pada masa itu, yang dapat masuk ke sekolah HBS adalah orang-orang keturunan Eropa.

Minke adalah seorang pribumi yang pandai, ia sangat pandai menulis. Tulisannya bisa membuat orang sampai terkagum-kagum dan dimuat di berbagai Koran Belanda pada saat itu.

Sebagai seorang pribumi, ia kurang disukai oleh siswa-siswi Eropa lainnya. Minke digambarkan sebagai seorang revolusioner di buku ini. Ia berani melawan ketidakadilan yang terjadi pada bangsanya. Ia juga berani memberontak terhadap kebudayaan Jawa, yang membuatnya selalu di bawah.

Baca Juga: Refleksi Sumpah Pemuda dan perjuangan Andi Sultan Daeng Radja, Pahlawan Nasional Indonesia dari Bulukumba

Selain tokoh Minke, buku ini juga menggambarkan seorang "Nyai" yang bernama Nyai Ontosoroh.

Nyai pada saat itu dianggap sebagai perempuan yang tidak memiliki norma kesusilaan karena statusnya sebagai istri simpanan.

Statusnya sebagai seorang Nyai telah membuatnya sangat menderita, karena ia tidak memiliki hak asasi manusia yang sepantasnya. Namun yang menariknya adalah Nyai Ontosoroh sadar akan kondisi tersebut sehingga dia berusaha keras dengan terus-menerus belajar, agar dapat diakui sebagai seorang manusia.

Baca Juga: Sariamin Ismail, novelis perempuan pertama Indonesia tampil di Google Doodle

Nyai Ontosoroh berpendapat, untuk melawan penghinaan, kebodohan, kemiskinan, dan sebagainya hanyalah dengan belajar. Minke juga menjalin asmara dan akhirnya menikah dengan Annelies, anak dari Nyai Ontosoroh dan tuan Mellema.

Melalui Bumi Manusia, Pramoedya Ananta Toer melukiskan kisah dan kondisi di bawah kaki kolonialisme Belanda.

Pram berhasil menitipkan pesan melalui novelnya bahwa betapa pentingnya belajar.  Dengan belajar maka bisa mengubah nasib.

Baca Juga: Sidang BPUPKI dan kronologi sejarah Piagam Jakarta

Seperti di dalam buku ini, Nyai yang tidak bersekolah, dapat menjadi seorang guru yang hebat bagi siswa HBS dan Minke.

Bahkan pengetahuan si nyai itu, yang didapat dari pengalaman, dari buku-buku, dan dari kehidupan sehari-hari, ternyata lebih luas dari guru-guru sekolah HBS.***

 

Editor: Alfian Nawawi


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah

x