Bola JabbaE, rumah tua saksi bisu pembantaian pemuda pejuang di Palampang Bulukumba

23 Oktober 2022, 09:51 WIB
Bola Jabbae, rumah saksi sejarah pembantaian pemuda pejuang yang dilakukan tentara Belanda di Palampang. Kabupaten Bulukumba, Sulawesi Selatan. /WartaBulukumba.com/Alfian Nawawi

WartaBulukumba - Bulukumba pada sebuah hari dan tanggal yang tidak tercatat.

Meski begitu, lamat-lamat tahun kejadian itu terekam dalam benak Puang Rosmani, saksi sebuah peristiwa pembantaian pemuda pejuang.

Peristiwa berdarah itu adalah salah satu jejak sunyi sejarah di Palampang yang kini menjadi ibukota Kecamatan Rilau Ale, Kabupaten Bulukumba, Sulawesi Selatan.

Baca Juga: Inspirasi bisnis dari sebuah pekarangan kosong di sudut Kota Bulukumba, hasil Rp200 ribu setiap hari

Pada suatu pagi yang mencekam pada tahun 1946 di Palampang. Matahari baru saja beranjak naik sepenggalah.

Daun-daun kelapa melambai ditiup angin. Saat itu musim kemarau sedang menyapa Palampang.

Sekitar empat puluhan tentara Belanda bersenjata lengkap berbaris menghadapi pemuda pejuang bertelanjang dada yang juga berjumlah sekitar empat puluhan orang.

Baca Juga: In memoriam Andi Sukri Sappewali, TSY: 'Beliau tidak gentar untuk mengabdikan dirinya di Bulukumba'

Para pemuda pejuang itu juga berbaris tetapi dengan mata tertutup kain.

Tangan mereka masing-masing diikat ke belakang punggung dengan rantai besi.

Seorang anak  perempuan berwajah lugu berusia sembilan tahun berdiri tidak jauh dari barisan serdadu Belanda yang akan melakukan eksekusi.

Baca Juga: In memoriam Andi Sukri Sappewali, mantan demonstran di Bulukumba ini mengenang saat dimarahi dan diberi uang

Bocah perempuan itu tidak pernah menyangka dirinya akan menjadi saksi hidup peristiwa tersebut.

“Dorrr!! Dorr! Dorrrr!”

Tiba-tiba terdengar letusan keras membahana memenuhi udara dari senjata api milik para serdadu Belanda.

Baca Juga: Inilah salah satu momen Andi Sukri Sappewali bersama Bupati Bulukumba Andi Utta

Hampir secara bersamaan, puluhan pemuda pejuang itu tersungkur ke tanah bersimbah darah. Mereka gugur seketika di pagi itu.

Mereka bergelimpangan di tanah dengan lubang peluru menganga di dada dan jidat mereka.

Para pemuda pejuang itu menjalani eksekusi tembak mati yang dilakukan oleh serdadu penjajah Belanda di halaman rumah Bola JabbaE.

Baca Juga: Perjalanan karir mantan Bupati Bulukumba AM Sukri Sappewali yang tutup usia di hari ulang tahun ke 66

Peristiwa tersebut telah lama ditelan waktu. Puluhan tahun berlalu namun ternyata peristiwa heroik di masa perang kemerdekaan itu masih tetap terekam kuat dalam kenangan Puang Rosmani, anak perempuan yang menjadi saksi hidup peristiwa tersebut.

Peristiwa itu adalah bukti betapa para pejuang kemerdekaan lebih memilih mati berkalang tanah daripada hidup dijajah kembali.

“Eksekusi tembak mati terhadap para pejuang kemerdekaan dilakukan hampir setiap hari oleh serdadu Belanda,” tutur Puang Rosmani.

Baca Juga: Akkimbolong ri Salassa, sebentuk kearifan lokal Bulukumba di benteng tradisi Dusun Batu Tujua

"Namun peristiwa eksekusi terhadap empat puluhan pemuda itulah yang korbannya paling banyak," lanjutnya.

Puang Rosmani lahir pada masa kolonial Belanda di tahun 1937. Usianya menginjak 76 tahun saat dia diwawancarai oleh penulis pada tahun 2012 silam.

Puang Rosmani meninggal dunia pada tahun 2019. Namun catatan tentang hasil wawancaranya masih tersimpan rapi dalam sebuah file.

Baca Juga: Untuk pertama kali, Kepala Dusun dilantik di cagar budaya Batu Pallantikang, Dusun Batu Tujua

Anaknya enam orang, cucunya berjumlah sembilan orang. Pada masa kecilnya Puang Rosmani pernah tinggal di Bola JabbaE bersama ayahnya, Puang Kanna dan ibunya, Puang Sangke.

Bola JabbaE dalam bahasa Bugis berarti “Rumah Sangkar Burung”, sebab bentuknya yang sengaja didesain menyerupai sangkar burung.

Tiang-tiangnya pendek tapi tampak begitu kokoh menopang rumah tua itu yang bilah-bilah papan dan lantainya juga terbuat dari jenis kayu pilihan. Kayu-kayu tersebut didatangkan dari tengah hutan belantara di Desa Anrang.

Puang Rosmani menuturkan, ayahnya yang mendatangkan kayu-kayu tersebut dari hutan Desa Anrang dengan diangkut menggunakan beberapa ekor kerbau.

Bola JabbaE adalah rumah milik Karaeng Haji Colle, suami dari Karaeng Data. Puang Kanna, ayah Puang Mani adalah saudara sepupu Karaeng Data. Karaeng Haji Colle adalah salah seorang tokoh masyarakat setempat pada masa itu.

Puang Rosmani menyebutkan, rumah tua yang juga rumah kenangan masa kecilnya itu dibangun pada sekitar tahun 1930-an.

Sebuah masa ketika Pemerintah Hindia Belanda atau Vereeniging Oost Indies Compagnie (VOC) masih menjajah Indonesia.

Pada masa Perang Dunia I, Belanda dan negara-negara sekutunya dikalahkan Jepang. Seluruh wilayah jajahan Belanda termasuk Indonesia juga jatuh ke tangan Jepang. Jepang atau juga dikenal dengan Dai Nippon atau “saudara tua” menjajah Indonesia selama 3,5 tahun.

Kemudian pada Perang Dunia II, Jepang menyerah kalah tanpa syarat kepada Sekutu setelah bom atom meluluhlantakkan kota Hiroshima dan Nagasaki.

Belanda kemudian ingin menjajah kembali Indonesia. Belanda melakukan agresi militer secara sebesar-besaran.

Hampir seluruh pelosok nusantara dikuasai pasukan Belanda, termasuk Sulawesi Selatan. Pada saat itulah Bola JabbaE dijadikan markas oleh satu kompi pasukan tentara Belanda di Palampang pada sekitar tahun 1946-1949.

Puang Rosmani juga mengisahkan, kolong rumah Bola JabbaE dijadikan oleh serdadu Belanda menampung para tawanan.

Para tawanan yang terdiri dari para pemuda pejuang yang ditangkap itu tidak pernah lama ditawan sebab beberapa hari sesudahnya mereka semua pada akhirnya ditembak mati. Hampir setiap hari secara bergiliran, serdadu-serdadu Belanda melakukan patroli hingga jauh ke pinggiran hutan dan sungai di tepi Desa Palampang.

Salah satu kawasan hutan penuh rawa-rawa bernama Liku Bajang yang menjadi tempat persembunyian para pejuang pernah dibombardir habis-habisan oleh pasukan Belanda. Para pejuang di tempat tersebut banyak yang gugur dan sisanya yang masih hidup ditawan Belanda.

Hampir setiap hari pula pasukan Belanda pulang membawa beberapa orang pemuda pejuang yang berhasil mereka tangkap. Pada masa perang kemerdekaan itu, banyak orang Indonesia yang menjadi pengkhianat perjuangan.

Puang Rosmani menuturkan, jumlah pengkhianat perjuangan nyaris seimbang dengan jumlah para pemuda pejuang. Keadaan itulah yang menyebabkan para pemuda pejuang mengalami kesulitan dalam pergerakan mereka melawan Belanda. Setiap hari ada saja pemuda pejuang yang ditangkap.

“Begitulah resiko yang harus dialami oleh pejuang-pejuang kita. Memang dalam setiap perjuangan akan selalu ada yang namanya pengkhianatan,” kata Puang Rosmani.

Pada tahun 1949, dalam perundingan yang dikenal dengan Konferensi Meja Bundar (KMB) di Den Haag negeri Belanda antara pemerintah Indonesia dengan Belanda menghasilkan kesepakatan gencatan senjata. Tentara Kerajaan Belanda pun didesak oleh PBB untuk segera meninggalkan Indonesia.

Pada saat itulah, para pemuda pejuang dengan pasukan Belanda di Palampang juga mematuhi perjanjian gencatan senjata tersebut. Eksekusi tembak mati yang setiap hari terjadi hampir di halaman Bola JabbaE pun dihentikan.

Situasi yang mulai membaik ini sebagai pra-kondisi pemulangan seluruh pasukan Belanda dari wilayah Republik Indonesia.

Pada saat gencatan senjata mulai berlangsung, seorang pemuda pejuang bernama Muhammad lebih memilih untuk melanjutkan perang gerilya di hutan melawan pasukan Belanda.

Pada suatu hari yang naas, Muhammad ditangkap oleh serdadu Belanda.

Ia kemudian dibawa ke Bola JabbaE untuk ditawan. Karena pada saat itu masih berlangsung gencatan senjata, Muhammad lolos dari eksekusi tembak mati. Namun Muhammad mengalami penyiksaan selama beberapa hari. Telinga kanan Muhammad dipotong oleh serdadu Belanda.

Beruntung, Muhammad masih dapat melanjutkan hidup setelah peristiwa itu meski harus kehilangan daun telinga. Ia kemudian dikenal dengan nama Muhammad Copong. Copong dalam bahasa Bugis artinya “orang yang tidak memiliki telinga.”

Selain zaman kolonial Belanda dan perang kemerdekaan, Puang Rosmani juga masih mengingat dengan jelas beberapa peristiwa pada masa penjajahan Jepang.

Pada zaman Jepang, kehidupan rakyat sangat menderita. Banyak orang yang hanya memakai pakaian dari karung goni.

Hampir semua lelaki dan perempuan dewasa di Palampang dipaksa untuk bekerja di kebun kapas. Hasilnya diambil oleh tentara Jepang.

Puang Rosmani juga masih mengingat dengan jelas nama komandan tentara Kenpeitai Jepang, yaitu Tuan Minosata yang pernah ditugaskan di daerah Palampang.

Tuan Minosata, menurut Puang Rosmani, diketahui menaruh hati terhadap seorang kembang desa di Palampang bernama Karaeng Dala. Puang Rosmani sangat tahu hal ini sebab ia dan Karaeng Dala masih keluarga dekat.

Puang Rosmani dan Karaeng Dala juga sangat akrab. Puang Rosmani menceritakan, Tuan Minosata tidak berhasil menikahi dan memboyong Karaeng Dala ke negerinya, Jepang sebab Karaeng Dala menolak. Lagipula, Jepang kemudian menyerah kalah pada tentara Sekutu dan akhirnya meninggalkan Indonesia pada tahun 1945.

Hingga kini Bola JabbaE, salah satu saksi bisu kekejaman tentara penjajah Belanda itu masih berdiri kokoh di pinggiran jalan poros Bulukumba-Sinjai. Bola JabbaE berhadapan dengan Masjid Baburrahman yang terletak di seberang jalan.

Bola JabbaE kelihatan sangat berbeda dengan rumah-rumah penduduk lainnya di sekitar tempat itu.

Sejak dibangun puluhan tahun lalu hingga di zaman modern ini, kondisi fisik Bola JabbaE tidak mengalami banyak perubahan.

Kecuali pada tangga kayu yang telah dipugar menjadi tangga yang terbuat dari beton pada sekitar tahun 1980-an.

Juga galampang ase, sejenis lumbung padi yang letaknya berdampingan dengan Bola JabbaE.

Sehari-hari rumah tua itu tampak sunyi. Bola JabbaE pernah hanya dihuni oleh seorang perempuan setengah baya bernama Nurdiana. Nurdiana adalah orang yang dipercaya untuk menjaga dan merawat Bola JabbaE sejak belasan tahun lalu. 

Nurdiana meninggal dunia pada tahun 2013 silam.

Yang menarik, Puang Rosmani juga memberikan tambahan referensi sejarah penamaan Palampang.

Versi pertama, menurut cerita orang-orang tua dahulu, Palampang atau lebih banyak disebut “Palempeng” oleh para penduduk asli, dulunya merupakan tempat mencari penghidupan dan tanah yang lebih subur oleh para pendatang.

Para pendatang itu berasal dari berbagai penjuru dan sangat jauh.

Kebanyakan berasal dari Kindang dan bahkan ada yang berasal dari Maiwa Kabupaten Enrekang, Bone dan Sengkang. Oleh karena itu disebut sebagai Pa’lampang dalam bahasa Bugis yang artinya “tanah masa depan, tanah tempat tujuan atau tanah tempat terakhir bepergian”. 

Tetapi Puang Rosmani mengaku cenderung lebih setuju dengan versi kedua. Versi itu menyebutkan bahwa di Palampang dahulu banyak rakyat miskin dan menderita pada masa kolonial Belanda.

Pakaian dan peralatan makan pun tidak mereka punya. Sebagai pengganti piring untuk makan, para penduduk kebanyakan menggunakan lempeng yaitu sejenis anyaman dari daun banga, sejenis daun pandan yang banyak tumbuh di sekitar kampung itu.

Lempeng itu dianyam menyerupai kotak kecil sebagai tempat nasi.

Lama kelamaan, saking banyaknya orang di kampung itu yang menggunakan lempeng, orang-orang lalu mengenal istilah Palempeng yang artinya “orang-orang yang kesehariannya makan dengan menggunakan lempeng.”

Keterangan dari versi kedua itu sedikit agak berbeda dengan data yang tercantum dalam Wikipedia Bahasa Indonesia di internet.

Versi pertama sama persis dengan keterangan Puang Mani. Hanya saja versi kedua menurut Wikipedia, di Palampang dahulu banyak tumbuh buah lempeng. Namun menurut kesaksian Puang Rosmani, seumur hidupnya ia tidak pernah melihat bahkan mendengar tentang adanya buah lempeng di Palampang.

“Versi kedua dari para ahli di internet itu belum akurat. Mungkin yang dimaksud sebagai buah lempeng itu adalah lempeng dari anyaman daun banga” kata Puang Rosmani.

Zaman telah berganti. Palampang kini adalah sebuah kelurahan dan menjadi ibukota Kecamatan Rilau Ale. 

Kecamatan Rilau Ale adalah hasil pemekaran dari Kecamatan Bulukumpa. Kelurahan Palampang berjarak sekitar dua puluh lima kilometer dari Kota Bulukumba.

Masa-masa kolonial dan perjuangan fisik telah lama berlalu. Tetapi Bola JabbaE tetap setia berdiri di pinggiran jalan dan pinggiran sejarah.

Di rumah tua itu, tak ada seorang pun penghuni. Kecuali dihuni sederet kisah dan jejak sejarah yang sunyi.

Sebagaimana memori masa silamnya, rumah tua itu tetap kokoh memandangi Palampang dan hari-hari depannya.***

Editor: Alfian Nawawi

Tags

Terkini

Terpopuler