Hari Dokter Nasional dari pojok sejarah perjuangan melawan kolonialisme

- 24 Oktober 2021, 15:42 WIB
Ilustrasi dokter bedah.
Ilustrasi dokter bedah. /Pixabay/12019/

WartaBulukumba - Hari Dokter Nasional menggeletar saban tanggal 24 Oktober di Nusantara.

Hari Dokter Nasional merujuk pada 24 Oktober 1950, ketika organisasi IDI didirikan sebagai organisasi profesi kedokteran yang para pemimpin dan anggotanya hanya dokter Indonesia dan tak ada lagi dokter Belanda.

Seperti digambarkan dalam buku Tradisi Kehidupan Akademik yang ditulis oleh Rahardjo Darmanto Djojodibroto, Penerbit Galang Press, tahun 2004, perjalanan sejarah dunia kedokteran di Indonesia tak lepas dari kehadiran STOVIA, sebuah sekolah kedokteran untuk mahasiswa pribumi di Batavia pasa masa Hindia Belanda.

Baca Juga: 19 Oktober, mengenang Tragedi Bintaro dan lepasnya Timor Timur dari NKRI

Pada 24 Oktober 1950, organisasi IDI telah diresmikan oleh pemerintah meski telah berdiri sejak lama.

Para dokter di masa kolonialisme juga ikut dalam perjuangan melawan penjajah. Mereka bukan hanya melawan penyakit.

Organisasi Ikatan Dokter Indonesia sejatinya telah lebih dulu lahir jauh sebelum diresmikan pada 1950.

Baca Juga: Mustafa Kemal Attaturk dan Kemalisme

Perkumpulan dokter di nusantara diberi nama Vereniging van Indische Artsen dan berdiri pada tahun 1911.

Selama kurang lebih lima belas tahun berjalan, pada tahun 1926, organisasi ini mengalami perubahan nama menjadi Vereniging Van Indonesische Genesjkundigen (VGI).

Tahun 1940, VIG mengadakan kongres di Solo. Kongres menugaskan Prof. Bahder Djohan untuk membina dan memikirkan istilah baru dalam dunia kedokteran. Tiga tahun berselang, pada masa pendudukan Jepang, VIG dibubarkan dan diganti menjadi Jawa izi Hooko-Kai.

Baca Juga: Melintasi Bulukumba di antara garis sejarah, mitos, dan demografis

Selanjutnya pada 30 Juli 1950, atas usul Dr. Seni Sastromidjojo, PB Perthabin dan DP-PDI atau Perkumpulan Dokter Indonesia mengadakan “Muktamar Dokter Warganegara Indonesia (PMDWNI)”, yang diketuai Dr. Bahder Djohan.

Puncaknya tanggal 22-25 September 1950, Muktamar I Ikatan Dokter Indonesia (MIDI) digelar di Deca Park yg kemudian diresmikan pada bulan Oktober.

Dalam muktamar IDI itu, Dr. Sarwono Prawirohardjo terpilih menjadi Ketua Umum IDI pertama.

Baca Juga: Ariel Sharon, kisah Sang Penjagal dari Beirut

Pada tanggal 24 Oktober 1950, Ikatan Dokter Indonesia (IDI) secara resmi mendapatkan legalitas hukum di depan notaris. Pada tanggal itulah ditetapkan hari jadi IDI yang juga diperingati sebagai Hari Dokter Nasional di Indonesia.

Berikut ini 5 dokter yang menyandang pahlawan nasional, yang disarikan dari berbagai sumber literatur.

1. Wahidin Soedirohusodo

Dokter ini adalah lulusan STOVIA Jakarta, yang senang bergaul dengan rakyat biasa. Ia pun kerap mengobati rakyat tanpa memungut biaya.

Baca Juga: Ammatoa Kajang di Bulukumba, telusur miniatur ideal peradaban di Tanah Kamasemasea

Meski tidak termasuk pendiri Budi Utomo, namun namanya selalu dikaitkan dengan organisasi tersebut sebab dialah penggagas berdirinya organisasi para pelajar STOVIA Jakarta.

Dokter Wahidin Soedirohusodo juga mendirikan majalah Retna Doemilah (1904) yang artinya penerangan. Ia ingin menyampaikan kepada rakyat pentingnya arti pengajaran. Wahidin juga menerbitkan majalah Guru Desa yang berisikan pentingnya kesehatan sebagai lawan terhadap kepercayaan kepada dukun dan tahayul pada waktu itu.

Pada 26 Mei 1917, dr. Wahidin Soedirohusodo pun wafat diusia 65 tahun, dan dimakamkan di Desa Mlati, Yogyakarta.

Baca Juga: 30 September, tugu kegagalan DN Aidit dan G30 S PKI

2. Radjiman Wedyodiningrat

Lahir di Yogyakarta, 21 April 1879, Kanjeng Raden Tumenggung Radjiman Wedyodiningrat mulai belajar di bawah jendela kelas mendengarkan pelajaran. Atas belas kasihan guru Belanda, ia pun dapat mengikuti pelajaran di dalam kelas.

