Refleksi Sumpah Pemuda dan perjuangan Andi Sultan Daeng Radja, Pahlawan Nasional Indonesia dari Bulukumba

27 Oktober 2021, 08:00 WIB
Haji Andi Sultan Daeng Radja, Pahlawan Nasional Indonesia dari Bulukumba, Sulawesi Selatan. /Foto Repro: Buku 'Inspiring Bulukumba'

WartaBulukumba - Tanah Airnya memanggil-manggil, dan Andi Sultan Daeng Radja pun bergelora dalam sebuah perjalanan panjang pergerakan perjuangan kemerdekaan.

Api semangat juang dan impian akan persatuan anak bangsa melawan kolonial telah memantik Andi Sultan Daeng Radja secara diam-diam mengikuti kongres pemuda Indonesia 28 Oktober 1928, yang kemudian melahirkan Sumpah Pemuda

Beliau adalah Pahlawan Nasional Indonesia dari Kabupaten Bulukumba, Sulawesi Selatan.

Selain dikenal sebagai Karaeng Gantarang, beliau juga dijuluki 'Karaeng Kacamata', lantaran sosoknya yang hampir tak pernah lepas dari kacamata.

Baca Juga: Melintasi Bulukumba di antara garis sejarah, mitos, dan demografis

Dalam buku berjudul Prasejarah-Kemerdekaan di Sulawesi Selatan dalam bab yang ditulis Drs. Suriadi Mappangara, M. Hum berjudul Andi Sultan Daeng Raja: Pejuang Negara Kesatuan Republik Indonesia, penerbit: Deepublish, tahun 2016, disebutkan bahwa tidak banyak pejuang yang ditangkap dalam masa mempertahankan kemerdekaan (1945-1949) harus dibuang atau diasingkan.

Dalam sejarah panjang daerah ini, hanya pejuang-pejuang yang memiliki kharisma dan pengaruh yang besar sajalah yang diputuskan untuk dibuang jauh dari wilayah pengaruh dan kekuasaannya.

Membunuh pejuang, utamanya bagi mereka yang berdarah bangsawan berisiko sangat besar karena hal itu tidak berarti mengakhiri perjuangan, malah memperbesar gerakan. Salah satu jalan yang aman adalah dengan mengasingkan mereka dari lingkungan geografis dan kulturnya.

Di antara sekian banyak pejuang Sulawesi Selatan yang kemudian diasingkan karena dianggap berbahaya jika tetap berada di sekitar daerah kekuasaannya adalah Andi Sultan Daeng Radja, Karaeng Gantarang.

Baca Juga: Bertandang ke rumah filosofi Ammatoa Kajang di Bulukumba

Sejumlah buku lainnya yang mengulas dan mengurai sosok dan perjuangan Andi Sultan Daeng Radja yang komprehensif yaitu buku berjudul Biografi Pahlawan Haji Andi Sultan Daeng Radja Karaeng Gantarang Bulukumba yang disusun oleh M Basri Padulungi, diterbitkan oleh Pemerintah Daerah Tingkat I Provinsi Sulawesi selatan, tahun 1981; buku Andi Sultan Daeng Radja, pahlawan dari Bulukumba, yang ditulis oleh Zainuddin Tika dan H. Bachtiar Ilham Akil, penerbit: Pustaka Refleksi, tahun 2007.

Haji Andi Sultan Daeng Raja dilahirkan pada tanggal 20 Mei 1894, di Saoraja di Matekko Gantarang, wilayah Kabupaten Bulukumba sekarang. Beliau adalah putera dari kalangan keluarga bangsawan di Gantarang yaitu dari ayah Passari-Petta Tanra dan ibu Andi Ninnong.

Seperti halnya pada banyak anak bangsawan lainnya, sejak kecilnya ia dibekali dengan pelajaran agama dan sopan santun.

Baca Juga: Ammatoa Kajang di Bulukumba, telusur miniatur ideal peradaban di Tanah Kamasemasea

Beliau termasuk anak yang mempunyai kemauan yang keras, mempunyai disiplin hidup yang tidak mudah dipengaruhi, tidak tergoyahkan oleh situasi bagaimanapun serta sangat patuh terhadap kedua orang tuanya.

