Puisi 'Kepada Para Pengkotbah' penyair Bulukumba Andhika Mappasomba

- 2 Mei 2022, 07:36 WIB
Andhika Mappasomba, penyair Bulukumba
Andhika Mappasomba, penyair Bulukumba /Dok. pribadi Andhika Mappasomba
 
WartaBulukumba - Bulukumba hari ini masih memiliki segelintir sastrawan, beberapa di antaranya penyair yang masih tetap membumi dengan puisi.
 
Salah satu dari segelintir itu adalah Andhika Mappasomba, nama pena di balik Andi Abdul Karim, SS.
 
Sebagai penyair, Andhika Mappasomba menulis berlembar-lembar puisi yang merengkuh realitas sosial, kemanusiaan dan cinta.
 
 
Sebagian besar puisi Andhika Mappasomba memonumental dalam bentuk buku antologi puisi tunggal maupun bersama penyair lainnya.
 
Siapakah Andhika Mappasomba? Sosoknya bisa ditemu kenali di link ini.
 
Berikut salah satu puisi Andhika Mappasomba yang menggamit realitas sosial yang sedang sakit atau sudah lama sakit. 
 
 
Kepada Para Pengkhotbah

Lonceng gereja berdentang beberapa jam setelah azan
tepat ketika para rahib melintas menggumam di depan pagoda yang disesaki patung dewa-dewa rupa rupa warna, rupa-rupa wajah, rupa-rupa bunga

Meski ramai orang punya agama
toh kapitalisme adalah pemenang di segala suku bangsa, pengikut agama, di semua ras dan warna kulit. TV telah menjadi nabi dan iklan otot perut juga kecantikan menjadi jalan kebenaran
 
Baca Juga: Puisi 'Malam Lebaran' karya Sitor Situmorang yang awal kepenyairannya banyak dipengaruhi Chairil Anwar

Ibarat gurita dan tentakel panjang dan garang,
dihisapnya darah-darah kaum beragama itu ke dalam neraca untung rugi. Tak perduli, seperti apa khusyuk doanya. Jubah pendeta, sorban muballigh, sepatu pastor, terseret dalam merek, lupa pada esensi bahwa hidup adalah jembatan abadi menuju kematian. sementara dunia hanya menjadi segelintir orang kaya

Aku melihat orang orang asing dan gila masuk ke dalam gereja membawa samurai, menebas kepala pengkhotbah dan patung yesus dan menusuk nusuk bunda maria,
Lalu muslimah menyusul menyapu bekas amuknya dan buya memeluk keduanya
menggagalkan bendera jihad dan perang salib di bawah panji pancasila

Aku melihat ulama ditebas kepalanya di dalam masjid di subuh dingin
entah siapa yang membersihkan darahnya di lantai masjid
lalu tak kudengar suara apa-apa selain duka. Sebagian yang lain, malah menutup mata dan telinga, tak mau tahu, tak terusik hatinya
 
Baca Juga: Sejarah Hari Puisi Nasional 28 April dan tonggak penting kepenyairan Chairil Anwar, Pelopor Angkatan 45

Aku mendengar pengkhotbah preman insyaf alumni pengajian Iqra pesantren minggu menistakan wanita bercadar dengan ayat-ayat camat dan kepala desa

Aku menyaksikan kristian menyerang muslim seperti muslim menyerang kristian
Aku menyaksikan budhis membantai muslim seperti yahudi di palestina
Aku menyaksikan hindu mengganyang muslim bertikai memperebutkan batas negara, tanah milik siapa
Aku menyaksikan negara barat menyerang muslim dengan peluru lalu yang membela diri dituding sebagai pengacau keamanan dunia
Aku menyaksikan tetangga_ku menyerang muslim seperti muslim menyerang tetanggaku yang lain

Muslim dihinakan fitnah dari segala arah dan ribuan cara dan senjata. Bukan tak sengaja tentara di balik senjata adalah non muslim atau mungkin saja non manusia berhati nurani
 

Budhis rohingnya terusik pertumbuhan muslim
kristian gerah marah pada kabar muallaf
muslim jenuh pada isu kafirisasi dan murtadin
kaum hindu dan muslim india saling cakar di wajah bagai singa dan kucing berebut kuasa dan perbatasan tanah
Agama yang salah tafsir datang hanya menambah amunisi kemarahan baru

kau boleh tak sepakat
aku punya pendapat sendiri
kita boleh berbeda. Kau boleh marah seperti aku boleh juga marah dengan ramah

Sungguhkah para pengkhotbah telah gagal memahami agama?
Bahasa neraka ditumbuhkan dengan caci maki. Sorga seolah milik segelintir kaum berdasi
 
Baca Juga: Puisi islami lima sastrawan besar Indonesia, 'Dalam Do'aku' hingga 'Tuhan, Kita Begitu Dekat'

Bahasa amarah dipolesi bedak kepalsuan peribahasa
Api dalam sekam berbangsa dikibas dan dikipas, mengharap huru hara untuk siapa?

Pengkhotbah politik
mengibarkan bendera hasutan
agama dijual pada baligho dan famplet propaganda
pepohonan dipaku
tiang listrik diikat
kelompok minoritas dan mayoritas saling tinju, tendang, dan mencakar di dalam debat debat.

kelopak bunga bunga bahasa para nabi dibenam ke dalam tong sampah. orang-orang menanam curiga dan memupuknya dengan maki, menyuburkan titik api dalam sekam kebangsaan. Kepercayaan hukum yang murah meriah seperti buku humor di barang loakan.

Kita sedang berpura-pura berdamai atas nama toleransi
 
Baca Juga: Puisi terakhir WS Rendra sesaat sebelum meninggal dunia

Aku melihat para alim ulama dihina
aku melihat pendeta dan pastor juga dihina
aku melihat rahib dihina
pemimpin dihina
rakyat dihina

kedua penghina adalah anak haram kitab suci, anak haram yang sama menumpang hidup sebagai benalu di bumi Indonesia

Siapakah sesungguhnya yang musuh itu di hadapan kita?

Rumah ibadah dibakar atas nama tuhan
apakah tuhan adalah taruna pemadam keributan?

Gowa Makassar, 16 Februari 2018.
 
Andhika Mappasomba, sekali lagi, dia 'gemulai' dalam puisi yang 'menggigit'. ***
 
 
 

Editor: Alfian Nawawi


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah

x