Sejarah Kapal Pinisi ada di Google Doodle hari ini, harganya sangat fantastis!

7 Desember 2023, 17:05 WIB
Annyorong Lopi: Ritual sakral masyarakat Bulukumba melepas perahu Pinisi ke laut /Tangkapan layar Instagram.com/@ emenardiansyah

WartaBulukumba.Com - Sejarah Kapal Pinisi 'berlayar' di 'samudera' Google Doodle hari ini Kamis, 7 Desember 2023 menjadi sebuah tema yang sangat layak. Google Doodle merayakannya hari ini pada tahun 2017 silam, saat Pinisi dari Bulukumba, Sulawesi Selatan diresmikan sebagai Warisan Budaya Tak Benda Manusia oleh UNESCO.

Tahukah Anda berapa harga kapal Pinisi yang dibuat oleh para 'panritalopi' atau 'pengrajin perahu' atau 'ahli perahu' di Kabupaten Bulukumba?? Harga satu unit Kapal Pinisi sangat fantastis. 

Harga kapal Pinisi tergantung dari ukurannya. Banyak pesanan dari luar negeri kepada para pengusaha dan pengrajin Pinisi di Bulukumba. Para pemesan kebanyakan bermaksud untuk menjadikan Kapal Pinisi sebagai kapal pesiar.

Baca Juga: Warisan Budaya Dunia dari Bulukumba: Mengapa diberikan nama kapal Pinisi?

Harga satu unit kapal Pinisi

Tergantung ukurannya, harga satu unit Pinisi bisa mencapai Rp15 miliar lebih. Harga ini sepadan dengan kualitasnya. Bahan baku perahu Pinisi tebuat dari kayu kualitas super.

Tenaga pengrajin perahu atau "panritalopi" sangat kompeten, dan merupakan asli masyarakat setempat.  Kapal Pinisi dibuat oleh orang Bira, Ara, Lemo-Lemo, dan Tana Beru. Mereka bermukim di timur Bulukumba, tepatnya di Kecamatan Bonto Bahari, Kabupaten Bulukumba, Sulawesi Selatan sejak ratusan tahun silam.

Proses pembuatan perahu Pinisi biasanya memakan waktu hingga 8 bulan lamanya. Bahkan bertahun-tahun jika ukurannya lebih besar.

Selain Pinisi, di Ara Tanah Beru masyarakat pengrajin Pinisi juga banyak membuat perahu kargo, penongkol, dan gae. Kapal kargo biasanya digunakan untuk pengangkut barang, sedangkan penongkol dan gae untuk digunakan nelayan manangkap ikan.

Baca Juga: Google Doodle rayakan Pinisi sebagai Warisan Budaya Dunia, Tomy Satria salah satu pejuang di baliknya

Literatur komprehensif tentang Pinisi

Buku-buku terkait Pinisi yang sangat direkomendasikan adalah karya-karya budayawan dari Bulukumba, Muhammad Arief Saenong. Tidak sekadar meneliti dan menuliskan sendiri hasil penelitiannya. Muhammad Arief Saenong juga pernah berprofesi sebagai pembuat perahu Pinisi.

Dia mendapat kepercayaan menjadi narasumber dan memandu pembuatan film dokumenter “Adat Pembuatan Pinisi” oleh Pustekkom Depdikbud.

Pada 2001, bukunya yang berjudul “Pinisi Perahu Khas Sulawesi Selatan” diterbitkan oleh Proyek Pembinaan Sejarah Purbakala dan Permuseuman Sulawesi Selatan. Pada November 2007, memenangkan sayembara penulisan naskah buku nonfiksi yang diselenggarakan oleh Pusat Perbukuan Depdiknas dengan judul “Pinisi Perahu Tradisional Bugis Makassar”.

Baca Juga: Sejarah Kapal Pinisi dari Bulukumba: Warisan Budaya Dunia yang jadi Tema Google Doodle hari ini

Buku karyanya “Pinisi: Paduan Teknologi dan Budaya” merangkum simpulan awal beberapa pakar bahwa buku tersebut merupakan referensi terlengkap tentang Pinisi.

Meskipun pendapat dari beberapa ahli mengungkapkan bahwa buku tersebut masih jauh untuk disebut sebagai referensi ideal tentang pinisi, namun buku itu telah berhasil merefresh wawasan kita terutama kaitannya dengan mitos pembagian pengetahuan teknik pembuatan perahu. Buku itu juga mencerminkan asal penulisnya, Ara yang merupakan asal pembuat perahu.

Dalam mitos dikemukakan, bahwa ada tiga kampung yang masing-masing memiliki keterampilan: orang Ara lihai membuat bagian dasar perahu, orang Lemo-lemo trampil menghaluskan, dan orang Bira melayarkannya.

Budayawan Bulukumba ini juga menulis makalah dengan judul “Pinisi Riwayatmu Dulu, Terabaikan Sekarang”.

Menurut Muhammad Arief Saenong, perahu pinisi klasik generasi terakhir yang dibangun di Tanah Beru, dibuat pada 1974 milik H. Abdul Wahab, seorang pengusaha perahu dari Bira. Ada dua buah pinisi yang dibangun pada waktu itu masing-masing berkapasitas 200 GT. Sedangkan pinisi (asli) generasi terakhir yang dibangun di Ara dibuat pada 1974 milik H. Emba. Pinisi yang berkapasitas 200 GT itu diluncurkan pada Juni 1974.

Bila merujuk pada apa yang dituliskan Muhammad Saenong bahwa pembuatan perahu Pinisi yang tergolong ramai pada zamannya ialah di Cappa Ujung (Pare–Pare). Antara 1950- an sampai akhir 1960-an, puluhan tukang perahu menetap tinggal di tempat ini mengerjakan pinisi dan jenis perahu lainnya dari berbagai ukuran milik pengusaha setempat. Salah satu perusahaan di Kodya Pare–Pare (PT Duta Pare) milik Kuneng Bau Massepe’ pernah memesan perahu sebanyak 7 buah yang pembangunannya dikoordinir oleh Panrita Dg. Baso Cinda.

Salah satu dari ke tujuh perahu yang dibangun perusahaan tersebut dibuat dengan type pinisi dalam bentuk aslinya tetapi didesain untuk perahu layar motor (PLM). Menurut penuturan para tukang saat itu (1962) inilah pinisi yang pertama menggunakan mesin. Dengan pemakaian mesin tersebut, oleh tukang ahli dilakukan penyesuaian pada bagian belakang ujung lunas dengan memasang linggi tegak lurus (tiang bos) untuk tumpuan as baling–baling. Pada ketinggian tertentu barulah dipasang Sotting belakang. Pembuatan pinisi yang dimotorisasi ini dengan bobot 30 GT ditangani oleh panrita Alla Raja.

Dan, jauh sebelum itu, menurut Muhammad Arief Saenong bahwa pada tahun 1972 di Bulukumba pernah dibangun dua buah perahu pinisi yang dimotorisasi atas bantuan presiden waktu itu dan dikerjakan oleh Panrita Inga’ Dg. Raja. Proyek ini diberi nama “Proyek Toddo’puli” yang merupakan salah satu upaya pemerintah untuk melestarikan perahu pinisi yang mulai mengalami kelesuan. Sehubungan dengan proyek Toddo’puli, ada enam buah pinisi yang dimotorisasi dibuat di Sulawesi Selatan. Dua di antaranya dibangun di Jeneponto (Pallengu dan Nasara) dan empat lainnya dibangun masing-masing satu buah di Takalar; Mamuju; Bone; dan Bulukumba. Pada 1979 di Pallengu pernah pula dibangun sebuah perahu Pinisi yang diberi nama “Sinar Habibie” dan peluncurannya disaksikan langsung oleh B.J. Habibie selaku Menristek waktu itu.”

Besarnya potensi budaya yang ada di Bulukumba memunculkan banyaknya usul dari berbagai pihak, salah satunya adalah Muhammad Arief Sanong yang mengharapkan kehadiran museum di Bulukumba. Kehadiran museum dirasa semakin mendesak guna melestarikan sumberdaya budaya tersebut mengingat budaya mempunyai sifat yang langka, tidak dapat diperbaharui, rapuh dan tidak tergantikan.

Nenek moyang kapal Pinisi

Ada pendapat yang menyatakanbahwa Palari adalah 'nenek moyang' Kapal Pinisi. Palari digunakan oleh orang-orang Ara dan Lemo Lemo, untuk mengangkut barang dan orang. Kapal ini dilengkapi dengan sistem layar yang dikenal sekarang sebagai sistem layar Pinisi. Inilah yang membuatnya kemudian lebih dikenal dengan nama "Pinisi". Di Singapura, Palari dikenal sebagai "Kapal dagang Makassar".

Dalam bahasa Makassar dan Bugis yaitu palari berarti 'pelari' atau merujuk pada makna: gesit, cepat, trengginas.

Secara keseluruhan, palari memiliki panjang sekitar 50–70 kaki (15,24–21,34 m), dengan garis air saat muatan ringan 34–43 kaki. Layar dibangun menggunakan kanvas ringan, sedangkan bagian atasnya adalah kain linen. Awaknya sekitar 7–8 orang. Ia dikemudikan menggunakan kemudi samping ganda. Dalam kondisi yang menguntungkan, kecepatannya bisa mencapai 9–10 knot. Sebuah kapal Palari dengan garis air 30 kaki dapat membawa hampir 22,7–25 ton)

Pada palari tahun 1920–1930-an, para kru tidur di rak sempit yang digantung dengan tali di bawah geladak. Secara tradisional, kapten memiliki kabin buritan kecil dengan panjang 2 m dan tinggi 1 m, di bawah papan dek. Penumpang tertentu memiliki kabin sementara yang dibangun di geladak.

Memasak dilakukan di perapian memasak dari tanah liat di kotak yang bisa dipindah-pindahkan setinggi sekitar 1–2 m. Mereka kadang-kadang memiliki seorang wanita di atas perahu sebagai juru masak, kadang-kadang dia adalah istri sang kapten. Toiletnya terletak di belakang, tergantung di atas buritan. Air disimpan di jeriken, drum, and pot-pot dan para kru bertahan hidup dengan makan nasi.

Mengapa diberikan nama kapal Pinisi?

Mengapa diberikan nama kapal Pinisi? Sejauh ini, ada beberapa versi sejarahnya merujuk pada budaya, bahasa, manuskrip kuno dan berbagai literatur yang ada.

Sumber lain menyatakan bahwa nama pinisi berasal dari kata panisi (kata Bugis, berarti "sisip"), atau mappanisi (menyisipkan), yang mengacu pada proses mendempul.

Karena 'lopi' (perahu) dipanisi berarti perahu yang disisip atau didempul, telah disarankan bahwa kata panisi mengalami perubahan fonemis menjadi Pinisi.

Versi lainnya menyebutkan bahwa nama Venesia, sebuah pelabuhan di Eropa ada hubungannya dengan nama Pinisi, sejauh ini belum bisa dibuktikan secara valid, baik melalui penelitian lingual, sejarah pertemuan budaya dua bangsa, dan lainnya. 

Makna 'Bumi Panritalopi'

Bulukumba dikenal dengan julukan "Bumi Panritalopi". Namun banyak pula yang menuliskannya dengan "Buta Panrita Lopi". 

Yang tepat adalah "Bumi Panritalopi". Hal itu berdasarkan penjelasan langsung pencetus istilah "Bumi Panritalopi". Dia adalah seorang budayawan dan seniman Bulukumba kelahiran Desa Ara. Namanya Jafar Palawang. 

Menurut Jafar Palawang, cara penulisan 'Butta Panrita Lopi' yang dilakukan pemerintah dan media dan lain-lainnya selama ini di mana 'Panrita' dan 'lopi' ditulis secara terpisah itu merupakan kekeliruan besar. Jafar Palawang mengungkapkan hal itu dalam sebuah momen pentas seni di Kecamatan Bonto Bahari, pada tahun 2013 silam.

Gramatika Bahasa Bugis tidak sama dengan gramatika yang terdapat dalam Bahasa Indonesia. 

Butta berarti "tanah, wilayah, daerah" yang merujuk suatu lokasi tertentu. Sementara kata 'Bumi' merujuk pada filosofi dan histori di mana nenek moyang pengrajin dan pelaut Bugis Makassar memaknainya sebagai sebuah planet dan dunia yang utuh. Sebab sejatinya istilah Bumi Panritalopi lahir dari penggalian nilai histori dan filosofi yang jauh lebih dulu ada dibandingkan KBBI.

Itu salah satu pijakan mengapa mereka berani berlayar sampai jauh mengembara ke samudera melintasi bayas-batas geografi.

Menukik pada kata 'Panrita' dan 'lopi' yang semestinya bersambung menurut versi pencetusnya, Jafar Palawang, gramatika itu juga terdiri dari diakronis yakni tata bahasa yang meliputi berbagai zaman dalam perkembangan satu bahasa.

Namun gramatika pun harus melibatkan sinkronis yakni tata bahasa yang hanya meliputi satu zaman tertentu dari satu bahasa, jadi menurut saya, penjelasan Bapak Jafar Palawang itu sangat ilmiah dari segi tata bahasa dan dapat diterima dengan sangat logis, bersambungnya kata 'Panrita' dan 'lopi' itu memenuhi syarat dari unsur sinkronis.***

Editor: Alfian Nawawi

Tags

Terkini

Terpopuler