Tempat libur lebaran recommended di Bulukumba: Wisata sejarah dan bahari Pantai Lemo Lemo

8 April 2024, 17:34 WIB
Pantai Lemo Lemo di Tanah Lemo Lemo, Kecamatan Bonto Bahari, Kabupaten Bulukumba, Sulawesi Selatan /Instagram.com/@travelistid

WartaBulukumba.Com - Hutan heterogen menjadi pengawal bagi Pantai Lemo Lemo di Kecamatan Bonto Bahari Kabupaten Bulukumba, Sulawesi Selatan. Berpasir putih dan memiliki tanah merah melingkar yang unik, serta mata air tawar di tepi pantai yang menjadi sumber kehidupan bagi penduduk sekitar.

Menjelajah lebih jauh, kita akan menemukan gua dengan mata air tawar dan jernih, serta sisa-sisa benteng istana dan Benteng Karampuang yang mengungkap kisah pertahanan Lemo Lemo dari serangan Belanda.

Pantai Lemo Lemo memiliki hubungan sejarah erat dengan Kerajaan Gowa, baik sebagai daerah taklukan atau sebagai bagian dari aliansi pertahanan dan maritim.

Baca Juga: Telaga Biru Ere Manerang: Epik keindahan tersembunyi di Bulukumba

Meriam Portugis dan ranjau laut Rusia

Pemred WartaBulukumba.Com, Alfian Nawawi bersama Karaeng Te'ne, warga yang di halaman rumahnya dipajang meriam Portugis dan ranjau laut Rusia. Foto diambil pada tahun 2016. /WartaBulukumba.com

Di sebuah halaman rumah warga, terpancang dua benda bersejarah: sebuah meriam Portugis dari abad ke-16 dan ranjau laut yang diduga berasal dari Rusia tahun 1927. Keberadaan mereka bukan hanya sebuah pajangan, tetapi simbol kuat dari perjalanan panjang kawasan ini melintasi zaman.

Meriam Portugis, yang pernah berfungsi sebagai benteng pertahanan dari serangan suku kanibal di masa lalu, kini menjadi saksi bisu kemajuan dan perubahan di Pantai Lemo Lemo. Benda ini merupakan warisan dari era ketika Portugis berusaha mendominasi perdagangan rempah-rempah dan menyebarkan agama Katolik di Nusantara.

Mereka, sebagai bangsa Eropa pertama yang mencapai Kepulauan Nusantara, membawa kemajuan dalam navigasi, pembuatan kapal, dan persenjataan, dan meninggalkan jejak yang masih bisa kita saksikan hingga hari ini.

Baca Juga: Monumen alam penjaga horison Bulukumba: Batu Tongkarayya yang selalu menantang para petualang 

Sementara itu, ranjau laut yang terletak di pantai masih menyimpan misteri. Apakah itu benar-benar buatan Rusia atau peninggalan Tentara Sekutu atau Jepang, masih menjadi perdebatan di kalangan penduduk setempat. Namun, keberadaannya menambah keunikan Pantai Lemo Lemo sebagai destinasi wisata.

Sejarah maritim Lemo Lemo sangat kaya, terlihat dari warisan keahlian membuat perahu yang masih bertahan hingga saat ini, meski tidak seintens di Tanah Beru. Makam para raja Lemo Lemo yang tersembunyi di antara semak-semak hutan menambah nilai historis dan misteri pantai ini.

Pantai Lemo Lemo, dengan segala pesona dan misterinya, merupakan destinasi yang sangat direkomendasikan untuk liburan Lebaran.

Baca Juga: Mangrove Luppung Manyampa: Surga hijau tersembunyi di Bulukumba

Sejarah Pantai Lemo Lemo

Lokasinya yang tidak terlalu jauh dari keramaian, namun menawarkan ketenangan dan pelajaran sejarah, menjadikannya pilihan tepat untuk menghabiskan waktu berkualitas bersama keluarga.

Dari bermain pasir putih, menyelami misteri sejarah, hingga menikmati keindahan alam tropis, Pantai Lemo Lemo menawarkan pengalaman liburan yang lengkap dan memuaskan.

Datanglah ke Pantai Lemo Lemo, dan biarkan diri Anda terhanyut dalam keindahan dan sejarah yang berpadu menjadi satu di tempat eksotis ini.

Pada tahun 2016 silam, saat berkunjung ke Pantai Lemo Lemo, WartaBulukumba.com pernah sempat mewawancarai Karaeng Te’ne. 

Karaeng Te’ne adalah saudara sepupu dari Karaeng Radjamuda, seorang ambtenaar dan pejabat distrik setempat pada masa kolonial Belanda.

Perempuan kelahiran tahun 1943 ini menuturkan bahwa ada tiga meriam yang dulunya masing-masing berada di kawasan Butung Keke, Panorakkang dan Pintuang. Ketiga tempat itu berdasarkan pembagian wilayah Lemo Lemo pada masa lalu.

Di Butung Keke yang terletak di wilayah pantai  itulah terdapat meriam peninggalan Portugis yang moncongnya  menghadap ke laut. Berdasarkan kesepakatan masyarakat dan pemerintah setempat pada tahun 1980-an meriam tersebut dipindahkan ke halaman rumah Karaeng Te’ne.

Hal ini dilakukan sebagai salah satu upaya pelestarian benda bersejarah tersebut. Sedangkan dua meriam lainnya yang berada di Panorakkkang dan Pintuang kini diamankan di rumah warga di Tanah Beru.

Penuturan Karaeng Te’ne, berdasarkan cerita leluhurnya yang dituturkan secara turun temurun ke setiap generasi, meriam-meriam itu dulunya digunakan oleh Portugis untuk membendung serangan dari sebuah suku kanibal yang kerap datang menyerang dari Pulau Seram, Maluku. 

Suku kanibal itu sering datang dengan menggunakan puluhan perahu. Sebelum datangnya Portugis, suku kanibal itu sering meneror penduduk setempat. Mereka menangkapi manusia yang ditemuinya untuk dimakan.

Semenjak kedatangan Portugis, suku kanibal itu tidak lagi bisa mencapai pantai. Setiap kali perahu-perahu mereka muncul maka mereka langsung ditembaki oleh meriam-meriam Portugis yang selalu siaga di tepi pantai.

Bila merujuk pada sejarah kedatangan Portugis ke Nusantara maka bisa dipastikan usia meriam-meriam itu sudah mencapai  500 tahun lebih. Dalam catatan sejarah, Portugis merupakan bangsa Eropa pertama yang mencapai Kepulauan Nusantara.

Dan bangsa Eropa pertama yang tiba di daratan Sulawesi adalah Portugis. Pencarian mereka untuk mendominasi sumber perdagangan rempah-rempah yang menguntungkan pada awal abad ke-16 dan usaha penyebaran Katolik Roma mereka.

Keahlian bangsa Portugis dalam navigasi, pembuatan kapal dan persenjataan memungkinkan mereka berani mengadakan ekspedisi penjelajahan dan ekspansi.

Bermula dengan ekspedisi penjelajahan pertama yang dikirim ke Malaka yang mereka taklukkan pada tahun 1512. Melalui penaklukan militer dan persekutuan dengan penguasa setempat, mereka mendirikan pos, benteng, dan misi perdagangan di Indonesia Timur, termasuk Pulau Ternate, Ambon, dan Solor.

Yang menyisakan misteri justru adalah ranjau laut itu! Bentuknya sangat mirip dengan ranjau laut buatan Rusia tahun 1927 yang lazim digunakan pada Perang Dunia II.

Informasi dari penduduk setempat, ranjau laut itu telah ada sejak dulu dan tergeletak begitu saja di pantai.

Ada beberapa versi. Terbetik dugaan bahwa ranjau laut  tersebut benar buatan Rusia. Ada yang menganalisa bahwa itu ranjau laut peninggalan tentara sekutu. Ada pula yang mengatakan bahwa itu ranjau laut peninggalan Jepang. 

Pantai Lemo Lemo adalah sebuah pantai  molek yang berpasir putih. Letaknya tujuh kilometer dari Tanah Beru, Kecamatan Bontobahari, Kabupaten Bulukumba, Sulawesi Selatan. Hamparan pasir putih membentang luas dan panjang.

Beberapa gugusan batu karang menyembul ke permukaan air. Masih begitu alami. Selain itu terdapat sebuah fenomena alam yang unik berupa tanah berwarna merah melingkar yang berdiameter beberapa puluh sentimeter.

Selebihnya tanah berwarna hitam. Apabila tanah merah ini digali, tanah akan tetap berwana merah.

Sangat berbeda dengan Pantai  Pasir Putih Tanjung Bira yang panas dan tanpa pepohonan, Pantai Lemo-Lemo justru sangat sejuk.

Meski terik matahari menyengat namun suasana pantai ini disejukkan oleh rimbunan hutan dengan tumbuhan heterogen yang berada di sekitarnya.

Fenomena alam lainnya  yang juga sangat menarik adalah sebuah mata air tawar yang terletak di tepi pantai. Kemudian hanya beberapa puluh meter saja dari tepi pantai terdapat sebuah gua yang di dalamnya mengalir mata air tawar dan jernih.

Mata air inilah yang dimanfaatkan masyarakat sekitar  untuk mandi maupun memasak. 

Berjarak beberapa meter saja dari gua tersebut terdapat sisa-sisa benteng istana. Demikian pula di dekat pantai terdapat sisa-sisa Benteng Karampuang. Menurut penuturan masyarakat  salah satu dari dua benteng pertahanan Lemo-Lemo ini dulunya digunakan sebagai pertahanan dari serangan Belanda.

Menurut cerita secara turun temurun, Kerajaan Lemo-Lemo adalah saudara dari Kerajaan Gowa. Kalau diliat dari Silsilah Raja Lemo-Lemo ke IX yaitu Karaeng Tanriliwang Daeng Palallo adalah anak dari Mabbitara Daeng Palallo atau Somba Ri Gowa.

Versi lain soal ini pernah disibak oleh Ismi Yuliati, S.S seorang alumnus sejarah Universitas Gadjah Mada.

Dia menguraikan dalam sebuah artikelnya pada tahun 2013, Lemo-Lemo adalah kerajaan yang berada di bawah taklukan Kerajaan Gowa. Ketika Kerajaan Gowa berperang melawan Belanda, maka wilayah Kerajaan Lemo-Lemo juga menjadi salah satu basis perlawanan dan pertahanan.

Lemo-Lemo adalah pusat Kerajaan Lemo-Lemo. Sebagai sebuah daerah taklukan, Lemo-lemo berkewajiban untuk menyediakan armada bagi Kerajaan Gowa.

Terlepas dari kedua versi tersebut soal status Kerajaan Lemo-Lemo di masa silam yang jelas Lemo Lemo adalah mata rantai yang tidak dapat dipisahkan dalam sejarah kejayaan maritim di Nusantara beberapa abad silam.

Lantaran masyarakat Lemo-Lemo mewarisi keahlian membuat perahu. Hingga kini keahlian membuat perahu masih dapat dijumpai di Lemo-Lemo. Meski intensitasnya tidak seperti halnya di Tanah Beru.

Beberapa makam para raja Lemo-Lemo menjadi bukti bahwa di tempai ini dulunya pernah berdiri sebuah kerajaan yang memegang peranan penting dalam sejarah kemaritiman Nusantara.

Makam para pembesar Kerajaan Lemo-Lemo yang terdapat di antara semak-semak hutan di tepian Pantai Lemo-Lemo juga merupakan aset budaya sekaligus wisata sejarah.***(Israwaty Samad)

Editor: Nurfathana S

Tags

Terkini

Terpopuler