Dalam masalah penghayatan dan pengamalan terhadap ajaran agama Islam beliau betul-betul mengamalkan nilai-nilai pelajaran agama yang diterimanya. Hal ini tergambar dan mewarnai perjalanan hidup dan kehidupan beliau baik dalam menempuh kehidupan dalam karir politik maupun pemerintahan

Sebagai buktinya adanya upaya beliau mendirikan mesjid di Ponre yang terbesar di jamannya. Disamping itu dalam perjalanan hidup beliau untuk kegiatan organisasi sosial keagamaan beliau banyak memberikan darma bhaktinya, seperti pada organisasi Muhammadiyah yang sudah mulai mengembangkan sayapnya di Bulukumba masa itu. Sikap dan sepak terjang beliau terbawa dalam perjalanan hidup beliau setelah dewasa.

Baca Juga: Menelusuri Kajang dari pojok sejarah dan geografi

Tahun 1902, Sultan Daeng Radja masuk sekolah Volksschool (Sekolah Rakyat) tiga tahun di Bulukumba. Tamat dari Volksschool, dia melanjutkan pendidikannya ke Europeesche Lagere School (ELS) di Bantaeng.

Selesai mengenyam pendidikan di ELS, Sultan Daeng Radja melanjutkan pendidikannya di Opleiding School Voor Inlandsche Ambtenaren (OSVIA) di Makassar.

Setelah menyelesaikan pendidikannya di OSVIA pada tahun 1913, Sultan Daeng Radja yang saat itu, masih berusia 20 tahun diangkat menjadi juru tulis kantor pemerintahan Onder Afdeeling Makassar.

Bebeberapa bulan kemudian, dia diangkat menjadi calon jaksa dan diperbantukan di Inl of Justitie Makassar. Tanggal 7 Januari 1915 diangkat menjadi Eurp Klerk pada Kantor Asisten Residen Bone di Pompanua.

Baca Juga: 30 September, tugu kegagalan DN Aidit dan G30 S PKI

Selanjutnya, dia dipindahkan lagi ke Kantor Controleur Sinjai sebagai Klerk. Dari Sinjai ditugaskan ke Takalar dan mendapat jabatan wakil kepala pajak.

Selanjutnya ditugaskan ke Enrekang dengan jabatan kepala pajak. Tahun 1918, dia ditugaskan sebagai Inlandsche Besteur Asistant di Campalagian, Mandar.

Tanggal 2 April 1921, pemerintah mengeluarkan surat keputusan mengangkat Sultan Daeng Radja menjadi pejabat sementara Distrik Hadat Gantarang menggantikan Andi Mappamadeng Daeng Malette yang mengundurkan diri karena tidak bisa bekerjasama lagi dengan pemerintah kolonial Belanda.

Baca Juga: Dasar Negara Pancasila dan Islam dalam pemikiran Mohammad Natsir

Pengunduran diri Andi Mappamadeng tersebut hingga kini masih menjadi kontroversi, sebab Andi Mappamadeng Daeng Malette merupakan sepupu satu kali dari Sultan Daeng Radja. Pada waktu itu pula, Sultan Daeng Radja mendapat kepercayaan menjadi pegawai pada kantor Pengadilan Negeri (Landraad) Bulukumba.

Kembalinya Andi Sultan Daeng Radja ke Bulukumba, mendorong Dewan Hadat Gantarang atau Adat Duapulua mengadakan rapat memilih calon kepala adat.

Rapat tersebut kemudian memutuskan Andi Sultan Daeng Radja menjadi Regen (Kepala Adat) Gantarang. Jabatan ini diembannya hingga pemerintahan Belanda menyatakan pengakuannya atas kedaulatan Republik Indonesia.

Baca Juga: Amandemen UUD 1945, tuntutan zaman atau kepentingan elit politik?

Tahun 1930, Andi Sultan Daeng Radja mendapat kehormatan menjadi Jaksa pada Landraad Bulukumba.

Setelah proklamasi Kemerdekaan RI 17 Agustus 1945, pemerintah NICA menuduh Andi Sultan Daeng Radja terlibat dalam perjuangan mempertahankan kemerdekaan RI sehingga ia tidak lagi digunakan sebagai pemerintah.

Setelah kembali dari Jakarta, Andi Sultan Daeng Raja beserta delegasi lainnya menyebarkan berita proklamasi. Kehadiran beliau di Bulukumba mendapat sambutan yang luar biasa.

Baca Juga: Globalisasi vs Budaya, Ekonomi, Politik, dan Agama

Meskipun demikian pemerintahan tidak dapat berjalan dengan baik karena Dr. Ratulangi tidak dapat melaksanakan amanah yang diberikan. Situasi di Makassar khususnya, tidak kondusif. Jepang yang telah kalah perang tidak memberi peluang yang cukup besar bagi Ratulangi untuk bertindak. Keadaan yang demikian ini mendorong para bangsawan di daerah ini untuk memberi dukungan penuh agar Ratulangi mengambil alih pemerintahan.

Pada akhir bulan Agustus 1945 diselenggarakan rapat bersama pemimpin-pemimpin rakyat. Hasil pertemuan itu adalah terbentuknya staf Gubernur Sulawesi. Tidak lama kemudian dibentuk pula “Dewan Penasehat” untuk menata hubungan antara staf gubernur dan pemerintahan daerah. Dalam Dewan Penasehat ini Andi Mappanyukki ditunjuk sebagai Ketua Dewan Penasehat dan sebagai wakilnya ditunjuk Dr. Ratulangi. Selain itu pula untuk memberi dukungan penuh kepada Dr. Ratulangi agar tidak ragu dalam berhubungan dengan anasir-anasir asing, Andi Mappanyukki melakukan rapat dengan Dewan Hadatnya. Rapat itu dilaksanakan pada bulan September dan memutuskan dua hal penting, yaitu:

1. Tetap berdiri di belakang pemerintah Republik Indonesia yang dipimpin oleh Sukarno-Hatta, dan

2. Bersedia bekerjasama dengan tentara Sekutu yang bertugas di Sulawesi, tetapi tidak dengan NICA.

Kedatangan NICA membuat keadaan semakin tidak menentu. Dr. Ratulangi yang tidak memiliki perangkat yang kuat, tidak dapat bertikdak tegas kecuali lewat diplomasi. Melihat keadaan yang demikian ini, para bangsawan di Sulawesi Selatan kemudian melakukan pertemuan di kediaman Andi Mappanyukki. Mereka melakukan perundingan untuk mengambil sikap atas ulah NICA yang semakin tidak bersahabat. Pertemuan itu sendiri berlangsung pada tanggal 15 September 1945. Pertemuan itu dihadiri oleh Andi Makkasau, Maradia Campalagiang, Ibu Depu (Maradia Balnipa), Arung Gilireng, Karaeng Polombangkeng, karaeng Gantarang (Andi Sultan Daeng Radja). Dalam pertemuan itu dicetuskan satu resolusi yang isinya mendukung pemerintahan Republik Indonesia hasil proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945 dan mendukung sepenuhnya dr. Ratulangi sebagai Gubernur Sulawesi. Resolusi ini disampaikan kepada Brigjen Iwan Dougherty.

Apa yang dialami oleh Andi Sultan Daeng Raja ketika mengikuti rapat-rapat dalam mempersiapkan naskah Proklamasi kemerdekaan dan juga mengikuti detik-detik Proklamasi kemerdekaan, memberi kesan yang sangat mendalam dalam hidup dan kehidupannya. Oleh karena itu adalah sesuatu yang sangat wajar ketika beliau kembali ke Sulawesi berita kemerdekaan itu disampaikan kepada siapa saja. Bukan berita itu saja yang menjadi tekanannya, tetapi intinya adalah bagaimana hidup dan kehidupan bangsa ini tidak lagi diinjak-injak oleh bangsa lain. Oleh karena itu kehadiran kembali Belanda telah ditolak dengan mentah. Tidak ada kata kompromi dalam mempertahankan kemerdekaan.

