Menemu kenali salah satu tabiat siluman parakang melalui cerbung sastrawan Bulukumba, Mahrus Andis

- 25 Desember 2022, 19:54 WIB
Ilustrasi  - Siluman jenis parakang bisa mengubah wujudnya menjadi hewan, salah satunya anjing hitam.
Ilustrasi - Siluman jenis parakang bisa mengubah wujudnya menjadi hewan, salah satunya anjing hitam. /Pixabay / RandyRMM.
 
WartaBulukumba - Sebagai salah satu tonggak penting di pelataran sastra, sastrawan Bulukumba Mahrus Andis masih tetap kokoh terpancang dalam karya-karya.

Penulis senior kelahiran Bulukumba ini telah menetaskan sejumlah buku.

Mahrus Andis juga banyak menulis puisi, esai, cerpen dan cerbung yang tersebar di berbagai media. Mulai era mesin tik hingga digital.

Baca Juga: Puisi ini ditulis Mahrus Andis sebelum pemakaman Fahmi Syariff di Ponre Bulukumba

 

Baru-baru ini, kritikus sastra dan budayawan ini mempublikasikan sebuah cerbung bergenre misteri melalui unggahan di akun media sosialnya.

Bagi Mahrus Andis sebenarnya bukan hal baru melahirkan karya-karya berbau mite, mitologi dan misteri.

Kali ini Mahrus Andis bercerita tentang parakang. Ihwal parakang dalam berbagai karya sastra seperti cerpen, cerbung dan novel juga telah banyak diangkat oleh penulis lain.

Baca Juga: Puisi-puisi sketsa sosial penyair Bulukumba Mahrus Andis

Namun dengan gayanya yang khas, Mahrus Andis berhasil mengajak pembaca untuk mencoba menemu kenali salah satu tabiat parakang.

 

Parakang merupakan sosok makhluk halus yang dipercaya di masyarakat Sulawesi. Mitos masyarakat Bugis yang berkembang, parakang dapat mengubah wujudnya menjadi hewan, tumbuhan, atau benda apa saja.

Tak seperti makhluk lain yang berubah wujud di malam hari, parakang justru tak mengenal waktu perubahan.

Baca Juga: Bukan dari Sulawesi apalagi Bulukumba, ini sejarah latto latto atau katto katto

Mahrus Andis menulis cerbung "Misteri di Bencah Pematang" dalam dua bagian.

Bagian pertama cerbub ini ditulis Mahrus Andis di Makassar pada 19 desember 2022. Bagian kedua dia tulis di Bulukumba pada 20 Desember 2022.

Pada catatan kaki cerbung ini, Mahrus Andis membubuhkan keterangan singkat untuk menjelaskan arti parakang, yaitu: "Siluman, makhluk jadi-jadian yang sering membuat huru-hara di kampung-kampung."

Baca Juga: Catatan dari Diskusi Buku 'Maharku: Pedang dan Kain Kafan, Jilid 2' (1)

Cerbung

oleh: Mahrus Andis

MISTERI DI BENCAH PEMATANG

 

Udara pagi terasa lembap. Embun bening masih bergelantungan di bulir-bulir padi. Sungai yang mengalir di belakang dangau membentur-benturkan busanya di atas batu. Kecipak air sesekali terdengar, riuh bagai kelepak sayap ribuan burung pipit.

Baca Juga: Catatan dari Diskusi Buku 'Maharku: Pedang dan Kain Kafan, Jilid 2' (2)

Sapirah berdiri tegak di atas pematang. Anak rambutnya beterbangan dari balik kerudung yang tipis. Ada wangi bedak basah mengiringi senyumnya yang manja. Memandangnya, aku tergagap. Tidak menyangka sepagi ini, gadis tetangga yang baru seminggu kukenal itu menyusul langkahku ke sawah.

"DaEng," Sapirah menyapa manja.

"Mengapa ke sini, Pirah?" tanyaku tergagap.

"Indah di sini, DaEng  Angin bukit mengalun, lembut air mengalir, bencah pematang bagai kasur yang empuk," jawab Sapirah seraya mencari jalan untuk mendekat ke tubuhku.

Baca Juga: Catatan dari Diskusi Buku 'Maharku: Pedang dan Kain Kafan, Jilid 2' (3)

"Jangan, Pirah !" cegahku.

Aku ingin bergeser dari pematang, namun telat. Sapirah tiba-tiba mencengkeram tanganku. Keras, tapi terasa ada hawa yang lembut menyusup ke pori-pori kulitku. Aku terblok. Hati dan mulutku bagai peti antik yang kehilangan anak kunci. Entah dorongan siapa, sepontan aku mengingat Tuhan. Satu lafaz zikir berisi doa keluar dari bibirku:

"Astagfirullah. Auudzu bikalimatillaahittaammaati min kulli syaithaanin wa hammatin wamin kulli ainin lammatin.

 

Ucapan itu membuat Safirah tersentak. Dia menatapku tajam, kemudian perlahan-lahan melepas cengkeramannya.

Baca Juga: Catatan dari Diskusi Buku 'Maharku: Pedang dan Kain Kafan, Jilid 2' (4)

"Apa yang kamu inginkan ?" Suaraku setengah berteriak.

Dia tidak menjawab. Sapirah mundur beberapa langkah. Astagfirullah, desisku lagi. Gerak-gerik perempuan cantik itu kian liar.

Burung pipit yang bergerombol bagai gumpalan awan gelap seakan terhenti di udara. Mungkin burung-burung itu terkejut, seperti juga aku, ketika menyaksikan Sapirah merebahkan tubuhnya di atas pematang.

Baca Juga: Catatan dari Diskusi Buku 'Maharku: Pedang dan Kain Kafan, Jilid 2' (5)

"Sapirah !" Aku membentak. Sapirah hanya tersenyum. Manis sekali.

Rok pendek yang sering dipakainya tidur tersingkap, melorot ke pangkal pahanya yang mulus. Kelopak matanya berkedip-kedip menawarkan biji kapuk yang hitam. Di sana, dahaga cinta yang dahsyat mengirim resonansi gairah menuju hatiku. Serentet getar yang luar biasa membungkam zikir dan doa-doaku.

Aku terbakar. Wajah manis yang tergolek di atas pematang itu menyulut api pemberontakanku. Sementara, di atas hamparan padi yang mulai menguning, ribuan burung pipit mencericit. Riuh sekali.

"Jangan, Sapirah ! Di sini banyak orang yang lewat. Bangun, ... !" Seruku kian gagap seraya menoleh kiri dan kanan.

Sapirah, gadis cantik berkulit putih kelahiran Bontokapese, 30 tahun yang lalu. Ayahnya Bugis asli dan menikahi perempuan Bontorampo ketika ia bekerja sebagai Mandor pelabuhan di sana. Ibu Sapirah telah meninggal dua tahun lalu. Ayahnya beristri lagi dan saat ini bersama istrinya tinggal di Bontokandatto. Minggu lalu, oleh ayahnya, Sapirah dititip di rumah neneknya, tetangga denganku di kampung Bontojabe. Sejak itulah aku sering bertemu dengannya.

Entah mengapa, aku di hati perempuan itu seakan menjadi lipatan kecil yang sangat bernilai. Sehari saja tidak melihatku, ia pasti gelisah dan tidak segan-segan mencari aku sampai ke ceruk-ceruk gua. Yang membuat aku tak paham, baru empat hari kedatangannya di Bontojabe, Sapirah sudah berani mengajak aku berduaan. Bahkan, lebih dari itu: bertigaan dengan syaitan. Aku beralasan takut pada Tuhan, tapi dia bilang itu urusan taubat. Aku bilang sibuk dan selalu merasa lelah jika pulang dari sawah, dia bilang, justru itu akan cepat pulih jika disentuh jari yang gemulai.

Kemarin, menjelang Magrib, aku bertemu Sapirah di sumur umum, di belakang rumah, dekat kandang sapi ambo'ku. Dia tidak sedang mandi ataupun berwudu. Ia Duduk saja mencangkung menghadap comberan.

"Sedang apa, Pirah ?" sapa aku. Sapirah menoleh, tersenyum kemudian berdiri dan mendekati aku.

"Lari ! Ayo, cepat lari !" Teriakku pada Sapirah.

Seperti anak panah melesat, aku meraih tangan Sapirah dan cepat berlari di sela-sela pohon kelapa. Seekor babi hutan mendengus di balik semak, membuatku terkejut.

"Terima kasih, DaEng", katanya setelah sampai di tangga rumahnya.

Sejak itulah, perhatian Sapirah mulai tumbuh menjadi cinta mahaberat. Itu aku tahu, ketika sehari sesudah kejadian di sumur, neneknya mengatakan padaku: "Sapirah demam tinggi. Ia mengigau memanggil namamu".

Hari ini Sapirah menemuiku di sawah. Kebiasaannya mengajak aku berduaan, bahkan bertigaan dengan syaitan, diulangi lagi. Aku selalu berhasil menghindar. Tapi, pagi ini, di saat sawah berselimut embun dan angin bukit mengelus lembut kulitku, aku tiba-tiba merasa tak berdaya. Langit bersih, udara segar dan bau tanah liat menyatu dari balik tubuh Sapirah. Ia kini bagai belut menggelepar di atas pematang. Matanya yang bundar terus berpendar memanggil-manggilku.

"Bangun, Pirah. Di sini banyak orang lewat," suaraku mulai gemetar.

"Tidak, DaEng. Biar semua petani tahu bahwa aku sangat mencintaimu," balasnya tegas-tegas manja.

Berulangkali aku membujuknya agar segera bangkit dari pematang, namun ia tetap menolak. Malah ia semakin ganas. Tanpa menyadari, tiba-tiba Sapirah menarik kakiku dengan kedua tangannya yang kuat. Tubuhku terhempas, jatuh pas menindih tubuhnya. Ada sesuatu yang empuk menyangga dadaku. Dengan kekuatan superperempuannya, Sapirah memeluk leherku. Seperti seekor bebek, ia menyedot comberan penuh dahaga. Aku menggelinjang. Langit di atas hamparan padi seakan berputar. Ribuan ekor burung pipit berhamburan menyebar jauh ke arah bukit. Aku pejamkan mata. Hatiku mulai menyala. Obor yang sejak dahulu terpancang di dadaku tiba-tiba tersulut api.

"Astagfirullah. Ilaahi Rabbii Anta maqshuudii waridhaaka mathluubii aatinii mahabbataka wa ma'rifataka ya, Allah."

Lafaz itu tiba-tiba menggelembung dari balik dadaku yang sedang kandas di tubuh Sapirah. Zikir dan doa yang aku baca tadi kuulangi lagi:

"Bismillah. Auudzu bikalimatillahittaammaati minkulli syaithaanin wa hammatin wamin kulli ainin lammatin."

Bacaan ini saya petik dari hadis Nabi untuk perlindungan dari makhluk jahat.

Dengan satu sentakan, aku berusaha melepaskan diri dari rengkuhannya. Aku berhasil. Sapirah mendengus bagai seekor babi yang murka. Lafaz doa kuulangi lagi, tapi tak bisa kurampungkan bacaannya. Semakin kuulang, semakin lupa lanjutannya. Aku kewalahan. Sapirah bangkit menyergap tubuhku. Namun, aku segera meloncat ke atas dangau. Di atas dangau aku melafazkan kembali doa itu. Tapi gagal. Yang terlontar dari mulutku yang gemetar adalah teriakan: "Tolooooooooong !"

Mendengar itu, Sapirah mengurungkan niatnya. Ia segera berbalik, berlari cepat menyusuri pematang ke arah hutan di atas bukit.

"Parakang! Dia muncul lagi !" teriak para petani sambil mengejar sesosok bayangan menuju bukit.

Di kampungku, ada pemali yang paling memalukan jika itu terjadi: diperkosa Parakang. Menurut orang tua-tua, diperkosa parakang itu pertanda iman lemah dan tidak serius mengamalkan doa-doa.

Aku segera turun dari dangau. Nafas sesak dan wajahku pucat.

"Kamu diperkosa juga ?" tanya beberapa petani yang pernah sukses bertemu dengan Sapirah. Aku menggeleng, malu-malu.***

 

Editor: Alfian Nawawi


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah

x