Mengenal Hamas di Palestina: Sunni atau Syiah? Ini metode perjuangan mereka melawan Zionis

- 10 Oktober 2023, 11:57 WIB
Pasukan paralayang Al Qassam Hamas
Pasukan paralayang Al Qassam Hamas /Instagram/@adv_bulbul

WartaBulukumba.Com - Dengan level keberanian yang belum pernah terlihat sebelumnya, ratusan video yang beredar viral di berbagai platform jagat maya memvisualisasikan serangan pasukan Al Qassam dari Hamas yang menyerang wilayah Zionis Israel. Yang paling menyedot perhatian dunia adalah pasukan paralayang mereka yang nekat memasuki kota-kota wilayah Palestina yang saat ini diduduki dan dijadikan pemukiman oleh Zionis.

 

Hari penuh dramatisme dan ketegangan, pada Sabtu, 7 Oktober 2023, pasukan paralayang dari kelompok Hamas melakukan serangan dengan meledakkan sebagian pagar pemisah yang dijaga ketat dan mengirimkan pejuang di sepanjang perbatasan Gaza. Hasilnya mengejutkan, 800 lebih korban tewas di pihak Israel.

Sejak terbentuknya Palestine Liberation Organization (PLO) pada 2 Juni 1964, Fatah dan Hamas telah memainkan peran penting dalam perjuangan untuk kemerdekaan Palestina.

Baca Juga: Ada 3 pabrik roket di bawah tanah milik Hamas di Jalur Gaza

Salah satu literatur yang cukup komprehensif mengurai seputar sepak terjang Hamas adalah buku berjudul "Hamas Politics, Charity, and Terrorism in the Service of Jihad" yang ditulis Matthew Levitt, terbit tahun 2008, penerbit  Yale University Press.

Dengan pendekatan dan perspektif berbeda, kita juga bisa memperluas pemahaman dengan buku "The Palestinian Hamas Vision, Violence, and Coexistence" yang ditulis Shaul Mishal dan Avraham Sela, terbit tahun 2006, penerbit Columbia University Press.

Sunni dan Syiah?

Hubungan antara Hamas dan Syiah memang telah menjadi topik perdebatan dan perhatian dalam konteks geopolitik Timur Tengah.

Baca Juga: Mengenang sejarah Nakba 1948 saat 750 ribu warga Palestina diusir dari rumah mereka oleh Zionis

Hamas, sebagai organisasi Palestina yang berbasis di Gaza, telah menerima dukungan dari Iran, yang mayoritas penduduknya beragama Syiah. Ini terutama terjadi pada masa lalu, di mana Iran memberikan dukungan finansial dan militer kepada Hamas.

Namun, penting untuk dicatat bahwa Hamas adalah organisasi Sunni, sementara mayoritas Iran adalah Syiah. Dukungan Iran terhadap Hamas terutama didasarkan pada persamaan tujuan anti-Israel dan dukungan terhadap perjuangan Palestina, bukan basis agama.

Hubungan antara Hamas dan Syiah memang telah menjadi topik perdebatan dan perhatian dalam konteks geopolitik Timur Tengah.

Diwartakan Reuters pada Senin, 9 Oktober 2023, Hamas adalah gerakan Islam Sunni dan nasionalisme Palestina yang menentang pendudukan zionis di wilayah tersebut. Mereka percaya bahwa tujuan mereka adalah untuk membebaskan seluruh Palestina.

Baca Juga: Yasser Arafat, legenda 'kontroversial' Palestina dalam melawan Zionis Israel

Cabang Ikhwanul Muslimin Mesir

Dalam buku berjudul "Hamas and Israel: Conflicting Strategies of Group-based Politics" oleh Sherifa Zuhu, penerbit U.S. Army War College, Strategic Studies Institute Asli dari University of Michigan, terdigitalisasi pada 6 Mei 2013, memberikan analisis mendalam tentang strategi dan politik Hamas serta Israel dalam konflik Israel-Palestina.

Hamas berdiri pada tahun 1987 sebagai cabang dari Ikhwanul Muslimin Mesir, yang juga berbasis ajaran Sunni. Pendiri Hamas, Sheikh Ahmed Yassin, menyatakan tujuan organisasi ini adalah membebaskan Palestina dari pendudukan Israel dan mendirikan negara Islam di wilayah yang sekarang menjadi Israel, Tepi Barat, dan Jalur Gaza. Hamas memimpin pemerintahan di Jalur Gaza sejak tahun 2007.

Mereka melakukan kudeta dengan pasukan setia gerakan Fatah yang dipimpin oleh Presiden Mahmoud Abbas. Mahmoud Abbas merupakan kepala Organisasi Pembebasan Palestina (PLO), yang dominan berada di Tepi Barat. Pengambilalihan Gaza terjadi setelah Hamas memenangkan parlemen Palestina pada 2006 silam.

Sejak itu, terjadi konflik di Israel. Konflik melibatkan serangan roket Hamas dari Gaza ke Israel dan serangan udara Israel serta pemboman di Gaza.

