Poling online PRMN: 'Jika ada kandidat dalam pemilu memberi uang, apa yang dilakukan?'

3 Februari 2024, 07:00 WIB
Ilustrasi politik uang. /Antara/Irwansyah Putra/

WartaBulukumba.Com - Pesta demokrasi lima tahunan di Indonesia adalah musim di mana kita bisa dengan sangat mudah melihat peristiwa 'politik uang', baik yang tersamar maupun terang-terangan. Mulai Ibukota hingga pemilu di daerah.

Di musim lima tahunan itu 'orang-orang asing' menembus jalanan berdebu, mengintip ke dalam rumah-rumah penduduk, dan menyelami apa kemauan mereka.

Kita melihat bagaimana politik uang bukan hanya transaksi ekonomi, tapi juga cerminan dari kondisi sosial, politik, dan moral. 

"Jika ada kandidat dalam pemilu memberi uang, apa yang dilakukan?" Itu pertanyaan dalam poling online Pikiran Rakyat Media Network (PRMN).

Baca Juga: Poling online Pikiran-rakyat.com: Gimik hanya 5 persen sebagai pertimbangan dalam memilih Capres Cawapres

Hasil sementara poling online PRMN

Sejauh ini, hasil sementara poling online PRMN pada Sabtu, 3 Februari 2024, membawa kita ke data yang menggambarkan realitas: ada  respons yang beragam.

Tolak uangnya, tolak calonnya (18%); Tolak uangnya, terima calonnya (13%); Terima uangnya, terima calonnya (50%); Terima uangnya, tolak calonnya (19%).

Baca Juga: Poling online Pikiran-rakyat.com: 'Apa yang menjadi pertimbangan dalam memilih presiden?'

Kecenderungan pragmatis

Mayoritas, 50%, memilih untuk menerima uang dan mendukung calon yang sama. Ini menandakan adanya kecenderungan pragmatis dalam masyarakat, di mana kebutuhan sehari-hari dan keuntungan jangka pendek sering kali mengatasi prinsip dan idealisme.

Sementara itu, 19% yang menerima uang namun menolak calon, menggambarkan sikap yang lebih kritis dan mungkin menunjukkan ketidakpercayaan terhadap sistem.

Baca Juga: Kontroversi pernyataan Jokowi: 'Presiden boleh berkampanye dan berpihak dalam Pemilu 2024'

Dinamika Sosial dan Politik Uang

Praktik politik uang terentang luas di berbagai strata sosial. Bagi sebagian, penerimaan uang merupakan bentuk keberlangsungan hidup; bagi yang lain, itu adalah transaksi politik sederhana.

Fenomena ini mencerminkan bagaimana politik uang telah mengikis nilai-nilai demokrasi, mengubah pemilu menjadi pasar barang dan jasa.

Mari kita masuki rumah-rumah penduduk. Ada yang menolak uang dan calon karena prinsip; ada juga yang menerima uang namun memilih sesuai hati nurani. Kisah mereka mewakili keragaman respons terhadap politik uang.

Ketika suara dapat dibeli, nilai sebuah pilihan menjadi semata-mata transaksional. Ini tentu saja mengancam prinsip dasar demokrasi, di mana setiap suara seharusnya mewakili keputusan bebas dan sadar.***

Editor: Sri Ulfanita

Tags

Terkini

Terpopuler