Resolusi PBB tentang Anti Islamophobia patut masuk dalam kalender nasional di Indonesia

1 Maret 2024, 21:15 WIB
Ilustrasi demonstran memprotes Islamofobia. / /Anushree Fadnavis

WartaBulukumba.Com - Di tengah gelombang perubahan global, terbit sebuah resolusi dari Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang menjadi sorotan: GA/12408, yang dicanangkan pada 15 Maret 2022.

Resolusi ini menandai suatu titik balik, mengajak dunia menyadari bahwa Islam - ajaran yang mengusung 'rahmatan lil alamin', atau 'kebahagiaan bagi seluruh umat manusia' - tidak seharusnya menjadi sumber ketakutan.

Jacob Ereste, pakar dan pendiri Atlantika Nusantara Institute, membagikan pandangannya mengenai pentingnya resolusi ini.

Baca Juga: Benarkah AS, Zionis, dan PBB adalah satu gerbong untuk menguasai dunia?

Dampak buruk politisasi agama 

"Islamophobia bukan sekadar fenomena lokal, melainkan global," ujar Ereste dalam wawancara online dengan WartaBulukumba.Com pada Jumat, 1 Maret 2024.

"PBB mengakui bahwa ketakutan yang tidak beralasan terhadap Islam dapat menimbulkan stigma negatif dan menyulut diskriminasi."

Menurut Ereste, pemberitaan yang sering mengaitkan Islam dengan terorisme telah memperburuk persepsi publik.

"Resolusi ini penting untuk menunjukkan bahwa Islam, seperti agama lain, mengajarkan kebaikan dan perdamaian. Tapi, politisasi agama telah menciptakan gambaran yang salah," tambahnya.

Baca Juga: Bahasa Indonesia ditetapkan sebagai bahasa ke-10 di sidang PBB

UU Anti-Islamophobia di Indonesia, mungkinkah?

Indonesia, sebagai negara dengan populasi Muslim terbesar, memiliki peran krusial dalam mengimplementasikan resolusi ini. Jacob ereste juga mengutip pernyataan Hidayat Nur Wahid, tokoh politik Indonesia, yang menegaskan bahwa negara perlu menunjukkan komitmen dengan mengesahkan UU Anti-Islamophobia.

"Menurut Hidayat Nur Wahid, ini bukan hanya soal melindungi umat Islam, tetapi semua warga negara dari diskriminasi berbasis agama," kata Ereste.

Ereste juga menyoroti ironi yang terjadi di Indonesia.

"Meski kita mempromosikan toleransi dan keberagaman, masih ada ketidaksetaraan dalam perlakuan terhadap Perda berbasis Syariah dibandingkan dengan aturan agama lain," ujar Ereste, merujuk pada kebijakan Kementerian Dalam Negeri yang sering menghapus Perda berbau Syariah.

Baca Juga: Menlu RI Retno Marsudi walk out saat Dubes penjajah 'Israel' berbicara dalam debat terbuka di PBB

15 Maret sebagai hari libur nasional 

"Dalam konteks global, sudah ada UU Anti-Semitisme. Wajar bila Indonesia pun memiliki UU Anti-Islamophobia," lanjut Ereste.

"Menetapkan 15 Maret sebagai hari libur nasional akan menjadi langkah simbolis namun kuat."

Gerakan Moral Rekonsiliasi Indonesia (GMRI) telah lama berjuang untuk kebebasan beragama, yang menurut Ereste, harus mencakup semua agama, bukan hanya agama mayoritas atau minoritas.

"GMRI memulai langkah ini dua dekade lalu, tapi masih banyak yang perlu dilakukan," ucapnya.

Resolusi PBB ini seharusnya juga menjadi panggilan bagi umat Islam Indonesia untuk lebih proaktif dalam memerangi stigma negatif. "Kita perlu bersatu, bukan hanya dalam memerangi terorisme, tetapi juga dalam menangkal segala bentuk diskriminasi," tegas Ereste.

Ereste menutup wawancaranya dengan harapan bahwa Indonesia akan memanfaatkan momentum resolusi PBB ini untuk memperkuat kerukunan beragama dan pluralisme.

"Kita harus melihat perbedaan sebagai kekayaan, bukan ancaman. Hanya dengan saling memahami dan menghargai, kita bisa membangun Indonesia yang lebih kuat dan bersatu," tandasnya.***

Editor: Nurfathana S

Tags

Terkini

Terpopuler