Rekomendasi wisata akhir tahun 2022 di Bulukumba selain Bira!

- 17 Desember 2022, 15:02 WIB
Meriam Portugis dan ranjau laut Rusia di Pantai Lemo Lemo, Kecamatan Bontobahari, Kabupaten Bulukumba.
Meriam Portugis dan ranjau laut Rusia di Pantai Lemo Lemo, Kecamatan Bontobahari, Kabupaten Bulukumba. /WartaBulukumba.com

WartaBulukumba - Sebuah meriam peninggalan Portugis dan sebuah ranjau laut buatan Rusia terpancang di sana, di sebuah halaman rumah milik warga di Pantai Lemo Lemo, Bulukumba.

Pantai Lemo Lemo di Kabupaten Bulukumba, Sulawesi Selatan adalah salah satu rekomendasi wisata akhir tahun 2022 buat Anda dan keluarga.

Sekilas, meriam dan ranjau laut itu tampak sangar. Dua benda masa silam yang datang melintasi zaman, meriam Portugis dan ranjau laut buatan Rusia.

Magnet tersendiri bagi para pengunjung Pantai Lemo Lemo ini dipasang di halaman rumah seorang warga bernama Karaeng Te’ne inilah. Sengaja dipajang secara permanen dengan cara mengecornya di atas sebuah tatakan kotak persegi panjang.

Baca Juga: Telusur Cahaya Islam sejak abad 17 dari masjid tertua di Bulukumba, Masjid Nurul Hilal Dato ri Tiro

Pada tahun 2016 silam, saat berkunjung ke Pantai Lemo Lemo, WartaBulukumba.com pernah sempat berbicang dengan Karaeng Te’ne. 

Karaeng Te’ne adalah saudara sepupu dari Karaeng Radjamuda, seorang ambtenaar dan pejabat distrik setempat pada masa kolonial Belanda.

Perempuan kelahiran tahun 1943 ini menuturkan bahwa ada tiga meriam yang dulunya masing-masing berada di kawasan Butung Keke, Panorakkang dan Pintuang. Ketiga tempat itu berdasarkan pembagian wilayah Lemo Lemo pada masa lalu.

Baca Juga: 11 destinasi wisata terpopuler dan keren di Bulukumba: Kahayya hingga Liangnga

Bersama Karaeng Te'ne, warga yang di halaman rumahnya dipajang meriam Portugis dan ranjau laut Rusia. Foto diambil pada tahun 2016.
Bersama Karaeng Te'ne, warga yang di halaman rumahnya dipajang meriam Portugis dan ranjau laut Rusia. Foto diambil pada tahun 2016. WartaBulukumba.com

Di Butung Keke yang terletak di wilayah pantai  itulah terdapat meriam peninggalan Portugis yang moncongnya  menghadap ke laut. Berdasarkan kesepakatan masyarakat dan pemerintah setempat pada tahun 1980-an meriam tersebut dipindahkan ke halaman rumah Karaeng Te’ne.

Hal ini dilakukan sebagai salah satu upaya pelestarian benda bersejarah tersebut. Sedangkan dua meriam lainnya yang berada di Panorakkkang dan Pintuang kini diamankan di rumah warga di Tanah Beru.

Penuturan Karaeng Te’ne, berdasarkan cerita leluhurnya yang dituturkan secara turun temurun ke setiap generasi, meriam-meriam itu dulunya digunakan oleh Portugis untuk membendung serangan dari sebuah suku kanibal yang kerap datang menyerang dari Pulau Seram, Maluku. 

Baca Juga: 7 destinasi wisata di Bulukumba yang direkomendasikan oleh Kemenparekraf

Suku kanibal itu sering datang dengan menggunakan puluhan perahu. Sebelum datangnya Portugis, suku kanibal itu sering meneror penduduk setempat. Mereka menangkapi manusia yang ditemuinya untuk dimakan.

Semenjak kedatangan Portugis, suku kanibal itu tidak lagi bisa mencapai pantai. Setiap kali perahu-perahu mereka muncul maka mereka langsung ditembaki oleh meriam-meriam Portugis yang selalu siaga di tepi pantai.

Bila merujuk pada sejarah kedatangan Portugis ke Nusantara maka bisa dipastikan usia meriam-meriam itu sudah mencapai  500 tahun lebih. Dalam catatan sejarah, Portugis merupakan bangsa Eropa pertama yang mencapai Kepulauan Nusantara.

Baca Juga: 10 destinasi wisata di Bulukumba terpopuler 2021

Dan bangsa Eropa pertama yang tiba di daratan Sulawesi adalah Portugis. Pencarian mereka untuk mendominasi sumber perdagangan rempah-rempah yang menguntungkan pada awal abad ke-16 dan usaha penyebaran Katolik Roma mereka.

Keahlian bangsa Portugis dalam navigasi, pembuatan kapal dan persenjataan memungkinkan mereka berani mengadakan ekspedisi penjelajahan dan ekspansi.

Bermula dengan ekspedisi penjelajahan pertama yang dikirim ke Malaka yang mereka taklukkan pada tahun 1512. Melalui penaklukan militer dan persekutuan dengan penguasa setempat, mereka mendirikan pos, benteng, dan misi perdagangan di Indonesia Timur, termasuk Pulau Ternate, Ambon, dan Solor.

Baca Juga: Selain Bira, Pantai Marumasa di Desa Darubiah ini pun serpihan surga

Yang menyisakan misteri justru adalah ranjau laut itu! Bentuknya sangat mirip dengan ranjau laut buatan Rusia tahun 1927 yang lazim digunakan pada Perang Dunia II.

Informasi dari penduduk setempat, ranjau laut itu telah ada sejak dulu dan tergeletak begitu saja di pantai.

Ada beberapa versi. Terbetik dugaan bahwa ranjau laut  tersebut benar buatan Rusia. Ada yang menganalisa bahwa itu ranjau laut peninggalan Tentara sekutu. Ada pula yang mengatakan bahwa itu ranjau laut peninggalan Jepang. 

Pantai Lemo Lemo adalah sebuah pantai  molek yang berpasir putih. Letaknya tujuh kilometer dari Tanah Beru, Kecamatan Bontobahari, Kabupaten Bulukumba, Sulawesi Selatan. Hamparan pasir putih membentang luas dan panjang.

Baca Juga: Selain Bira, air terjun Liangnga di Desa Salassae adalah juga serpihan yang jatuh dari surga

Beberapa gugusan batu karang menyembul ke permukaan air. Masih begitu alami. Selain itu terdapat sebuah fenomena alam yang unik berupa tanah berwarna merah melingkar yang berdiameter beberapa puluh sentimeter.

Selebihnya tanah berwarna hitam. Apabila tanah merah ini digali, tanah akan tetap berwana merah.

Sangat berbeda dengan Pantai  Pasir Putih Tanjung Bira yang panas dan tanpa pepohonan, Pantai Lemo-Lemo justru sangat sejuk.

Baca Juga: Selain Bira, inilah tempat tercantik di Bulukumba: Bulupadido

Meski terik matahari menyengat namun suasana pantai ini disejukkan oleh rimbunan hutan dengan tumbuhan heterogen yang berada di sekitarnya.

Fenomena alam lainnya  yang juga sangat menarik adalah sebuah mata air tawar yang terletak di tepi pantai. Kemudian hanya beberapa puluh meter saja dari tepi pantai terdapat sebuah gua yang di dalamnya mengalir mata air tawar dan jernih.

Mata air inilah yang dimanfaatkan masyarakat sekitar  untuk mandi maupun memasak. 

Berjarak beberapa meter saja dari gua tersebut terdapat  sisa-sisa benteng istana. Demikian pula di dekat pantai terdapat sisa-sisa Benteng Karampuang. Menurut penuturan masyarakat  salah satu dari dua benteng pertahanan Lemo-Lemo ini dulunya digunakan sebagai pertahanan dari serangan Belanda.

Baca Juga: Dego-Dego Na Bira, lokasi camping para pemburu sunrise

Menurut cerita secara turun temurun, Kerajaan Lemo-Lemo adalah saudara dari Kerajaan Gowa. Kalau diliat dari Silsilah Raja Lemo-Lemo ke IX yaitu Karaeng Tanriliwang Daeng Palallo adalah anak dari Mabbitara Daeng Palallo atau Somba Ri Gowa.

Versi lain soal ini pernah disibak oleh Ismi Yuliati, S.S seorang alumnus sejarah Universitas Gadjah Mada.

Dia menguraikan dalam sebuah artikelnya pada tahun 2013, Lemo-Lemo adalah kerajaan yang berada di bawah taklukan Kerajaan Gowa. Ketika Kerajaan Gowa berperang melawan Belanda, maka wilayah Kerajaan Lemo-Lemo juga menjadi salah satu basis perlawanan dan pertahanan.

Lemo-Lemo adalah pusat Kerajaan Lemo-Lemo. Sebagai sebuah daerah taklukan, Lemo-lemo berkewajiban untuk menyediakan armada bagi Kerajaan Gowa.

Baca Juga: Lebih dari destinasi wisata, Mangrove Luppung Manyampa bisa menjadi pusat riset lingkungan

Terlepas dari kedua versi tersebut soal status Kerajaan Lemo-Lemo di masa silam yang jelas Lemo Lemo adalah mata rantai yang tidak dapat dipisahkan dalam sejarah kejayaan maritim di Nusantara beberapa abad silam.

Lantaran masyarakat Lemo-Lemo mewarisi keahlian membuat perahu. Hingga kini keahlian membuat perahu masih dapat dijumpai di Lemo-Lemo. Meski intensitasnya tidak seperti halnya di Tanah Beru.

Beberapa makam para raja Lemo-Lemo menjadi bukti bahwa di tempai ini dulunya pernah berdiri sebuah kerajaan yang memegang peranan penting dalam sejarah kemaritiman Nusantara.

Makam para pembesar Kerajaan Lemo-Lemo yang terdapat di antara semak-semak hutan di tepian Pantai Lemo-Lemo juga merupakan aset budaya sekaligus wisata sejarah.***

Editor: Sri Ulfanita


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah

x