Selain membangun kerjasama yang erat di antara lraja-raja dan kelompok bangsawan, beliau juga tidak henti-hentinya membangun semangat para pemuda untuk tetap tegar dalam berjuang mempertahankan kemerdekaan. Pernyataan-pernyataan yang dibangun diantara bangsawan-bansawan di wilayah ini telah memicu munculnya kelaskaran-kelaskan untuk mempertahankan kemerdekaan.

Usaha-usaha yang semakin meluas yang dilakukan oleh Sekutu dan juga angin segar yang diberikan Sekutu kepada Belanda,telah membuat para pemimpin rakyat di daerah ini semakin gencar melakukan perlawanan. Perlawanan tidak saja dibangun lewat perlawanan dengan taktik gerilya, tetapi juga dilakukan lewat perundingan-perundingan dan pernyataan-pernyataan yang dapat membangkitkan semangat para pejuang. Peran yang dilakukan oleh kelompok bangsawan ini telah menjadi pondasi yang kuat sehingga perlawanan itu dapat berlangsung dengan cukup lama dan akhirnya membuahkan hasil.

Pada tanggal 1 Desember 1945 dilaksanakan satu pertemuan raja-raja di Watampone. Pertemuan itu sendiri sebagai tindak lanjut pertemuan yang pernah dilakukan di kediaman rumah Sultan Daeng Raja. Dalam pertemuan yang berlangsung di kediaman Andi Sultan Daeng Radja telah diputuskan bahwa akan dilaksanakan pertemuan berkala untuk memberi dukungan bahwa rakyat Sulawesi Selatan berada di belakang Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945. Menindak lanjuti pertemuan itu dan juga mengantisipasi gelagat yang semakin meluas tentang tindak tanduk Sekutu dan Belanda, akhirnya atas inisiatif Raja Bone dilakukanlah pertemuan raja-raja di Watampone. Pertemuan itu dihadiri hampir seluruh raja-raja di Sulawesi Selatan. Pertemuan itu kemudian menghasilkan putusan yang memperkuat sikap selama ini, yaitu tetap berdiri di belakang Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945 dan tidak sudi berhubungan dengan NICA.

Sikap yang semakin terbuka yang diperlihatkan oleh raja-raja di Sulawesi ini akhirnya memaksa Sekutu dan NICA mengambil tindakan yang lebih tegas. Sehari setelah perundingan itu dilakukan, pihak tentara Australia kemudian memutuskan untuk menangkap Sultan Daeng Raja. Pada tanggal 2 Desember 1945 Andi Sultan Daeng Radja ditangkap di rumah kediamannya.

Perjuangan Andi Sultan Daeng Raja untuk mempertahankan kemerdekaan tidak surut. Lewat kunjungan yang dilakukan oleh keluarganya beliau tetap menyampaiakan kepada keluarga dan pemuda-pemuda di Bulukumba untuk tetap tegar. Oleh karena pengaruh beliau tidak surut, maka diputuskan untuk di bawa ke Makassar.

Setelah kurang lebih dua tahun berada ditahanan KIS di  Makassar, karena khawatir akan tindak tanduknya, akhirnya pada tanggal 17 Maret 1949 Andi Sultan Daeng Radja diasingkan di Menado.

Pada tanggal 8 Januari 1950 Andi Sultan Daeng Radja dibebaskan. Pembebasan beliau disambut gembira masyarakat Bulukumba yang masih menganggapnya sebagai Karaeng Gantarang.

Perjuangan beliau untuk tetap mempertahankan negara kesatuan diperlihatkan ketika ia bersama beberapa raja di Sulawesi Selatan melakukan kunjungan ke Yogyakarta sebagai tanda bahwa rakyat Sulawesi Selatan menginginkan terwujudnya negara kesatuan.

Setelah mundur dari jabatannya selaku Kepala Adat Gantarang, Menteri Dalam Negeri berdasarkan Surat Keputusan tertanggal 11 Juni 1951 mengangkatnya menjadi bupati pada kantor Gubernur Sulsel. Tanggal 4 April 1955, dia ditugaskan sebagai Bupati Daerah Bantaeng dan diangkat menjadi pegawai negeri tetap.

Tahun 1956, Sultan Daeng Radja diangkat menjadi residen diperbantukan pada Gubernur Sulsel sesuai keputusan presiden.

Setahun kemudian dia diangkat menjadi Anggota Konstituante. Andi Sultan Daeng Radja wafat pada 17 Mei 1963 di Rumah Sakit Pelamonia Makassar dalam usia 70 tahun. Semasa hidupnya, Andi Sultan Daeng Radja memiliki empat istri dan 13 anak.

Andi Sultan Daeng Radja berjuang menentang penjajahan kolonial Belanda dimulai sejak masih menjadi siswa di Opdeling School Voor Indlandsche Ambtenar (OSVIA) di Makassar. Ketidak-sukaan Sultan Daeng Radja terhadap pemerintah kolonial dipicu oleh kesewenangan dan penindasan yang dilakukan pemerintah Belanda terhadap rakyat Bulukumba.

Semangat untuk membela rakyat dan bangsa Indonesia yang terpateri dalam jiwa Sultan Daeng Radja, semakin berkobar saat dia aktif mengikuti perkembangan dan pertumbuhan organisasi kebangsaan yang muncul di Pulau Jawa. Seperti Budi Utomo dan Serikat Dagang Islam yang didirikan sebagai wadah perjuangan melawan penjajahan kolonial Belanda.

Semangat Sultan Daeng Radja untuk membebaskan bangsanya dari penjajahan, membuat dia secara diam-diam mengikuti kongres pemuda Indonesia 28 Oktober 1928, yang dikenal dengan nama Sumpah Pemuda. Sepulang mengikuti kongres ini, tekad Sultan Daeng Radja semakin berkobar untuk mengusir kolonial Belanda dari Indonesia.

Bersama Dr Ratulangi dan Andi Pangerang Pettarani, Andi Sultan Daeng Radja diutus sebagai wakil Sulsel mengikuti rapat Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) di Jakarta.

PPKI adalah badan yang bekerja mempersiapkan kemerdekaan Republik Indonesia tanggal 17 Agustus 1945.

Pada bulan Agustus 1945 Bapak Haji Andi Sultan Daeng Raja beserta Andi Pangerang Daeng Rani dan Dr. G.S.S.J. Ratulangi berangkat ke Jakarta sebagai anggota missi Sulawesi yang akan mengikuti sidang Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia.

Sidang-sidang dari panitia tersebut diikuti beliau secara aktif yang akhirnya menelorkan teks Proklamasi Kemerdekaan Indonesia yang dihadiri oleh 31 orang pemimpin-pemimpin Indonesia antara lain:

  1. Ir. Sukarno
  2. Drs. Moh. Hatta
  3. Mr. Acmad Subarjo
  4. Dr. Rajiman Wediodiningrat
  5. M. Sutaryo Kartohadikusumo
  6. Mr. Iwa Kusuma Sumantri
  7. Abikusno Cokrosuyoso
  8. Dr. Buntaran Martoatmojo
  9. R. Otto Iskandardinata
  10. Prof. Dr. Supomo
  11. Sukarjo Wiryopranoto
  12. Ki Hajar Dewantara
  13. Ki Bagus Hadikusumo
  14. Dr. G. S. S. J. Ratulangi
  15. Mr. Johannes Latuharhary
  16. Mr. I Gusti Ketut Puja,
  17. Dr. Syamsi
  18. Dr. Amir
  19. Mr. Teuku Hasan
  20. Mr. A. Abas
  21. Hamidhan
  22. R.A R i v a i
  23. Andi Pangerang
  24. Andi Sultan Daeng Radja
  25. Sudiro (mbah)
  26. Sukarni
  27. Chaerul Cokroaminoto 
  28. Harsono Cokroaminoto
  29. B. M. Diah
  30. Sayuti Melik
  31. Semaun Bakri

Jadi Andi Sultan Daeng Raja termasuk salah seorang pencetus ikrar luhur bangsa Indonesia yang melahirkan Indonesia merdeka ini.

Beliau turut menghadiri detik-detik paling bersejarah dalam perjalanan sejarah bangsa Indonesia, yaitu pernyataan Proklamasi Kemerdekaan Indonesia yang dikumandangkan keseluruh penjuru dunia di Gedung Pegangsaan Timur No. 56, tanggal 17-8-1945.

Usai mengikuti rapat PPKI, Sultan Daeng Radja, langsung pulang ke Bulukumba untuk memberi penjelasan kepada rakyatnya mengenai hasil rapat PPKI dan menyusun rencana dalam rangka menindaklanjuti persitiwa bersejarah kemerdekaan RI. Kabar kemerdekaan RI yang disampaikan Sultan Daeng Radja, disambut rasa haru dan gembira oleh seluruh rakyat Bulukumba.

Akhir Agustus 1945, Sultan Daeng Radja mengusulkan pembentukan organisasi Persatuan Pergerakan Nasional Indonesia (PPNI). Organisasi ini, dipimpin Andi Panamun dan Abdul Karim. PPNI dibentuk sebagai wadah menghimpun pemuda dalam rangka mengamankan dan membela Negara Indonesia.

Beberapa hari setelah kemerdekaan RI 17 Agustus 1945, tentara sekutu mendarat di Indonesia termasuk di Bulukumba. Kehadiran tentara sekutu, diboncengi tentara Belanda lengkap dengan pemerintahan sipil yang disebut Nederlands Indisch Civil Administration (NICA). Kehadiran NICA sama halnya kehadiran tentara Jepang, ingin menjajah Indonesia.

Sepak terjang Andi Sultan Daeng Radja sebelum kemerdekaan RI dan sesudah kemerdekaan dalam memperjuangkan kemerdekaan RI, ternyata membuat khawatir NICA. Apalagi, Sultan Daeng Radja menyatakan tidak bersedia bekerjasama dengan NICA. Tanggal 2 Desember 1945 NICA menangkap Andi Sultan Daeng Radja di kediamannya, Kampung Kasuara, Gantarang.

Andi Sultan Daeng Radja kemudian dibawa ke Makassar untuk ditahan. Pemerintah kolonial berharap, penangkapan Sultan Daeng Radja akan mematikan perlawanan rakyat Bulukumba. Tetapi yang terjadi malah sebaliknya. Penangkapan dia semakin membangkitkan perlawanan rakyat Bulukumba terhadap NICA.

Para pejuang Bulukumba, kemudian membentuk organisasi perlawanan bersenjata yang dinamakan Laskar Pemberontak Bulukumba Angkatan Rakyat (PBAR) yang dipimpin Andi Syamsuddin. Dalam organisasi PBAR, Andi Sultan Daeng Radja didudukkan sebagai Bapak Agung. Meski dipenjara, seluruh kegiatan PBAR dipantau oleh Sultan Daeng Radja. Melalui keluarga yang menjenguknya, Sultan Daeng Radja memberi perintah kepada Laskar PBAR.

Setelah lima tahun di penjara di Makassar, pada tanggal 17 Maret 1949, pengadilan kolonial kemudian mengadili dan memvonis Sultan Daeng Radja dengan hukuman pengasingan ke Menado, Sulawesi Utara hingga 8 Januari 1950.

Perjuangan Andi Sultan Daeng Radja dalam melawan penjajahan di Indonesia, akhirnya mendapat penghargaan tinggi dari Pemerintah Indonesia.

Berdasarkan Keputusan Presiden RI No. 085/TK/Tahun 2006 tertanggal 3 November 2006, Presiden SBY menganugerahkan gelar Pahlawan Nasional dan Tanda Kehormatan Bintang Mahaputera Adipradana kepada Andi Sultan Daeng Radja, di Istana Negara pada tanggal 9 November 2006.***

Editor: Alfian Nawawi

Tags

Terkini

Terpopuler