Penyair Bulukumba kepada Remy Sylado: 'Dasar mbeling, ini Piala Dunia belum final kamu kok pergi..'

13 Desember 2022, 14:38 WIB
Remy Sylado. / Facebook RemySylado23761/

WartaBulukumba - Remy Sylado telah pergi. Penggagas puisi mbeling itu tutup usia pada Senin.

Rasa kehilangan meruah di berbagai penjuru Tanah Air. Terutama kalangan seniman dan sastrawan dari berbagai generasi.

Salah seorang penyair senior Bulukumba, Andha Alwy, mengekspresikan rasa kehilangan itu melalui sebuah postingan di akun media sosialnya.

Baca Juga: Siapa Donald Pandiangan 'Si Robin Hood Indonesia' yang muncul di Google Doodle hari ini?

"Dasar mbeling!. Ini PD belum final, kamu koq pergi. Selamat jalan, Bang REMY SILADO 23761," tulis Andha Alwy, dikutip WartaBulukumba.com dari posting online penyair Bulukumba itu pada Senin, 12 Desember 2022.
 
Andha Alwy juga mengungkapkan bahwa kepergian Remy Sylado menandakan kekhawatiran tentang siapa lagi yang akan tampil menjadi pembela bagi para penulis pemula.
 
"Jasamu bagi negeri akan terus kami kenang. Engkaulah yang membela setiap kecaman terhadap penulis pemula.
Damailah disana," kata Andha Alwy.
 
Baca Juga: Wisatawan mancanegara sorot RKUHP dan mendadak enggan ke Bali
 
Kabar Remy Sylado pergi, pertama kali diungkapkan Ketua Humas Pengurus Besar Persatuan Artis Film Indonesia (PARFI) Evry Joe.

“Telah berpulang hari ini, seorang seniman besar Indonesia yang juga seorang budayawan, novelis, penulis cerita film, dan bagi saya beliau juga merupakan seorang aktor besar Indonesia, Remy Sylado,” kata Evry Joe, dikutip dari Antara pada Senin.

Remy Sylado adalah seorang poliglot, menguasai banyak bahasa.

Baca Juga: Tiga tahun PRMN 'Bersama dan Bermakna' dalam semangat kolaborasi media digital

Di ruang publik dia sering berpakaian serbaputih sebagai ciri khasnya.

Dia besar di lingkungan keluarga Tambayong di Malino, Ujung Pandang (kini Makassar).

Masa kecil dan remaja dihabiskan di Semarang dan Solo. Sejak kecil hobi bertanya tentang banyak hal terkait dengan urusan agama.

Latar belakang agamanya yang kuat membuat orang tua Yapi mengirimnya untuk bersekolah ke seminari.

Ia memulai karier sebagai wartawan majalah Tempo (Semarang, 1965), redaktur majalah Aktuil Bandung (sejak 1970), dosen Akademi Sinematografi Bandung (sejak 1971), ketua Teater Yayasan Pusat Kebudayaan Bandung.

Dia menulis kritik, puisi, cerpen, novel (sejak usia 18), drama, kolom, esai, sajak, roman populer, juga buku-buku musikologi, dramaturgi, bahasa, dan teologi.

Remy terkenal karena sikap beraninya menghadapi pandangan umum melalui pertunjukan-pertunjukan drama yang dipimpinnya. Ia juga salah satu pelopor penulisan Puisi mBeling bersama Jeihan dan Abdul Hadi WM.

Selain menulis banyak novel, ia juga dikenal piawai melukis, berdrama, dan tahu banyak akan film.

 Remy pernah dianugerahi hadiah Kusala Sastra Khatulistiwa 2002 untuk novelnya Kerudung Merah Kirmizi.

Remy juga dikenal sebagai seorang Munsyi, ahli di bidang bahasa. Dalam karya fiksinya, sastrawan ini suka mengenalkan kata-kata Indonesia lama yang sudah jarang dipakai.

Hal ini membuat karya sastranya unik dan istimewa, selain kualitas tulisannya yang tidak diragukan lagi. Penulisan novelnya didukung dengan riset yang tidak tanggung-tanggung.

Seniman ini rajin ke Perpustakaan Nasional untuk membongkar arsip tua dan menelusuri pasar buku tua.

Meskipun di era digital namun Remy tetap menulis karyanya dengan mesin ketik.

Remy Sylado juga banyak melahirkan karya berlatar budaya di luar budayanya. Di luar kegiatan penulisan kreatif, ia juga kerap diundang berceramah teologi.

Remy Sylado pernah mengajar di beberapa perguruan tinggi di Bandung dan Jakarta, seperti Akademi Sinematografi, Institut Teater dan Film, Sekolah Tinggi Teologi.***

 

Editor: Alfian Nawawi

Tags

Terkini

Terpopuler