Hari Dokter Nasional dari pojok sejarah perjuangan melawan kolonialisme

- 24 Oktober 2021, 15:42 WIB
Ilustrasi dokter bedah.
Ilustrasi dokter bedah. /Pixabay/12019/

Dokter ini adalah lulusan STOVIA Jakarta, yang senang bergaul dengan rakyat biasa. Ia pun kerap mengobati rakyat tanpa memungut biaya.

Baca Juga: Ammatoa Kajang di Bulukumba, telusur miniatur ideal peradaban di Tanah Kamasemasea

Meski tidak termasuk pendiri Budi Utomo, namun namanya selalu dikaitkan dengan organisasi tersebut sebab dialah penggagas berdirinya organisasi para pelajar STOVIA Jakarta.

Dokter Wahidin Soedirohusodo juga mendirikan majalah Retna Doemilah (1904) yang artinya penerangan. Ia ingin menyampaikan kepada rakyat pentingnya arti pengajaran. Wahidin juga menerbitkan majalah Guru Desa yang berisikan pentingnya kesehatan sebagai lawan terhadap kepercayaan kepada dukun dan tahayul pada waktu itu.

Pada 26 Mei 1917, dr. Wahidin Soedirohusodo pun wafat diusia 65 tahun, dan dimakamkan di Desa Mlati, Yogyakarta.

Baca Juga: 30 September, tugu kegagalan DN Aidit dan G30 S PKI

2. Radjiman Wedyodiningrat

Lahir di Yogyakarta, 21 April 1879, Kanjeng Raden Tumenggung Radjiman Wedyodiningrat mulai belajar di bawah jendela kelas mendengarkan pelajaran. Atas belas kasihan guru Belanda, ia pun dapat mengikuti pelajaran di dalam kelas.

Usia 20 tahun, Radjiman pun berhasil mendapat gelar dokter, dan usia 24 tahun meraih gelar Master of Art. Radjiman memilih menjadi dokter karena keprihatinannya melihat masyarakat Ngawi kala itu dilanda penyakit pes.

Manuvernya saat memimpin Budi Utomo adalah mengusulkan pembentukan milisi rakyat di setiap daerah di Indonesia. Ia juga menjadi anggota Volksraad bentukan Belanda.

Halaman:

Editor: Alfian Nawawi


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah