Mengenal lebih dalam Dharsyaf Pabottingi, sosok seniman komplit dari Bulukumba

- 29 Desember 2022, 15:48 WIB
Dharsyaf Pabottingi, sosok seniman komplit dari Bulukumba
Dharsyaf Pabottingi, sosok seniman komplit dari Bulukumba /Tangkapan layar YouTube.com/@TeaterKampong

Saat itulah ayahnya diangkat sebagai Kepala Desa Terang-terang oleh Camat Ujungbulu Kapten (TNI) Andi Mallanti atas persetujuan Kepala Daerah pertama Kabupaten Bulukumba Andi Patarai.

Pada tahun 1961 dengan usia yang menginjak enam tahun, Achmad Dharsyaf Pabottingi memulai pendidikan formalnya di SD No.2 Terang-terang hingga selesai pada tahun 1967.

Baca Juga: Seniman muda Bulukumba ini satu-satunya pelukis pirografi di Sulawesi Selatan, melukis di kayu dengan api

Semasih kecil Dharsyaf dibesarkan dalam lingkungan budaya pesisir yang akrab dengan tembang Batti’-batti’ dan Rambang-rambang yang dimainkan dengan petikan gambus, gesekan biola dan tetabuhan rebana yang bibawah oleh pelaut Bira dan Tanah Beru.

Masa itu pesisir pantai Kampong Gaddea bersentuhan langsung dengan muara sungai Teko yang cukup luas dan dalam sehingga memungkinkan menjadi pelabuhan bagi perahu-perahu yang pulang dari Jawa dan sekaligus menjadi pelabuhan nelayan setempat. Irama gendang Tunrung Pallopi sangat akrab ditelinga Achmad Dharsyaf Pabottingi saat perahu bertolak, demikian pula saat kembali berlabuh.

Di pesisir itu pula Achmad Dharsyaf Pabottingi menyaksikan orang-orang Tanah Beru membuat berbagai jenis perahu, mulai dari Pinisi, Lambo, Pajala, Sandek. Sampai rangkaian dan saat paling meriah adalah upacara peluncuran perahu dengan semangat gotong royong.

Baca Juga: Puisi 'Kepada Para Pengkotbah' penyair Bulukumba Andhika Mappasomba

Selain budaya pesisir, Achmad Dharsyaf Pabottingi juga akrab dengan budaya pertanian.

Ayahnya yang kepala desa sering mengadakan pesta panen. Di sana berlangsung permainan sepak raga, atraksi pencak baruga dan permainan Mappadekko.

Kebiasaan mappadekko ini tidak hanya dilakukan pada saat pesta panen, tapi dilakukan juga ketika terjadi gerhana bulan (semmei ketengnge) sebab mitos orang tua masih dipercaya bahwa gerhana itu terjadi akibat bulan purnama ditelan oleh ular raksasa dan untuk memaksa ular raksasa itu memuntahkan kembali bulan purnama dalam mulutnya, dilakukanlah mappadekko.

Halaman:

Editor: Alfian Nawawi


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah

x