"Apalagi akibat tekanan atas hak misalnya, karena lahan dan pekarangan serta ladang yang terancam diambil paksa pengusaha atau penguasa seperti yang marak terjadi di berbagai daerah dan tempat. Sengketa lahan di Indonesia tidak kalah banyak dibanding tindak korupsi yang semakin menambah kejengkelan rakyat. Memang ada diantaranya yang beranjak dari rasa kedengkian, tapi tidak sedikit mereka yang menganggap perilaku semacam itu pantas dikutuk.," urai Jacob Ereste.
Menurut Jacob, itulah ketakutan yang paling menakutkan. Sebab kita yang ada disekitarnya akan terdampak juga, atau bahkan bisa menjadi bagian dari lahar yang mendidih itu untuky melumat apa saja yang ada, termasuk diri kita sendiri.
Baca Juga: Pulau Rempang: Antara warisan sejarah dan investasi besar
"Sebab kemarahan yang memuncak bisa menjadi bencana yang tak terduga dan mampu diprediksikan sebelumnya oleh siapapun. Yang acap menjadi penyulut kemarahan rakyat ini bisa saja bermula dari beban ekonomi yang terasa semakin berat. Kesulitan memperoleh pekerjaan yang bisa diandalkan untuk memberi penghasilan untuk hidup. Tapi juga bisa diakibatkan oleh tekanan psikologis dari situasi dan kondisi politik, ekonomi, sosial dan budaya serta keagamaan yang runyam, bising dan gaduh," urainya lagi.
Sementara, lanjut Jacob, upaya untuk sedikit mengendurkan ketegangan yang bersifat psikologis itu tak menemukan cara yang terbaik dalam mengatasinya.
Hukuman Mati Terhadap Koruptor
Usulan untuk memberlakukan hukuman mati terhadap koruptor telah muncul berkali-kali, tetapi belum mendapatkan persetujuan dari parlemen. Jacob Ereste sejenak merenung.
"Usulan terhadap pelaku tindak pidana korupsi agar dihukum mati, sudah berulang kali diusulkan, namun tak disahkan juga oleh parlemen yang selalu merasa tetap mewakili suara rakyat. Toh, usulan hukuman mati terhadap koruptor tidak juga menjadi perhatian. Boleh jadi -- bila hukuman mati terhadap koruptor ini diberlakukan -- korban pertama dan terbanyak adalah mereka sendiri yang ada di parlemen itu," jelasnya.
Jacob Ereste mengingatkan tentang pentingnya pemerintah untuk bersikap bijak dalam mengantisipasi kemarahan rakyat.
Ia berharap peristiwa tahun 1998 dapat dijadikan pelajaran berharga agar kejengkelan yang tumbuh di tengah masyarakat tidak meledak menjadi bencana. Upaya untuk mencegah kemarahan rakyat harus dilakukan secara bijak dan taktis.