Innalillah cendekiawan dan sastrawan Bulukumba Mochtar Pabottingi meninggal dunia

- 4 Juni 2023, 09:13 WIB
Mochtar Pabottingi
Mochtar Pabottingi /Dok. Dandungbondowoso

Kurun waktu bab ini pada dasawarsa 1970, masa Pak Mochtar meniti karir. Kala itu pula intelektualitas di Yogyakarta dan Jakarta berkembang pesat ditopang fondasi penerbitan yang kokoh. Pak Mochtar paling sering mengunjungi Horison dan Prisma. “Jika Horison menjadi barometer kesusastraan, Prisma menjadi barometer perkembangan ilmu-ilmu sosial di Indonesia.” Masa itu memang zaman ketika Jakarta menjadi pusat kehidupan penulis, seniman, dan intelektual Indonesia. Selain Horison dan Prisma, terbit pula Kompas, Tempo, Budaja Djaja, menjadi semacam komunitas media yang melahirkan kalangan-kalangan tadi.

Ia  juga menuturkan pengembaraannya ke cakrawala Amerika Serikat di bab selanjutnya, negeri yang dijajalnya karena harus melanjutkan studi. Agaknya selama di Amerikalah salah satu bagian hidup Pak Mochtar ditempa. Justru di negara nun jauh ini ia mendapati perbandingan Islam yang diyakininya dengan Islam versi rekannya sesama penuntut ilmu dari negara lain. Islam bagi Pak Mochtar adalah Islam agama damai dan tidak memaksakan keyakinan pada orang lain.

Sampai saat ini, di tengah kesibukannya sebagai Kepala Pusat Penelitian Politik dan Kewilayahan LIPI, kegemaran masa kecilnya membaca karya sastra tetap berlanjut mulai dari angkatan Pujangga Baru sampai Milan Kundera. Intensitas bacaannya pada karya Kundera mengarah pada keterpesonaan. Pesan Kundera yang kental ditangkapnya adalah munculnya kecenderungan masyarakat untuk kembali kepada identitas atau mencari kembali identitasnya yang telah terkubur oleh ambisi materi atau kekuasaan.

Ketertarikan pada karya sastra itulah yang membuat analisis politiknya lebih holistik. Saat masih menjadi mahasiswa Sastra Inggris, Fakultas Sastra Universitas Gajah Mada,  bersama teman-temanya di Yogyakarta dia membentuk kelompok studi politik "Juli 73".

Dia tak pernah bisa meninggalkan puisi, sastra, dan politik. Dia mengakui adanya lingkaran unik keterkaitan sastra dan politik sejak menemukan, menyukai dan hafal puisi Soekarno berjudul "Berdiri Aku".

Tahun 1973 ia menamatkan kuliahnya di jurusan sastra Ingggris Fakultas Sastra Universitas Gadjah Mada. Tahun 1984 lulus M.A. dari Universitas Massachusets, Amerika Serikat, dan tahun 1989 lulus Ph.D. dari Universitas Hawaii, Honolulu, Amerika Serikat. Pendidikan terakhir S3 University of Hawaii, jurusan Ilmu Politik, lulus tahun 1991.

Ia pernah menjadi redaktur Mercu Suar dan Harian Kami (keduanya edisi Sulawesi Selatan), Ketua Seni Budaya Muslim Indonesia di Ujungpandang, penggiat Teater Gadjah Mada, redaktur majalah Titian, dan sekarang sebagai peneliti LIPI di Jakarta.

Ketika menjadi mahasiswa pernah menjuarai lomba deklamasi se-Daerah Istimewa Yogyakarta, menjadi sutradara dan bermain drama dalam grup Teater Gadjah Mada. Ia menulis puisi, esai, cerita pendek, dan artikel. Tulisannya itu dimuat di majalah dan surat kabar Pelopor Yogya, Basis, Horison, Budaya Jaya, Prisma dan Tempo.

Ketegasan dalam setiap kali bertutur dan pilihan katanya yang asli diakuinya sebagai buah dari kecintaannya kepada Republik. Ia mengakui rumah dan buku ikut membentuk kepribadiannya. Rumah telah membentuk karakternya seperti sekarang. Sementara buku membukanya pada keluasan cakrawala. Keduanya berjalan beriringan.

Sebagai peneliti, doktor bidang ilmu politik dari Universitas Hawaii, Amerika Serikat, ini banyak menulis berbagai artikel, khususnya di harian Kompas yang dengan kontribusi pemikiran dalam wacana publik dan dedikasi yang konsisten sebagai cendekiawan di Indonesia. Kompas pun memberikan penghargaan ”Cendekiawan Berdedikasi” kepada Mochtar.

Halaman:

Editor: Nurfathana S


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah

x