1500 aduan masyarakat Indonesia terkait pelanggaran HAM selama 2021, terbanyak kasus pertanahan

- 6 Desember 2021, 20:00 WIB
Ilustrasi pelanggaran HAM.
Ilustrasi pelanggaran HAM. /Pexels

WartaBulukumba - Seantero Indonesia dipenuhi kasus-kasus pelanggaran HAM selama 2021 dan sebagian besar masih berstatus aduan masyarakat.

Baru sebagian kecil kasus aduan masyarakat yang berada dalam status telaah dan baru 229 yang diberi rekomendasi untuk ditangani.

Sebagian besar dari aduan masyarakat tersebut didominasi masalah pertanahan.

Baca Juga: Gonjang ganjing UU Ciptaker, KSPI mengadukan Pemerintah Indonesia ke ILO

Data tersebut dikeluarkan oleh Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham).

Sepanjang periode tahun 2021 Kemenkumham telah menerima sebanyak 1500 pengaduan masyarakat terkait pelanggaran HAM.

Direktur Jenderal Kemenkumham, Mualimin Abdi menjelaskan aduan masyarakat terkait pelanggaran HAM yang paling banyak terima terkait masalah pertanahan.

Baca Juga: Gunung Semeru di lintasan 'guguran lava' mitos dan sejarah

"Dari Januari ke September 2021 ada 1500-an aduan tematik, dengan permenkumham tentang pelayanan komunikasi masyarakat. Masyarakat ngadu ke Dirjen HAM melalui langsung maupun tidak langsung," jelas Mualimin, dikutip dari PMJ News, Senin 06 Desember 2021.

Mualimin membeberkan dalam satu semester Dirjen HAM menerima 790 aduan, melalui surat ada 695 kasus. Sedangkan media online 95 aduan dan melalui aplikasi Simasham 28 aduan.

"Semester 1 kami terima ada sekitar 790-an aduan, hampir 800, di semester berikutnya berapa? Hampir 1600 kasus. Yang paling banyak itu pertanahan itu ada 184 aduan, dan pidana capai 100 lebih," ungkapnya.

Baca Juga: 57 eks pegawai KPK dilantik jadi ASN Polri pekan depan

Dari jumlah aduan itu, kata Mualimin, baru diselesaikan 331 aduan untuk ditelaah dan 229 untuk diberikan rekomendasi.

Sementara wilayah pengaduan paling banyak di wilayah 1 sekitar 348 aduan, di wilayah 2 ada 213 aduan, di wilayah 3 ada 134 aduan, dan di wilayah 4 ada 95 aduan.

"Untuk wilayah 1 ada Sumut, Sumbar, Jambi, Banten, Kalbar, Jabar, Bali, Sultera, Gorontalo, Papua Barat. Untuk wilayah 2 ada Aceh, Kepri, Sumsel Bengkulu, Lampung, DKI Jakarta, Jatim, Kaltim, NTB, Sulut, Maluku," terangnya.

Baca Juga: Gunung Semeru masih memendam potensi bahaya awan panas, guguran lava hingga batuan pijar

"Sedangkan untuk wilayah 3 ada Bangka Belitung, Jateng, Kalsel, Kaltara, NTT, Sulteng, Sulses, Sulbar, Maluku Utara, dan Papua. Untuk wilayah 4 itu bebas, bisa tanpa wilayah termasuk penanganan media online," imbuhnya.

Pelanggaran HAM Berat

Sebelum tahun 2021, terdapat sejumlah kasus pelanggaran HAM Berat di Indonesia yang sampai saat ini belum menemukan titik terang.

Dikutip dari laman Amnesty.id, bulan September dikenal sebagai bulan kelam bagi HAM di Indonesia. Berbagai tragedi terjadi silih berganti, seperti peristiwa 30 September 1965, pembunuhan Munir, dan lain-lain. Hampir di semua peristiwa tersebut, korban dan keluarga masih belum menemukan titik terang walau sudah menunggu keadilan selama puluhan tahun. 

Catatan Amnesty Internasional Indonesia, Setidaknya 12 kasus dugaan pelanggaran HAM berat di Indonesia masih belum mendapat keadilan. Berkas dari sebagian besar kasus tersebut selalu dikembalikan oleh Kejaksaan Agung dalam 18 tahun terakhir karena dianggap kurang bukti. Ini beberapa di antaranya:

1. Peristiwa 1965 – 1966

Setelah upaya kudeta yang gagal pada 30 September 1965, militer Indonesia – yang dipimpin Mayor Jenderal Suharto – melancarkan serangan sistematis terhadap tersangka komunis dan sejumlah kelompok kiri lainnya. Pihak berwenang Indonesia menelantarkan jutaan korban dan anggota keluarga korban peristiwa 1965 dan 1966 mengalami salah satu pembunuhan massal terburuk.

2. Penembakan Misterius 1982-1985

Dalam peristiwa ini, terjadi pembunuhan di luar hukum, penyiksaan, dan penghilangan orang secara paksa. Ketua Tim Ad Hoc Penyelidikan Pelanggaran HAM Yosep Adi Prasetyo mengatakan jumlah korban mencapai 10 ribu orang. Korban adalah mereka yang ditetapkan sebagai penjahat oleh pemerintah saat itu, maupun petani dan pegawai negeri sipil karena bernama sama dengan mereka yang dicatat sebagai penjahat.

3. Peristiwa Talangsari 1989

Penyerbuan militer terhadap warga sipil di wilayah perkampungan Talangsari, Lampung. Ratusan warga ditangkap, disiksa, ditahan, dan dituduh makar.

3. Peristiwa Geudong dan Pos Sattis Lain di Aceh 1989-1998

Peristiwa ini terjadi saat Aceh dalam status Daerah Operasi Militer, ketika militer mengamankan wilayah sebagai reaksi atas berbagai insiden bersenjata antara militer, anggota Gerakan Aceh Merdeka, maupun warga sipil. Panglima ABRI menggelar operasi untuk memeriksa orang yang dianggap berhubungan atau mengetahui kelompok yang dianggap melakukan makar.

Laporan Komnas HAM menyatakan, terjadi kekerasan seksual, penyiksaan, pembunuhan, perampasan  kemerdekaan  atau  perampasan  kebebasan  fisik  lain  secara  sewenang-wenang  dan  penghilangan  orang  secara  paksa. 

4. Penghilangan Orang secara Paksa 1997-1998

Sejumlah mahasiswa dan aktivis dari berbagai organisasi hilang setelah menunjukkan sikap kritis terhadap rezim Orde Baru. Kejahatan penghilangan paksa adalah sebuah alat teror negara melalui aparatur keamanan dan dilakukan di luar proses hukum.

5. Kerusuhan Mei 1998

Kerusuhan ini diawali oleh krisis finansial Asia dan dipicu tragedi Trisakti yang menewaskan empat mahasiswa Universitas Trisakti dalam demonstrasi 12 Mei 1998. Akibat peristiwa ini, Soeharto turun dari jabatannya sebagai presiden.
Sepanjang kerusuhan yang terjadi pada 13-15 Mei 1998 di Jakarta, Medan, dan Surakarta, terjadi penjarahan, penghancuran toko dan rumah, penganiayaan, pembunuhan, dan kekerasan seksual. Aparat keamanan mencoba mengendalikan keamanan dengan kekerasan. Para perusuh dihalau dengan rentetan senjata.

6. Peristiwa TrisaktiSemanggi I dan Semanggi II 1998 & 1999

Tragedi Trisakti 12 Mei 1998 adalah peristiwa penembakan terhadap empat mahasiswa Trisakti saat demonstrasi menuntut Soeharto turun dari jabatannya. 

Peristiwa Semanggi I pada 11-13 November 1998 menewaskan 17 warga sipil dan melukai setidaknya 109 orang. Saat itu, masyarakat berdemonstrasi bersama mahasiswa di Jakarta dan kota-kota besar lainnya pada momen Sidang Istimewa untuk mendesak penghapusan dwifungsi ABRI dan pembersihan pemerintahan dari orang-orang Orde Baru.

Peristiwa Semanggi II pada 24 September 1999 menewaskan 11 orang mahasiswa dan melukai 217 orang. Saat itu, mahasiswa memprotes pengesahan Undang-Undang Penanggulangan Keadaan Bahaya yang dianggap memberi keleluasaan kepada tentara, yang diduga telah banyak melanggar HAM, untuk mengamankan negara dengan pendekatan militer.

Berkas penyelidikan tiga kasus ini dijadikan satu oleh Komnas HAM. Ketiga tragedi dianggap bertautan satu sama lain dalam konteks kebijakan pemerintah menghadapi gelombang demonstrasi menuntut Reformasi. 

Ada bukti awal yang cukup untuk menyatakan tiga kasus ini adalah pelanggaran HAM berat: terjadi pembunuhan, penganiayaan, penghilangan paksa, perampasan kemerdekaan dan kebebasan fisik secara terencana, sistematis, dan meluas.

7. Peristiwa Simpang KKA 1999

Peristiwa Simpang KKA terjadi pada 3 Mei 1999 di Kecamatan Dewantara, Kabupaten Aceh Utara. Pasukan militer menembaki kerumunan warga yang berunjuk rasa memprotes insiden penganiayaan warga yang terjadi pada 30 April di Cot Murong, Lhokseumawe. 

Penduduk sipil yang menjadi korban pembunuhan akibat diduga ditembak aparat militer setidaknya 23 orang. Setidaknya 30 warga sipil juga jadi korban penyiksaan oleh aparat.

8. Peristiwa Wasior 2001 dan Wamena 2003

Kasus Wasior terjadi pada 13 Juni 2001. Aparat Brimob Polda Papua menyerbu Desa Wonoboi, Wasior, Manokwari, Papua akibat terbunuhnya 5 anggota Brimob dan seorang warga sipil di PT Vatika Papuana Perkasa. Dalam peristiwa itu tercatat empat orang tewas, satu orang mengalami kekerasan seksual, lima orang hilang, dan 39 orang disiksa.

Kasus Wamena terjadi pada 4 April 2003 saat warga Papua sedang merayakan Paskah. Aparat melakukan penyisiran karena sebelumnya sekelompok masa tak dikenal membobol gudang senjata Markas Kodim 1702/Wamena. Saat penyerangan itu, dua anggota Kodim tewas. Dalam penyisiran ke 25 kampung, dilaporkan 9 orang tewas dan 38 orang luka berat.

9. Peristiwa Paniai 2004

Warga Paniai ditembak aparat gabungan TNI dan Polri kala memprotes pemukulan yang diduga dilakukan aparat militer terhadap dua anak. Empat orang tewas ditempat, 13 orang terluka dilarikan ke rumah sakit.***

Editor: Nurfathana S


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah