Ketika Ki Hajar Dewantara menulis esai ngeri-ngeri sedap 'Seandainya Aku Seorang Belanda'

- 8 November 2021, 18:08 WIB
Ki Hajar Dewantara
Ki Hajar Dewantara /Foto dokumen LP3M Yogyakarta

WartaBulukumba - Mendadak pemuda bernama Soewardi Soerjaningrat menyedot perhatian pemerintah kolonial Hindia Belanda saat menulis sebuah esai yang 'ngeri-ngeri sedap'.

Di kemudian hari pemuda yang kemudian dikenal dengan nama Ki Hajar Dewantara ini menempati salah satu lembaran penting dalam perjalanan sejarah perjuangan bangsa Indonesia.

Soewardi menulis sebuah esai berjudul "Seandainya Aku Seorang Belanda", judul aslinya "Als ik een Nederlander was" yang dimuat dalam surat kabar De Expres yang dipimpin DD edisi 13 Juli 1913.

Baca Juga: 30 September, tugu kegagalan DN Aidit dan G30 S PKI

Isi artikel tersebut terasa sangat keras sekali di kalangan pejabat Hindia Belanda. Berikut salah satu kutipan tulisan tersebut.

"Sekiranya aku seorang Belanda, aku tidak akan menyelenggarakan pesta-pesta kemerdekaan di negeri yang telah kita rampas sendiri kemerdekaannya. Sejajar dengan jalan pikiran itu, bukan saja tidak adil, tetapi juga tidak pantas untuk menyuruh si inlander memberikan sumbangan untuk dana perayaan itu. Ide untuk menyelenggaraan perayaan itu saja sudah menghina mereka, dan sekarang kita keruk pula kantongnya. Ayo teruskan saja penghinaan lahir dan batin itu! Kalau aku seorang Belanda, hal yang terutama menyinggung perasaanku dan kawan-kawan sebangsaku ialah kenyataan bahwa inlander diharuskan ikut mengongkosi suatu kegiatan yang tidak ada kepentingan sedikit pun baginya".

Tulisan Soewardi merupakan reaksi terhadap langkah pemerintah Hindia Belanda yang berencana mengumpulkan sumbangan dari warga, termasuk pribumi, untuk perayaan kemerdekaan Belanda dari Prancis pada tahun 1913. Reaksi kritis pun bermunculan dari kalangan nasionalis, termasuk Soewardi.

Baca Juga: Refleksi Sumpah Pemuda dan perjuangan Andi Sultan Daeng Radja, Pahlawan Nasional Indonesia dari Bulukumba

Beberapa pejabat Belanda menyangsikan tulisan ini asli dibuat oleh Soewardi sendiri karena gaya bahasanya yang berbeda dari tulisan-tulisannya sebelum ini.

Kalaupun benar ia yang menulis, mereka menganggap DD berperan dalam memanas-manasi Soewardi untuk menulis dengan gaya demikian.

Akibat tulisan itulah Soewardi ditangkap atas persetujuan Gubernur Jenderal Idenburg dan akan diasingkan ke Pulau Bangka. Namun demikian kedua rekannya, DD dan Tjipto Mangoenkoesoemo, memprotes dan akhirnya mereka bertiga diasingkan ke Belanda pada tahun 1913.

Ketiga tokoh ini dikenal sebagai "Tiga Serangkai". Soewardi kala itu baru berusia 24 tahun.

Baca Juga: Mengulik fakta sejarah Fatmawati Soekarno dan hubungannya dengan pergerakan Muhammadiyah

Artikel lainnya yang ditulis Soewardi yang juga populer berjudul "Een voor Allen maar Ook Allen voor Een" atau "Satu untuk Semua, tetapi Semua untuk Satu Juga"

Sejumlah buku mengurai kisah dan perjuangan Ki Hajar Dewantara, salah satunya buku berjudul "Ki Hajar Dewantara dan Taman Siswa dalam Sejarah Indonesia Modern" yang ditulis oleh Abdurrachman Surjomihardjo, penerbit  Sinar Harapn, tahun 1986.

Soewardi muda sempat bersekolah di sekolah dokter Batavia (STOVIA), namun tidak sampai tamat karena kondisinya yang sakit-sakitan.

Ia kemudian bekerja sebagai jurnalis di beberapa surat kabar seperti Oetoesan Hindia dan Kaoem Moeda.

Baca Juga: Inilah sosok 9 Istri Soekarno, Sang Proklamator Kemerdekaan Indonesia

Selain menulis, ia juga aktif berorganisasi. Pada tahun 1912, Soewardi bersama Douwes Dekker dan Cipto Mangunkusumo mendirikan partai politik pertama di Hindia Belanda, Indische Partij, untuk mencapai kemerdekaan bangsa Indonesia.

Kritiknya terhadap pemerintah kolonial dalam tulisan berjudul “Seandainya Aku Seorang Belanda”, membuat Soewardi diasingkan ke Belanda pada 1913 bersama Cipto Mangunkusumo dan Douwes Dekker.

Masa pengasingan di Belanda dimanfaatkan Soewardi untuk mendalami dunia pendidikan. Pada 3 Juli 1922, Soewardi mendirikan "Taman Siswa" di Yogyakarta.

Baca Juga: 7 fakta menarik Wage Rudolf Soepratman, pencipta lagu Indonesia Raya

Ia pun melepas nama kebangsawanannya, dan menggunakan nama Ki Hajar Dewantara agar perjuangannya lebih mudah diterima masyarakat.

Setelah Indonesia merdeka pada 1945, Ki Hajar Dewantara diangkat sebagai Menteri Pendidikan, Pengajaran, dan Kebudayaan yang pertama di Indonesia.

Ki Hajar Dewantara wafat tanggal 26 April 1959 di Yogyakarta. Pada tanggal 2 Mei 1889, hari kelahirannya ditetapkan sebagai Hari Pendidikan Nasional.

Baca Juga: Sariamin Ismail, novelis perempuan pertama Indonesia tampil di Google Doodle

Ia pun melepas nama kebangsawanannya, dan menggunakan nama Ki Hajar Dewantara agar perjuangannya lebih mudah diterima masyarakat.

Setelah Indonesia merdeka pada 1945, Ki Hajar Dewantara diangkat sebagai Menteri Pendidikan, Pengajaran, dan Kebudayaan yang pertama di Indonesia.

Ki Hajar Dewantara wafat tanggal 26 April 1959 di Yogyakarta. Pada tanggal 2 Mei 1889, hari kelahirannya ditetapkan sebagai Hari Pendidikan Nasional.

Baca Juga: Dasar Negara Pancasila dan Islam dalam pemikiran Mohammad Natsir

Ketiga semboyan peninggalan Ki Hajar Dewantara itu kemudian menjadi semboyan dalam pendidikan di Indonesia.

Semboyan ciptaannya, Tut Wuri Handayani, menjadi bagian dari logo Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.***

Editor: Alfian Nawawi


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah