Akibat pandemi perempuan AS berjuang keras untuk mendapatkan hak untuk bekerja

5 Maret 2021, 06:00 WIB
Ilustrasi perempuan Amerika Serikat dan Work From Home (WFH). /pexels.com/Ekaterina Bolovtsova

WartaBulukumba -  Kondisi yang dialami banyak perempuan di negara-negara duniaketiga termasuk Indonesia ternyata tidak berbeda jauh dengan kondisi yang menerpa sebahagian perempuan Amerika Serikat (AS).

Seperti yang menerpa kehidupan seorang perempuan AS bernama Katy McAvoy. Saat ini ia berharap akan memiliki lebih banyak waktu berjuang keras untuk mendapatkan hak bekerja setelah putrinya yang berusia 5 tahun mulai masuk sekolah taman kanak-kanak pada pertengahan November.

Berbulan-bulan lamanya putrinya harus meluangkan waktu menerima pengalaman belajar secara virtual.

Baca Juga: Direktur Jenderal ESDM beberkan Amazon akan bangun pusat data di Indonesia

Pandemi tidak pernah mengenal kompromi terhadap pendidikan. Sekolah di dekat Grand Rapids, Michigan ditutup lagi sepekan lamanya karena infeksi Covid-19 mulai melonjak lagi di sana.

Jadwal yang tidak dapat diprediksi membuat McAvoy sulit menemukan waktu untuk wawancara di di perusahaan yang diincarnya atau sekadar untuk menentukan jadwal kerja yang memungkinkan.

Jadi, meskipun sekolah dibuka lagi pada Januari, McAvoy, yang dikeluarkan dari pekerjaannya di sebuah organisasi seni lokal Juni lalu dan diberhentikan secara permanen pada November, memutuskan untuk berhenti mencari kerja.

Baca Juga: Riset UGM: Isu virus varian baru, B117 kebal vaksin tidak benar

"Apa yang Anda katakan kepada majikan dalam situasi itu?" kata McAvoy, 41.

"Mereka akan mempekerjakan seseorang yang tidak membutuhkan banyak pengecualian," ungkapnya.

Tidak adil dan tidak proporsional. Kehilangan hak bekerja akibat pandemi tahun lalu mengakibatkan banyak perempuan di Amerika Serikat seperti McAvoy berjuang keras untuk kembali bekerja.

Baca Juga: Pembangunan Masjid 99 Kubah terbengkalai, lemparan aduan mengenai Pemkot Makassar

Perlambatan dalam pemulihan pekerjaan, hambatan untuk perawatan anak dan kekhawatiran tentang fleksibilitas tempat kerja mempersulit perempuan untuk mendapatkan kembali pekerjaan yang hilang.

Banyak harapan dan keuntungan ekonomi yang bisa diperoleh perempuan sebelum pandemi menjadi buyar.

Dilansir WartaBulukumba dari Reuters, Jumat 5 maret 2021, Departemen Tenaga Kerja AS mengeluarkan peraturan baru pada hari ini. Sebelumbnya ada rilis lowongan pekerjaan untuk Februari. Tetapi pada Januari, perempuan menyumbang lebih sedikit dari setengah dari 10 juta pekerjaan yang hilang selama krisis.

Baca Juga: Pemda digenjot membuka keran-keran aduan

Padahal mereka biasanya membuat sedikit lebih kurang dari separuh angkatan kerja.

Rintangan tersebut mendorong perempuan untuk meninggalkan tempat kerja pada tingkat yang lebih tinggi daripada laki-laki: Lebih dari 2,5 juta perempuan meninggalkan angkatan kerja antara Februari 2020 dan Januari tahun ini, dibandingkan dengan 1,8 juta laki-laki.

Wakil Presiden Kamala Harris menyebut eksodus sebagai "darurat nasional" selama panggilan video pada Februari dengan anggota parlemen dan aktivis Demokrat.

Baca Juga: Sebagian besar orang Jepang menentang Olimpiade Tokyo selama pandemi

“Perekonomian kita tidak bisa pulih sepenuhnya kecuali perempuan bisa berpartisipasi penuh,” katanya.

Para peneliti di Federal Reserve Bank of Chicago memunculkan hasil analisa bahwa persentase perempuan pekerja atau pencari pekerjaan turun lebih parah pada musim semi dan musim gugur tahun 2020 untuk ibu berusia antara 25 dan 54 dibandngkan dengan orang-orang tanpa anak. Wanita kulit hitam, ibu tunggal, dan mereka yang tidak berpendidikan perguruan tinggi berada pada kategori dampak terbesar.

“Mengingat masih adanya efek sejauh ini, akan agak mengejutkan untuk melihat banyak pembalikan sampai sekolah dan fasilitas penitipan menormalkan operasi mereka,” tulis peneliti Chicago Fed dalam sebuah publikasi yang diterbitkan pada Januari.

Baca Juga: Rakyat Malaysia daftar vaksinasi melalui aplikasi MySejahtera

Perempuan lainnya bernama Alisha Zucker, 41, melakukan wawancara kerja.

Sebelum pandemi, Zucker menghabiskan waktu lebih dari 10 tahun bekerja di penerbitan. Terakhir sebagai editor eksekutif perancang kurikulum yang digunakan guru dan siswa di ruang kelas.

Setelah diberhentikan pada bulan September, Zucker sekarang menjadi pekerja lepas dan mencari pekerjaan penuh waktu.

Baca Juga: Website Tular Nalar membantu masyarakat berpikir kritis dan meningkatkan literasi

“Saya khawatir saya akan dihakimi karena harus merawat anak-anak saya, atau mungkin mereka akan berpikir bahwa saya tidak dapat diandalkan,” kata Zucker, yang memiliki anak kembar laki-laki dan perempuan berusia tujuh tahun, juga seorang anak laki-laki tiga tahun.

Untuk pekerjaan dengan jadwal kerja yang mudah disesuaikan, seperti posisi dalam manajemen, rasio ibu yang bekerja tidak berubah secara signifikan selama pandemi, menurut sebuah makalah penelitian yang diterbitkan pada bulan Februari oleh San Francisco Federal Reserve.

Namun untuk pekerjaan dengan jadwal yang lebih ketat, seperti di bidang pendidikan, perempuan dengan anak mengalami “penurunan yang nyata” dalam pekerjaan dibandingkan dengan perempuan tanpa anak.

Baca Juga: Agil Cell di Palampang, dari desa menapaki peluang di era digital

Zucker mengatakan dia bersyukur karena suaminya, seorang programmer komputer, masih bekerja dan mereka mendapat bantuan seorang pengasuh. Tetapi menemukan waktu yang lama untuk bekerja tanpa gangguan di apartemen dua kamar tidur mereka di New York City sangatlah sulit, terutama dengan sekolah yang sering berganti-ganti jadwal antara tatap muka dan virtual.

Saat Zucker ada rapat atau wawancara, dia mengunci diri di kamar tidur, menggunakan papan setrika sebagai meja. Ia juga produktif setelah anak-anaknya tidur.

Zucker mengatakan dia berharap menemukan majikan yang mempercayainya untuk menyelesaikan tugas sesuai jadwalnya sendiri.

Baca Juga: Tak mau patuhi instruksi militer tiga polisi Myanmar melarikan diri

“Saya bisa menyelesaikan pekerjaan saya,” katanya.

McAvoy mengatakan bahwa ketika putrinya bersekolah jarak jauh, dia bekerja dengannya dari jam 9 pagi hingga sekitar jam 1 siang, membantu tugas dan memastikan anak berusia 5 tahun itu terlibat dalam pelajaran virtual.

Setelah makan siang, dia tinggal sekitar tiga jam di sore hari untuk kemungkinan wawancara kerja. Tetapi tanpa pengasuhan anak, dia perlu menghibur putrinya dengan televisi atau aplikasi telepon pintar.

Baca Juga: Pelatih Arsenal akan pindah ke Barcelona?

Karena suaminya bekerja di luar rumah sebagai teknisi audio yang memproduksi acara virtual, dia tidak punya peluang untuk membantu penitipan anak pada siang hari.

Jadi ketika sekolah ditutup lagi musim gugur lalu setelah hanya seminggu buka, McAvoy merasa hancur. Sekarang putrinya kembali ke sekolah, dia menggunakan waktunya mengelola sebuah blog tentang resep dan koktail. Itulah sebuah outlet yang dia harapkan akan menghasilkan pendapatan.

Tetapi kemungkinan penutupan sekolah lagi selalu membayang.

Baca Juga: Dewan Keamanan PBB masih mempertimbangkan sanksi untuk Militer Myanmar

"Saya merasa gagal jika saya hanya menampilkan anak saya di depan TV sepanjang hari sehingga saya bisa melakukan ini," katanya.***

Editor: Alfian Nawawi

Sumber: REUTERS

Tags

Terkini

Terpopuler