Konsep emansipasi menurut Rohana Kudus, wartawati pertama di Indonesia

- 8 November 2021, 20:32 WIB
Rohana Kudus
Rohana Kudus /Tangkapan layar Twitter/@fadlizon//

WartaBulukumba - Rohana Kudus yang namanya di zaman lampau ditulis 'Roehana Koeddoes' tampil menghiasi halaman Google Doodle pada Senin 8 November 2021.

Rohana Kudus adalah wartawati pertama di Indonesia. Ia menghabiskan waktu di sepanjang hidupnya dengan belajar, mengajar, membantu perjuangan kemerdekaan dan menulis.

Sepak terjang itu adalah bagian dari upayanya untuk mengubah paradigma dan pandangan masyarakat Koto Gadang terhadap pendidikan untuk kaum perempuan yang menuding perempuan tidak perlu menandingi laki-laki dengan bersekolah segala.

Baca Juga: Ketika Ki Hajar Dewantara menulis esai ngeri-ngeri sedap 'Seandainya Aku Seorang Belanda'

Namun dengan bijak Roehana menjelaskan: “Perputaran zaman tidak akan pernah membuat perempuan menyamai laki-laki. Perempuan tetaplah perempuan dengan segala kemampuan dan kewajibanya. Yang harus berubah adalah perempuan harus mendapat pendidikan dan perlakukan yang lebih baik. Perempuan harus sehat jasmani dan rohani, berakhlak dan berbudi pekerti luhur, taat beribadah yang kesemuanya hanya akan terpenuhi dengan mempunyai ilmu pengetahuan”. 

Emansipasi yang ditawarkan dan dilakukan Roehana tidak menuntut persamaan hak perempuan dengan laki-laki namun lebih kepada pengukuhan fungsi alamiah perempuan itu sendiri secara kodratnya.

Sejumlah buku mengurai dengan cukup komprehensif perjalanan Rohana Kudus. Beberapa di antaranya yaitu buku yang ditulis Tamar Djaja berjudul "Rohana Kudus: Riwayat Hidup dan Perjuangannya, penerbit Mutiara, 1980; Fitriyanti dengan buku "Roehana Koeddoes Perempuan Sumatra Barat, penerbit Yayasan Jurnal Perempuan, 2001; dan "Rohana Kudus Wartawan Perempuan Pertama indonesia", penerbit Yayasan d' Nanti, 2005.

Baca Juga: Muhammad Qasim Dreams Part 2, Indonesia and Malaysia allied with Pakistan

Rohana Koedoes lahir pada 20 Desember 1884, dan mengembuskan nafas terakhir pada 17 Agustus 1972.

Tepat dua tahun yang lalu, pada tanggal yang sama, Rohana Kudus diumumkan sebagai salah satu pahlawan nasional asal Kabupaten Agam oleh Presiden RI Joko Widodo.

Saat Belanda meningkatkan tekanan dan serangannya terhadap kaum pribumi, Rohana turut membantu pergerakan politik dengan tulisannya yang membakar semangat juang para pemuda.

Baca Juga: Refleksi Sumpah Pemuda dan perjuangan Andi Sultan Daeng Radja, Pahlawan Nasional Indonesia dari Bulukumba

Rohana pun mempelopori berdirinya dapur umum dan badan sosial untuk membantu para gerilyawan. Dia juga mencetuskan ide bernas dalam penyelundupan senjata dari Kotogadang ke Bukittinggi melalui Ngarai Sianok dengan cara menyembunyikannya dalam sayuran dan buah-buahan yang kemudian dibawa ke Payakumbuh dengan kereta api.

Hingga ajalnya menjemput, dia masih terus berjuang. Termasuk ketika merantau ke Lubuk Pakam dan Medan. Di sana dia mengajar dan memimpin surat kabar Perempuan Bergerak.

Kembali ke Padang, ia menjadi redaktur surat kabar Radio yang diterbitkan Tionghoa-Melayu di Padang dan surat kabar Cahaya Sumatra. Perempuan yang wafat pada 17 Agustus 1972 itu mengabdikan dirinya kepada bangsa dan negara, serta menjadi kebanggaan bagi kaum hawa yang diperjuangkannya.

Baca Juga: 30 September, tugu kegagalan DN Aidit dan G30 S PKI

Roehana Koeddoes menghabiskan 88 tahun umurnya dengan beragam kegiatan yang berorientasi pada pendidikan, jurnalistik, bisnis dan bahkan politik.

Ia menerima penghargaan sebagai Wartawati Pertama Indonesia (1974), pada Hari Pers Nasional ke-3, 9 Februari 1987, Menteri Penerangan Harmoko menganugerahinya sebagai Perintis Pers Indonesia. Pada tanggal 6 November 2007 pemerintah Indonesia menganugerahkan Bintang Jasa Utama.

Keinginan untuk berbagi cerita tentang perjuangan memajukan pendidikan kaum perempuan di kampungnya ditunjang kebiasaannya menulis berujung dengan diterbitkannya surat kabar perempuan yang diberi nama Soenting Melajoe pada tanggal 10 Juli 1912. Soenting Melajoe merupakan surat kabar yang terbit tiga kali dalam seminggu. 

Baca Juga: Dasar Negara Pancasila dan Islam dalam pemikiran Mohammad Natsir

Soenting Melajoe tercatat dalam sejarah sebagai surat kabar perempuan pertama di Indonesia yang pemimpin redaksi, redaktur dan penulisnya adalah perempuan

Di Bukittinggi Roehana mendirikan sekolah dengan nama “Roehana School”. Roehana mengelola sekolahnya sendiri tanpa minta bantuan siapa pun untuk menghindari permasalahan yang tak diinginkan terulang kembali.

Roehana School sangat terkenal muridnya banyak, tidak hanya dari Bukittinggi tetapi juga dari daerah lain. Hal ini disebabkan Roehana sudah cukup populer dengan hasil karyanya yang bermutu dan juga jabatannya sebagai Pemimpin Redaksi Sunting Melayu membuat eksistensinya tidak diragukan.

Baca Juga: Amandemen UUD 1945, tuntutan zaman atau kepentingan elit politik?

Tak puas dengan ilmunya, di Bukittinggi Roehana memperkaya keterampilannya dengan belajar membordir pada orang China dengan menggunakan mesin jahit Singer.

Karena jiwa bisnisnya juga kuat, selain belajar membordir Roehana juga menjadi agen mesin jahit untuk murid-murid di sekolahnya sendiri. Roehana adalah perempuan pertama di Bukittinggi yang menjadi agen mesin jahit Singer yang sebelumnya hanya dikuasai orang Tionghoa.

Dengan kepandaian dan kepopulerannya Roehana mendapat tawaran mengajar di sekolah Dharma Putra. Di sekolah ini muridnya tidak hanya perempuan tetapi ada juga laki-laki. Roehana diberi kepercayaan mengisi pelajaran keterampilan menyulam dan merenda.

Semua guru di sini adalah lulusan sekolah guru kecuali Roehana yang tidak pernah menempuh pendidikan formal. Namun Roehana tidak hanya pintar mengajar menjahit dan menyulam melainkan juga mengajar mata pelajaran agama, budi pekerti, Bahasa Belanda, politik, sastra, dan teknik menulis jurnalistik.***



Editor: Alfian Nawawi


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah