Kebebasan berekspresi terpasung, Jokowi dinilai mengabaikan kebebasan sipil

- 19 Agustus 2021, 13:23 WIB
Ilustrasi jurnalis.
Ilustrasi jurnalis. /unsplash.com/Jana Shnipelson/

WartaBulukumba - Tudingan 'pencemaran nama baik' yang melilit M Asrul jurnalis Palopo telah menghantar kasusnya ke ruang bincang soal kebebasan pers. 

Rezim-rezim silih berganti dalam beberapa orde namun ihwal kebebasan berpendapat terus memuai dalam tanda tanya besar di ruang demokrasi. Persoalan di ranah HAM pun mengabur.

Catatan menunjukkan, dalam rentang tahun 2020 saja, terdapat 132 kasus yang dicatat oleh Amnesty International yang berhubungan dugaan pelanggaran hak atas kebebasan sipil yang meliputi kebebasan berekspresi, kebebasan berpendapat, hingga kebebasan pers.

Baca Juga: Jejak Ryan Jombang, pembunuh berantai yang berselisih dengan Habib Bahar bin Smith

Dalam sejumah kasus tersebut UU ITE dijadikan piranti utama untuk menjerat.

Dari jumlah itu, terdapat 156 korban yang 18 di antaranya adalah aktivis dan 4 orang adalah jurnalis.

Deputi Direktur Amnesty Internasional Indonesia, Wirya Adiwena mengungkapkan bahwa sepanjang tahun 2021, telah terjadi 56 kasus serupa, dengan 62 orang korban.

Baca Juga: Terjungkal di play-off Liga Champions, AS Monaco dan PSV masih punya peluang

Salah satu kasus terbaru adalah tuduhan pencemaran nama baik untuk Ketua Umum Serikat Pekerja Perjuangan, Stevanus Mimosa Kristianto. Karena orasinya memprotes PHK sepihak, Kristianto dijerat oleh Polda Metro Jaya dengan UU ITE.

Kriminalisasi dengan UU ITE juga menimpa Soon Tabuni dari Papua. Ia menjalani proses hukum terkait dengan unggahannya di Facebook pada Mei 2020 soal penembakan dua tenaga medis di Intan Jaya dan dua mahasiswi di Timika. Soon menuliskan bahwa orang yang bertanggung jawab atas insiden itu adalah Kapolda Papua.

Sementara M Asrul, seorang jurnalis di Palopo, Sulawesi Selatan, dituduh melakukan pencemaran nama baik karena menulis berita tentang dugaan korupsi proyek besar di Palopo pada bulan Mei 2019 lalu.

Baca Juga: Film Selesai, antara perselingkuhan dan sarkasme

"Saat ini, Asrul sedang menjalani proses persidangan. Jika terbukti bersalah, Asrul terancam dipidana penjara hingga 10 tahun,” kata Wirya melalui keterangan persnya, Senin 16 Agustus 2021.

Menurut dia, kasus-kasus itu hanyalah sebagian kecil dari ratusan kasus ketika hak warga untuk mengekspresikan pendapat secara damai dilanggar dengan menggunakan UU ITE.

Selain penggunaan UU ITE, potret kebebasan berekspresi di Indonesia juga makin suram dengan adanya penindakan terhadap para pelukis jalanan.

Baca Juga: Wacana Jokowi 3 periode semakin menguat, skenarionya terendus

Wakil Koordinator Kontras, Rivanlee Anandar mengatakan sikap represi terhadap kritik pada era Jokowi makin menunjukkan bahwa partisipasi publik dan kebebasan sipil kian terabaikan.

Menurut dia, kritik seharusnya punya hak hidup dan terjamin dalam demokrasi. Namun realita yang ada yakni pembungkaman melalui berbagai bentuk.

“Padahal, kritik menunjukkan adanya masalah dari rencana/keputusan yang akan dilakukan oleh pemerintah,” ujarnya.

Baca Juga: Tips sederhana saat maag menyerang

Ia lantas mengkritik tajam perihal keseriusan Jokowi dalam menegakkan HAM dan kebebasan publik.

Ia mengatakan bahwa justru Jokowi mengabaikan kebebasan sipil yang ditunjukkan dengan penanganan berlebihan dalam merespons kritik.

“Seperti mengejar pembuat mural dan membiarkan peraturan yang membatasi pendapat tetap ada,” ujarnya.

Baca Juga: Cara meningkatkan kesuburan dan mengurangi keluhan saat menopause, ini rahasianya

Sementara itu Indonesia Corruption Watch (ICW) menggarisbawahi empat hal pokok dari pidato kenegaraan Presiden Joko Widodo baru-baru ini.

Diungkapkan peneliti ICW Kurnia Ramadhana melalui keterangan tertulis, Senin 16 Agustus 2021.

Pertama, ICW menilai pemerintah minim dalam menuntaskan tunggakan legislasi yang mendukung penguatan pemberantasan korupsi. Hal itu mulai dari Rancangan Undang-Undang tentang Perampasan Aset, Rancangan Undang-Undang tentang Pembatasan Transaksi Uang Kartal, hingga Revisi Undang-Undang tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang terbengkalai begitu saja.

Baca Juga: Cara mudah mengganti background di Google Meet

Kedua, ICW menilai, pemerintah abai dalam mengawasi kinerja aparat penegak hukum. Menurut dia, penting untuk diingat bahwa secara hierarki, Presiden merupakan atasan semua penegak hukum, baik kepolisian, kejaksaan, maupun KPK. Namun, sayangnya, Presiden sering kali absen dalam merespons sejumlah permasalahan yang terjadi.

Ketiga, ICW menilai, pemerintah gagal dalam menciptakan tata kelola pemerintahan yang baik.

Poin ini merujuk pada fenomena rangkap jabatan yang makin marak terjadi belakangan ini. Ia menyebutkan, data Ombudsman RI pada tahun 2019 menyebutkan, setidaknya terdapat 397 komisaris BUMN terindikasi rangkap jabatan.

Keempat, pemerintah dinilai gagal dalam mengelola penanganan dan pemulihan pandemi Covid-19.

Baca Juga: Kriteria dan cara cek penerima Banpres Produktif Usaha Mikro di Eform BRI BPUM

Terlepas dari isu kesehatan dan ekonomi, ada sejumlah persoalan yang menyeruak ke tengah masyarakat.

Hal itu seperti praktik korupsi bantuan sosial yang menjerat mantan Menteri Sosial, rencana vaksin berbayar, konflik kepentingan pejabat publik terkait dengan obat Ivermectin, dan terakhir menyangkut kebijakan penetapan tarif pemeriksaan PCR yang sepatutnya ditinjau ulang, termasuk aksesnya bagi masyarakat dengan kelas ekonomi lemah.

Disclaimer: artikel ini telah tayang sebelumnya di Pikiran-rakyat.com berjudul "Belenggu Kebebasan Berekspresi, Negara Tak Berkomitmen terhadap HAM".***

Editor: Nurfathana S

Sumber: Pikiran Rakyat


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah