Terpendek sekaligus terpanjang: Puisi 'Malam Lebaran' Sitor Situmorang

- 17 April 2023, 19:14 WIB
Ilustrasi bulan di atas kuburan - Puisi 'Malam Lebaran' Sitor Situmorang
Ilustrasi bulan di atas kuburan - Puisi 'Malam Lebaran' Sitor Situmorang /Miju/Pixabay

WartaBulukumba - Benda alam yang paling banyak dieksplor sebagai frasa dan diksi yang sering memukau dan membawanya ke dalam suasana 'memuisi' sehingga akrab dengan karya-karya sastra termasuk puisi adalah bulan.

Jagat sastra Indonesia telanjur mengenal "Malam Lebaran" karya Sitor Situmorang yang melegenda itu. Sebuah puisi pendek yang sekaligus menghamparkan sejarah  multitafsir terpanjang sepanjang sejarah sastra Indonesia.

Sitor Situmorang di dunia kepenyairannya selalu dilekatkan dengan "Malam Lebaran", yang sering menggamit renungan tentang Idul Fitri, makna hari kemenangan bagi umat Islam, tentang kehidupan dan kematian, tentang apa yang diwariskan puasa sebulan penuh, dan sederet lainnya yang berkutat di seputar permenungan panjang dan mendalam.

Baca Juga: Puisi ini ditulis Mahrus Andis sebelum pemakaman Fahmi Syariff di Ponre Bulukumba

Bunyi puisi itu begitu singkat, puitis, namun kerap melarutkan imaji.

            Malam Lebaran

            Bulan di atas kuburan

Sebuah puisi yang hanya terdiri dari satu baris dengan jumlah keseluruhan 4 kata yaitu; malam lebaranbulankuburan dan konjungsi penunjuk preposisi.

Baca Juga: Mampukah puisi cegah korupsi dan puisikah puisi itu? Ini hasil bedah sastrawan Bulukumba pada antologi 'SBDK'

Lantaran hanya memiliki tiga kata, ketiganya merupakan simbol yang sengaja dipakai pengarang untuk mengambarkan seluru isi puisi.

Frasa Malam Lebaran mempunyai makna konotasi malam sebelum hari raya tiba yang akan jatuh pada esok harinya.

Dalam kepercayaan agama islam malam lebaran merupakan malam yang istimewa sebab pada malam itu manusia kembali menjadi fitrah dan bersih dari dosa-dosa.

Dalam puisi ini frasa malam lebaran digunakan sebagai penanda waktu, yaitu waktu saat malam lebaran.

Baca Juga: Puisi-puisi sketsa sosial penyair Bulukumba Mahrus Andis

Penggunaan kata Bulan dalam puisi ini jelas merupakan simbol, sebab pada malam lebaran biasanya bulan masih belum nampak atau bulan baru. 

Kata kuburan kerap kali digunakan untuk mengambarkan tempat yang sepi dan sunyi. Pun identik dengan kematian.

Dari ketiga simbol tersebut dapat memunculkan makna hermeneutik pada puisi Malam Lebaran yaitu petunjuk, pencerahan, hidayah atau ilham di saat Malam Lebaran.

Puisi ini sempat menjadi kontroversi di kalangan pengamat puisi sebab lariknya yang hanya satu baris yang membuat pemaknaan puisi ini menjadi multitafsir dan membingunggkan.

Baca Juga: Puisi empat penyair Bulukumba terpilih masuk antologi 'Wasiat Botinglangi' 100 penyair Indonesia 

Selain pendek, eksentrik, artistik, puisi Malam Lebaran karya Sitor Situmorang sangat mudah diingat sebagai salah satu puisi yang mengusung tema lebaran.

Dibukil dari laman Kemdikbud.go.id, awal kepenyairan Sitor Situmorang banyak dipengaruhi oleh Chairil Anwar. Sajak-sajaknya yang dimuat dalam Surat Kertas Hidjau bertemakan percintaan dan pengembaraan.

Sajak-sajaknya yang ditulis tahun 1953—1954 dimuat dalam buku yang berjudul Dalam Sadjak (1955) dan Wadjah Tak Bernama (1955). Pada perkembangan selanjutnya sajaknya dianggap sealiran dengan puisi-puisi Lekra seperti sajaknya yang terkumpul dalam Zaman Baru (1962).

Setelah Zaman Baru muncul dua kumpulan puisinya, yakni Dinding Waktu (1976) dan Peta Perjalanan (1977). Selain menulis sajak, ia juga menulis cerpen, drama, esai, dan menerjemahkan.

Baca Juga: 7 Puisi Sapardi Djoko Damono yang sangat memikat selain Hujan Bulan Juni

Kumpulan cerpen Pertempuran dan Salju di Paris (1956) mendapat Hadiah Sastra Nasional BMKN, 1955/1956 dan kumpulan sajak Peta Perjalanan memperoleh Hadiah Puisi Dewan Kesenian Jakarta, 1976/1977.

Tahun 2006 sitor mendapat Hadiah Sastra Pusat Bahasa dan Sea Write Award atas karyanya yang berjudul Biksu Tak Berjubah.

Karyanya yang lain, misalnya, Pangeran (kumpulan cerpen, 1963), Danau Toba (kumpulan cerpen, 1981), Jalan Mutiara (drama, 1954), Sastra Revolusioner (kumpulan esai, 1965), Triffid Mengancam Dunia (terjemahan novel, karya John Wyndham, 1953), Sel (terjemahan drama, karya Willdiam Saroyan, 1954), Hari Kemenangan, (terjemahan drama, karya M. Nijhoff, 1955).

Sitor mengungkapkan, bahwa pada malam lebaran, dia berkunjung ke rumah sahabatnya, Pramoedya Ananta Tur. Tetapi tak ada, kecewa lalu pulang dan tersesat.

Baca Juga: Puisi 'Kepada Para Pengkotbah' penyair Bulukumba Andhika Mappasomba

Ternyata, ada tembok putih di hadapannya. Sitor penasaran ingin melihat ada apa di balik tembok putih itu. Ternyata, ada kuburan. Dari situlah lahir inspirasi puisi yang kemudian diberi judul “Malam Lebaran”, dengan isi puisinya, bulan di atas kuburan.

 

Sitor mengetahui banyak yang meengkritik puisinya itu, disamping banyak pula yang memujinya karena sudah berhasil menciptakan puisi yang penuh simbol, penuh tanya dan ruang tafsir pun terbuka.

Sesungguhnya dengan puisi itu, Sitor ingin mengungkapkan kesedihan karena tak bertemu dengan teman yang dijumpainya, Pramoedya. Tembok putih yang dijumpainya adalah bulan putih lambang kegembiraan atau kebahagiaan. Kuburan adalah lambang kesedihan.

Kehidupan ini diliputi kebahagiaan dan kesedihan, perjalanan hidup selalu berpasangan, ada suka, ada duka. Ada sengsara, ada nikmat, ada sengsara membawa nikmat. Dalam hidup ini, ada hitam ada putih. Persis, seperti ada siang, ada malam.

Baca Juga: Puisi-puisi 'realitas sosial dan cinta' penyair Bulukumba Andhika Mappasomba

Salah satu pendekatan yang bisa dijadikan alternatif utuk menganalisis suatu karya adalah pendekatan hermenuetik. Hermeneutik berasal dari bahasa yunani ‘hermeutike’ yang dapat diartikan sebagai ‘menafsirkan’ atauintrepetasi’.

Menurut Teew (1984:96), “Hermeneutik adalah ilmu atau keahlian mengintrepetasi karya sastra dan ungkapan bahasa dalam arti yang lebih luas menurut maksudnya.” Ricoucer (dalam Endraswara, 2008:42) menambahkan “Hermeneutik berusaha memahami makna sastra di balik stuktur.”

Dengan kata lain hermeneutik lahir dalam upaya menemukan makna tersembuyi atau sengaja disembunyikan oleh pengarang yang dapat menimbulkan banyak imajinasi. 

Hermeneutik juga erat kaitannya dengan kajian semiotik, utamanya pada bagian pencarian sistem tanda sebagai salah satu usaha pencarian makna.***

Editor: Alfian Nawawi


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah

x