Pengamat ingatkan pemerintah agar kemarahan rakyat tidak meledak

29 September 2023, 14:07 WIB
Ilustrasi massa membakar Kantor Bupati Pohuwato Gorontalo. Api membakar Kantor Bupati Pohuwato saat demonstrasi penambang di Kabupaten Pohuwato, Gorontalo, Kamis 21 September 2023. /ANTARA/HO

 

WartaBulukumba.Com - Kota-kota terus berdenyut dalam bising. Desa-desa didera kemarau. Sementara itu di bagian lainnya, ada tanah-tanah rakyat yang disulut kemarahan. Namun selalu saja ada sudut-sudut nyaman untuk saling bertukar gagasan dan pemikiran. Mulai di kedai kopi hingga ruang bincang virtual.

 

Pada Jumat siang, 29 September 2023, WartaBulukumba.Com kembali berkesempatan berbincang online dengan Jacob Ereste, seorang pengamat cemerlang dari Atlantika Nusantara Institute. 

Membuka obrolan, Jacob Ereste memaparkan, betapa pentingnya menjaga agar kemarahan rakyat tidak meledak seperti lahar mendidih yang tak terkendali.

"Kemarahan rakyat yang terpendam, pada puncak klimaksnya akan menjadi lahar mendidih yang tidak mampu dikendalikan oleh kekuatan apapun. Karena lahar yang mendidih itu akan mengalir dan melabrak apa saja yang ada dihadapannya tanpa bisa dielakkan, kecuali kalah dengan pasrah," kata Jacob Ereste dengan wajah serius.

Baca Juga: Kasus Pulau Rempang: Ada konspirasi investasi terselubung?

Jacob Ereste dari Atlantika Nusantara Institute

Jacob Ereste menceritakan tentang ketakutan yang merayap di benak banyak orang. Ketika kemarahan mencapai puncaknya, itu bisa menjadi bencana yang tak terduga. Penyebab kemarahan bisa berakar dari beban ekonomi yang terasa semakin berat, kesulitan mencari pekerjaan yang layak, atau tekanan psikologis dari situasi politik dan sosial yang memburuk.

"Apalagi akibat tekanan atas hak misalnya, karena lahan dan pekarangan serta ladang yang terancam diambil paksa pengusaha atau penguasa seperti yang marak terjadi di berbagai daerah dan tempat. Sengketa lahan di Indonesia tidak kalah banyak dibanding tindak korupsi yang semakin menambah kejengkelan rakyat. Memang ada diantaranya yang beranjak dari rasa kedengkian, tapi tidak sedikit mereka yang menganggap perilaku semacam itu pantas dikutuk.," urai Jacob Ereste.

Menurut Jacob, itulah ketakutan yang paling menakutkan. Sebab kita yang ada disekitarnya akan terdampak juga, atau bahkan bisa menjadi bagian dari lahar yang mendidih itu untuky melumat apa saja yang ada, termasuk diri kita sendiri.

Baca Juga: Pulau Rempang: Antara warisan sejarah dan investasi besar

"Sebab kemarahan yang memuncak bisa menjadi bencana yang tak terduga dan mampu diprediksikan sebelumnya oleh siapapun. Yang acap menjadi penyulut kemarahan rakyat ini bisa saja bermula dari beban ekonomi yang terasa semakin berat. Kesulitan memperoleh pekerjaan yang bisa diandalkan untuk memberi penghasilan untuk hidup. Tapi juga bisa diakibatkan oleh tekanan psikologis dari situasi dan kondisi politik, ekonomi, sosial dan budaya serta keagamaan yang runyam, bising dan gaduh," urainya lagi.

Sementara, lanjut Jacob, upaya untuk sedikit mengendurkan ketegangan yang bersifat psikologis itu tak menemukan cara yang terbaik dalam mengatasinya.

Hukuman Mati Terhadap Koruptor

Usulan untuk memberlakukan hukuman mati terhadap koruptor telah muncul berkali-kali, tetapi belum mendapatkan persetujuan dari parlemen. Jacob Ereste sejenak merenung.

"Usulan terhadap pelaku tindak pidana korupsi agar dihukum mati, sudah berulang kali diusulkan, namun tak disahkan juga oleh parlemen yang selalu merasa tetap mewakili suara rakyat. Toh, usulan hukuman mati terhadap koruptor tidak juga menjadi perhatian. Boleh jadi -- bila hukuman mati terhadap koruptor ini diberlakukan -- korban pertama dan terbanyak adalah mereka sendiri yang ada di parlemen itu," jelasnya.

Baca Juga: Kisruh Rempang: Pengamat peringatkan kemarahan rakyat kian meluas jika pemerintah tetap lakukan penggusuran

Jacob Ereste mengingatkan tentang pentingnya pemerintah untuk bersikap bijak dalam mengantisipasi kemarahan rakyat.

Ia berharap peristiwa tahun 1998 dapat dijadikan pelajaran berharga agar kejengkelan yang tumbuh di tengah masyarakat tidak meledak menjadi bencana. Upaya untuk mencegah kemarahan rakyat harus dilakukan secara bijak dan taktis.

"Jadi, akumulasi dari kejengahan rakyat terhadap situasi dan kondisi yang sumpek di negeri ini sudah semacam ilalang kering yang bisa tersulut api kemarahan kapan pun waktunya. Maka itu, paparan ini untuk ikut mengingatkan agar pemerintah bisa bersikap lebih bijak mengantisipasi kemungkinan yang bisa terjadi kapan pun dan dari daerah mana pun. Senyampang belum terlanjur menjadi sesal yang akan merugikan kita semua. Dan upaya untuk mencegah agar kemarahan rakyat tidak sampai meledak, harus kita sikapi dengan cara yang lebih bijak. Peristiwa 1998, agaknya dapat dijadikan pelajaran dan acuan yang baik agar peristiwa yang serupa tidak kembali berulang," paparnya.***

Editor: Alfian Nawawi

Tags

Terkini

Terpopuler