Maka
Burung-burung pagi
pun ikut menari
bersama cahaya matahari
Di sini
Di hamparan bumi yang bersahabat ini
Para petani menanam masa depan anak-anaknya
Siluet masa silam terbayang kembali:
Batang-batang tebu
diolah dengan peluh
Dionggok di ruang gerobak
Diusung ke dalam gudang
Mandor dan para kuli kontrak
bersiul nyaring menuju pabrik:
Mesin penggiling
bagi hari-hari yang
berkabut
Di sini
Dengan riang berseri
Para petani bangkit kembali
Menyusui harapan bangsanya
Dari serat-serat manis batang tebu
Bagi anak-anak petani
Pendidikan adalah saripati
di ruas buku-buku tebu
Lihatlah !
Cakrawala mulai merekah
Para petani menderap langkah
Melilit baju
Tanpa ragu Menyerbu
lahan-lahan yang gembur
Kemudian serentak mereka berseru:
Wahai negeriku !
Hamparan tanah leluhur
Petak-petak yang hijau
Dengan bangga menawarkan suburnya
Untuk kita bersama
Di sini
Kita bangkit dari masa silam
Menanam kembali berjuta-juta ruas tebu
Kita peras sarinya menjadi keristal-keristal pengharapan
Kita rancang penghidupan
menjadi satu di dalam tekad abadi:
Merumpun bagai
rimbun batang tebu
Menjadi gula
pemanis
angan-angan
Larut di telaga
impian dan cita-cita
Menjadi kekuatan
dan kebanggaan
ke sekujur pelupuk
mata dunia
Wahai para petani
Tegaklah seperti batang-batang tebu
Alirkan keringat dari basah tubuhmu
Peras sampai tuntas
saripati tebumu
Jadilah keristal-keristal mutiara:
Butir-butir gula yang
manis
Yang terus menetes
Terus menetes
Menetes-netes
di negeri
sendiri
Di negeri kita
Sendiri.
INDONESIA TANPA PANCA SILA
Indonesia tanah leluhur
Detak-detik jantung
Nafas segar mengalir
ke sumsum hari-harimu
Indonesia tanah yang gembur
Dari perutnya engkau makan dan menyusu
Di angin bukit mengalun
Indonesia lelapkan tidurmu
Tawarkan mimpi masa depan anak-anakmu
Indonesia ladang yang subur
bagi segenap rakyat bersatu
Tanpa Indonesia
Apa lagi yang engkau miliki ?
Petani dan nelayan kehilangan sawah-lautnya
Pelajar dan mahasiswa
akan bangkit menjadi pesilat lidah;
sepi dari ilmu
sunyi dari mimbar akademik
Tanpa Indonesia
Pegawai dan karyawan menjadi pengangguran
Para penganggur akan hidup terluntah-luntah dalam kehancuran
Tanpa Indonesia
Anak-anak yang engkau banggakan
kehilangan senyum
yang setiap waktu membuatmu bahagia
Istri-istri tersayang diamuk cemas menanti suami
sembul dari kepulan asap pemberontakan
Para suami didera gelisah
khawatir istri yang cantik diculik gerombolan perusuh
Indonesia adalah benteng paling kukuh
bagi negeri yang damai
Tanpa Indonesia
Sayap-sayap burung garuda
luruh satu-satu
Manik-manik kebangsaan yang engkau agungkan bertahun-tahun
terburai berantakan
Tanpa Indonesia
Panca Sila akan musnah tenggelam ke dalam comberan
Indonesia
tanpa Panca Sila
Ke langit siapa
engkau bersumpah ?
Indonesia
tanpa Panca Sila
Jangan bermimpi;
Keadilan sosial
bagi seluruh rakyat
yang lapar
Mahrus Andhis adalah salah satu sosok penyair produktif yang lahir di Ponre Kabupaten Bulukumba, 20 September 1958. Pemilik nama lengkap Drs. Andi Mahrus Syarief ini pernah mengasuh acara Serambi Budaya di RRI Makassar dan Apresiasi Budaya di TVRI stasiun Makassar (1982-1984).
Konon amat energik semasa menjadi aktivis mahasiswa di Universitas Hasanuddin Makassar. Sempat menjadi asisten dosen kemudian memutuskan pulang kampung. Salah satu tempat mangkalnya dulu adalah Dewan Kesenian Makassar hingga tahun 1986.
Mahrus tercatat sebagai Pamong Praja di Pemda Bulukumba. Beberapa jabatan pernah digeluti.
Diawali sebagai Kasubag Penerangan Humas, Kasubag Persidangan Setwan, Kaseksi Gedung-Bangunan Diknas, Kasubag Ortala, Anggota DPRD, Kabag Hukum, Camat Ujung Bulu, Kasubdin Sosteklinmas, Kabag Organisasi dan Tata Laksana, Asisten III Bidang Administrasi (Merangkap Plt.Sekretaris Daerah) dan saat ini sebagai Asisten I Bidang Pemerintahan dan Kesra pada sekretariat Daerah Kabupaten Bulukumba.
Suami dari Hj.Andi Ruhaya, Spd dan ayah dari Rumi Mahrus dan Gilang Mahrus ini, tetap menulis. Banyak bukunya yang telah terbit dan bahkan beredar sampai Malaysia dan Brunei di antaranya Sajak Sajak Panrita Lopi, Bulukumbaku Gelombang Berzikir (2001).
Dua bukunya diterbitkan Pustaka Refleksi, masing-masing berjudul: Kumpulan Puisi Panrita Lopi (2007), Katarsis Birokrasi (2009) dan Matahari yang Kemarin adalah Matahari Bulukumbaku yang Beringas (2006) (Diterbitkan La Macca Press), dan beberapa antologi bersama penyair lainnya.
Tahun 2013 ia 'mengaum' dari ruang birokrat dengan menulis sebuah buku berjudul "Ketika Rolly menggugat Pejabat", sebuah buku yang sangat layak dibaca terutama oleh birokrat penentu kebijakan. Pada tahun 2014, ia ternyata masih terus “menggugat” melalui antologi puisi “Balada Sebuah Kursi” (diterbitkan P3i Press Makassar).
Buku budaya berjudul "Sebulir Mata Air di Tanah Leluhur" berisi pesan To Riolo Bugis-Makassar ditulis Mahrus Andis di tahun 2017.
Pada tahun 2004, untuk karya-karya dan dedikasinya Mahrus memperoleh Celebes Award dari Gubernur Sulawesi-Selatan di bidang Karya Sastra.
Keakraban Mahrus Andhis dengan lingkungan alam kerap membuatnya mahir menuai kata beraroma khas perkampungan dalam sebahagian puisinya. Seperti salah satu puisinya “Di Atas Pematang” yang ditulis semasa masih mahasiswa.
Editor: Alfian Nawawi