Saat ini, hubungan antara Hamas dan Iran telah mengalami perubahan, dan keduanya berupaya untuk memperbaikinya. Seperti yang Anda sebutkan, Turki dan Qatar adalah dua negara yang memberikan dukungan kuat kepada Hamas. Turki memiliki hubungan yang erat dengan Hamas, dan Qatar telah memberikan bantuan finansial kepada Gaza.

Baca Juga: Kisah awal Zionis Israel menjajah Palestina

Semua ini menunjukkan bahwa hubungan Hamas dengan aktor-aktor regional, terutama yang berbasis di Timur Tengah, sangat kompleks dan dipengaruhi oleh berbagai faktor, termasuk pertimbangan politik dan geopolitik, bukan hanya faktor agama.

Selain Iran, Suriah, yang dipimpin oleh pemerintahan Alawit (cabang kecil dari Islam Syiah), juga memberikan dukungan kepada Hamas. Namun, hubungan antara Hamas dan Suriah menjadi tegang selama Perang Saudara Suriah, ketika Hamas memilih untuk mendukung pemberontak yang menentang rezim Suriah.

Sementara Hezbollah merupakan organisasi Syiah dari aliran Dua Belas Imam (twelver) dan mendukung Iran. Meskipun pada awalnya Hamas memiliki hubungan baik dengan Hezbollah dan Iran, perpecahan terjadi ketika Hamas memutuskan untuk mendukung pemberontak Suriah yang berlawanan dengan pemerintah Suriah yang didukung oleh Iran dan Hezbollah.

Baca Juga: Dengan harta dan pikirannya, Mohamed Ali Eltaher saudagar Palestina membantu perjuangan kemerdekaan Indonesia

Saat ini, hubungan antara Hamas dan Iran telah mengalami perubahan, dan keduanya berupaya untuk memperbaikinya. Turki dan Qatar adalah dua negara yang disebut-sebut memberikan dukungan kuat kepada Hamas. Turki memiliki hubungan yang erat dengan Hamas, dan Qatar telah memberikan bantuan finansial kepada Gaza.

Semua ini menunjukkan bahwa hubungan Hamas dengan aktor-aktor regional, terutama yang berbasis di Timur Tengah, sangat kompleks dan dipengaruhi oleh berbagai faktor, termasuk pertimbangan politik dan geopolitik, bukan hanya faktor agama.

Hamas Menggunakan Metode Berbeda dengan Fatah

Namun, meskipun memiliki impian yang sama, yaitu kemerdekaan Palestina, Fatah dan Hamas memiliki metode yang berbeda dalam mencapai tujuan tersebut. Perbedaan ini tergambar dalam tiga konteks utama:

Pertama, persoalan ideologis. Hamas mendorong ideologi Islam sebagai pemersatu rakyat Palestina dan melihat agama sebagai sumber inspirasi dalam melawan Zionis. Sementara Fatah mengambil pendekatan sekularisasi dan memisahkan politik dari agama.

Baca Juga: Mengenang Perang Yom Kippur 50 tahun silam: Saat geopolitik dunia berubah dimulai Oktober 1973

Kedua, soal resistensi wilayah. Hamas tidak mengambil kompromi dalam upaya merebut kembali seluruh tanah Palestina yang dijajah oleh Israel. Fatah, di sisi lain, cenderung lebih pragmatis dalam bernegosiasi demi memerdekakan Palestina, termasuk menerima pendudukan Israel di sebagian wilayah Palestina.

Ketiga, perspektif lawan. Israel dan sekutu-sekutunya menganggap Hamas sebagai teroris dan hanya mengakui PLO, yang didominasi oleh Fatah, sebagai representasi Palestina.

Pertentangan antara Hamas dan Fatah juga mencerminkan dinamika demokrasi di Palestina. Setelah pemilihan umum pertama pada 1996, Fatah menjadi pemenang dan Yasser Arafat menjadi presiden. Namun, Hamas menolak ikut serta dalam pemerintahan yang akan dibentuk oleh Fatah, karena merasa hal itu hanya akan melegitimasi kepemimpinan Fatah.

Kemenangan Hamas dalam pemilu 2006 mengubah lanskap politik Palestina. Mereka menguasai sebagian besar kursi parlemen dan berusaha memimpin Gaza, sementara Fatah tetap dominan di Tepi Barat. Konflik antara kedua faksi ini telah menciptakan ketegangan yang berkepanjangan di wilayah Palestina.

Namun, pada tahun 2017, terjadi upaya kolaborasi antara Hamas dan Fatah yang mencapai kesepakatan di Kairo, Mesir, dengan tujuan membentuk pemerintahan bersama. Namun, situasi ini terus berubah, terutama setelah AS mengakui Yerusalem sebagai ibu kota Israel pada 2017.

Serangan Hamas pada Oktober 2023 telah memperburuk situasi, memicu peringatan perang yang panjang dan sulit dari pemerintahan Israel yang dipimpin oleh Benjamin Netanyahu. Konflik antara Hamas dan Fatah, bersama dengan perubahan politik regional dan internasional, tetap menjadi tantangan besar dalam perjuangan menuju kemerdekaan Palestina.***

Editor: Alfian Nawawi


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah

x