Usia 20 tahun, Radjiman pun berhasil mendapat gelar dokter, dan usia 24 tahun meraih gelar Master of Art. Radjiman memilih menjadi dokter karena keprihatinannya melihat masyarakat Ngawi kala itu dilanda penyakit pes.

Manuvernya saat memimpin Budi Utomo adalah mengusulkan pembentukan milisi rakyat di setiap daerah di Indonesia. Ia juga menjadi anggota Volksraad bentukan Belanda.

Pada 9 Agustus 1945, Radjiman pun membawa Bung Karno, dan Bung Hatta ke Saigon dan Da Lat untuk menemui pimpinan tentara Jepang untuk Asia Timur Raya terkait dengan pengeboman Hiroshima dan Nagsaki.

Dr. Radjiman Wedyodiningrat juga pernah menjadi ketua Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI), ia mempertanyakan tentang dasar negara Indonesia yang diuraikan Bung Karno tentang Pancasila.

Pada 20 September 1952, dr. Radjiman Wedyodiningrat menghembuskan napas terakhirnya di Ngawi, dan di makamkan di Desa Mlati, Yogyakarta, berdekatan dengan dr. Wahidin Soedirohusodo.

3. Sutomo

Dr. Sutomo lahir di desa Ngepeh, Jawa Timur, 30 Juli 1888 dengan nama asli Subroto. Ketika belajar di STOVIA Jakarta, bersama rekan-rekannya mendirikan organisasi Budi Utomo, atas gagasan dr. Wahidin Soedirohusodo.

Tujuan perkumpulan ini adalah untuk memajukan bangsa dan nusa ditingkat pengajaran, pertanian, peternakan, perdagangan, teknik dan industri, kebudayaan, dan mempertinggi cita-cita kemanusiaan untuk mencapai kehidupan yang terhormat.

Sutomo pada 1911 lulus dari STOVIA, dan bertugas sebagai dokter di Semarang. Kemudian ia dipindah tugas ke Tuban, Lubuk Pakam, dan akhirnya ke Malang. Di sana ia membasmi wabah pes.

Pada 1919, ia memperoleh kesempatan untuk memperdalam pengetahuan di Belanda. Sekembalinya ke Tanah Air, dokter Sutomo melihat kelemahan yang ada di organisasi yang didirikannya.

Ia pun giat mengusahakan agar Budi Utomo bergerak di bidang politik, dan keanggotaannya terbuka untuk seluruh rakyat.

Selain bergerak di bidang politik, dan kedokteran, dr. Sutomo juga aktif di bidang kewartawanan. Pada usia 50 tahun, tepatnya 30 Mei 1938, Sutomo menghembuskan napas terakhirnya di Surabaya.

4. Tjipto Mangoenkoesoemo

Dokter Tjipto Mangoenkoesoemo merupakan dokter profesional yang lebih dikenal sebagai tokoh pejuang kemerdekaan Indonesia. Ia menjadi salah satu pendiri Indische Partij, organisasi partai pertama yang berjuang mencapai Indonesia merdeka.

Ia banyak melakukan perjuangan melalui tulisan-tulisan yang mengkritik pemerintah Belanda di Indonesia. Kegiatan yang berseberangan dengan Belanda membuatnya sering dibuang, dan ditahan ke berbagai pelosok negeri, bahkan ke negeri Belanda.

Pria kelahiran Ambarawa 1886 ini sering menulis tentang penderitaan rakyat akibat penjajahan Belanda, yang diterbitkan di harian De Express. Ini dianggap sebagai usaha menanamkan kebencian terhadap Belanda.

Akibatnya, dr. Tjipto yang kala itu bertugas sebagai dokter pemerintah di Demak, usai memperoleh ijazah STOVIA diberhentikan dari pekerjaannya.

Hal ini membuatnya lebih intens melakukan perjuangan. Pada 1912, bersama Douwes Dekker, dan Ki Hajar Dewantara (Suwardi Suryadiningrat) mendirikan Indische Partij, sebuah partai politik.

5. Moestopo

Lahir di Kediri, Jawa Timur 13 Juli 1913, Profesor Moestopo mengenyam pendidikan dokter gigi di Surabaya. Mulanya ia hanya sebagai praktisi, namun pada 1942 Moestopo ditangkap oleh Kempeitai karena mencurigakan.

Setelah bebas, ia pun bekerja sebagai dokter gigi untuk Jepang. Namun akhirnya ia memutuskan untuk berlatih untuk menjadi seorang perwira tentara.

Setelah lulus dengan pujian, Moestopo pun diberi komando PETA di Sidoarjo, kemudian dipromosikan menjadi komando pasukan di Surabaya.***

 

Editor: Alfian Nawawi


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah