Rekomendasi wisata budaya di Bulukumba Sulsel: Mengenal lebih dekat komunitas adat Ammatoa Kajang

- 22 Juli 2023, 20:19 WIB
Tyas Mirasih saat berada di kawasan adat Ammatoa Kajang, Bulukumba.
Tyas Mirasih saat berada di kawasan adat Ammatoa Kajang, Bulukumba. /Instagram.com/@tyasmirasih

WartaBulukumba - Angin membelai pepohonan hijau lebat saat memasuki kawasan adat ini. Ilalang Embayya, sebutan untuk desa yang dihuni komunitas adat Ammatoa Kajang di relung timur Bulukumba.

Sangat berbeda dengan wilayah lainnya di Kabupaten Bulukumba, Sulawesi Selatan. Di sini, suasana masih asri, mempertahankan pesona alam yang tak terjamah modernitas.

Tidak ada riuh suara kendaraan bermotor atau gemerlap cahaya listrik yang menyala sepanjang malam. Hanya terdengar desiran angin lembut dan gemercik air sungai kecil yang mengalir deras di tengah desa. Itu sebuah keajaiban di era modern, dan itu hanya bisa kita jumpai di destinasi wisata budaya Bulukumba Sulsel. Sebuah rekomendasi manis buat para pegiat travelling.

Baca Juga: Ammatoa Kajang: Wisata budaya recommended di Bulukumba

Akses Menuju Kawasan Adat Ammatoa

Perjalanan menuju kawasan adat Tana Toa, tempat tinggal komunitas adat Ammatoa, memerlukan ketekunan. Ilalang Embayya dapat ditemui setelah melintasi perjalanan sekitar 200 km dari Kota Makassar, atau lebih kurang 55 km dari Kota Bulukumba.

Mayoritas pengunjung biasanya melewati Tanete, ibu kota Kecamatan Bulukumpa, lalu berbelok kiri di pertigaan Desa Batulohe. Jalur ini, meskipun relatif mudah diakses dengan jalanan yang telah diaspal, tetap memerlukan beberapa perjalanan dengan berjalan kaki, menyusuri jalan setapak yang menantang.

Sudah dari kejauhan, pengunjung dapat melihat warga Ammatoa Kajang beraktifitas dengan pakaian khas mereka yang serba hitam.

Baca Juga: Sudah pernah ke tempat ini? Wisata alam recommended di Bulukumba Sulsel, 900 meter di atas permukaan laut

Filosofi Pakaian Hitam-hitam

Warna hitam dengan sedikit garis putih menjadi ciri khas pakaian mereka, termasuk dompe atau passapu (destar/ikat kepala), baju, sarung, dan celana bagi kaum pria, serta baju dan sarung bagi kaum wanita.

Bagi komunitas Ammatoa, penggunaan warna hitam mengandung makna kegelapan dan kematian. Mereka meyakini bahwa manusia harus senantiasa mengingat kematian dan menyiapkan diri untuk kehidupan di alam akhirat.

Selain itu, warna hitam dipilih karena dianggap tidak mudah kotor, sehingga komunitas adat ini sering disebut sebagai Suku Kajang Le’leng, yang berarti "orang Kajang hitam."

Baca Juga: Kawasan Adat Ammatoa Kajang di Bulukumba: Destinasi wisata budaya recommended di Sulawesi Selatan

Setelah melewati pintu gerbang kawasan adat Ammatoa, pengunjung wajib mengenakan pakaian adat Kajang berwarna hitam sebelum memasuki desa.

Tanpa terkecuali, setiap pengunjung harus mengenakan pakaian khas ini sebagai tanda penghormatan kepada adat dan kebiasaan komunitas Ammatoa.

Dalam perjalanan menuju desa, pengunjung akan merasa seolah-olah terlempar ke masa lalu, di mana teknologi modern belum merasuki kehidupan mereka. Di tengah hijau pepohonan yang menjulang tinggi, warga Kajang terlihat bergerak dengan penuh keteraturan dalam keseharian mereka.

Baca Juga: Rekomendasi tempat nongkrong Instagramable di Bulukumba

Bentuk Rumah

Rumah-rumah warga Kajang, khususnya di kawasan inti Dusun Benteng, memiliki bentuk dan arsitektur khas.

Semua rumah menghadap ke arah barat atau menghadap ke gunung, sebagai simbolisasi bahwa arah barat merupakan tempatnya Kiblat dan tenggelamnya matahari, yang mewakili kegelapan dan kehidupan sesudah kematian. Di malam hari, mereka dilarang menggunakan cahaya berlebihan, sebagai bentuk penghormatan pada alam dan lingkungan sekitarnya.

Rumah-rumah di kawasan adat Ammatoa memiliki tiga bagian yang melambangkan dunia mikrokosmos: dunia atas, dunia tengah, dan dunia bawah.

Baca Juga: Menyibak sederet fakta Desa Ara di Kabupaten Bulukumba, salah satu lokasi KKN Unhas Makassar

Bagian atas rumah disebut Para atau Loteng, yang berfungsi sebagai tempat menyimpan hasil pertanian seperti padi dan jagung. Bagian tengah rumah disebut Kale Bola, yang merupakan tempat pemilik rumah beraktifitas sehari-hari. Bagian bawah rumah disebut Siring, yang digunakan sebagai tempat untuk menyimpan peralatan pertanian dan bahkan sebagai kandang ternak.

Di dalam wilayah adat Ammatoa atau Tana Kamase-masea, semua rumah memiliki bentuk yang sama, menunjukkan kebersamaan dan persatuan di antara komunitas Ammatoa.

Tidak ada persaingan di antara mereka, baik dari segi materi maupun hal lainnya. Mereka hidup sederhana dengan memenuhi kebutuhan pangan, sandang, dan papan (rumah) dengan seadanya. Peralatan rumah tangga pun minim, hanya terdapat alat dapur seperti periuk dari tanah liat. Bahkan untuk makanan, mereka menggunakan tempurung kelapa sebagai wadah.

Baca Juga: Menjelajahi pesona hutan bakau di Bulukumba: Wisata Mangrove Luppung Manyampa

Prinsip Hidup Sederhana

Tata cara hidup kamase-masea (bersahaja) sangat terwujud dalam kehidupan sehari-hari komunitas Ammatoa Kajang. Mereka hidup sederhana dan menghargai alam serta lingkungan sekitar mereka.

Setiap aspek dalam kehidupan mereka, mulai dari pakaian, rumah, hingga aktivitas harian, membawa filosofi dan makna mendalam yang melambangkan kedamaian dan kesejukan.

Dalam suasana yang tenang dan damai ini, kawasan adat Ammatoa Kajang tetap menjadi surga tersembunyi yang memukau para pengunjung. Dikelilingi oleh hutan hijau yang menjulang dan tanah bebatuan yang menantang, desa ini menyajikan panorama alam yang indah.

Baca Juga: Buhung Labbua di Bontotiro Bulukumba: Mata air abadi dari tongkat Dato ri Tiro

Namun, keindahan alam bukanlah satu-satunya daya tarik Ammatoa Kajang. Desa ini juga mempertahankan kebudayaan lokal dengan erat, mengutamakan adat dan etika kesopanan yang tinggi.

Pappasang ri Kajang, pesan-pesan leluhur, menjadi panduan dalam setiap aspek kehidupan masyarakat di sini, mulai dari sistem sosial hingga upacara adat.

Dengan mengunjungi kawasan adat Kajang, setiap pengunjung diajak untuk meresapi getaran sejarah yang terasa begitu nyata dan menggugah rasa ingin tahu akan akar budaya yang dalam.***

Editor: Nurfathana S


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah