Innalillah, teaterawan senior asal Bulukumba Fahmi Syariff tutup usia

15 November 2022, 17:05 WIB
Fahmi Syariff /Dok. Fahmi Syariff

WartaBulukumba - Manusia Bulukumba pertama yang menulis novel itu telah tiada.

Kabar duka itu tetiba menyampir di linimasa berbagai platform media sosial terutama di ruang-ruang kumpul netizen Bulukumba pada hari ini. Fahmi Syariff tutup usia.

Budayawan, seniman dan akademisi asal Bulukumba Sulawesi Selatan ini mengembuskan nafas terkahir pada Selasa siang tadi pukul 14.00 WITA di Makassar.

Baca Juga: Innalillah, penulis dan budayawan Bulukumba Muhammad Arief Saenong tutup usia

Mengenang Fahmi Syariff

Novelnya “Bulukumba Membara” diterbitkan pada lebih dua dasawarsa silam. Dalam sejarahnya, itulah sebuah novel pertama yang ditulis oleh manusia Bulukumba.

Ia pernah  diganjar penghargaan “Celebes Award” untuk dedikasinya terhadap teater. Dari dunia teater ia senantiasa 'sangar.'

Fahmi Syariff adalah teaterawan dan pensiunan dosen di Fakultas Sastra (kini di FIB) Universitas Hasanuddin. Ia meletakkan learning by doing tentang drama dan teater sebagai prinsip kreatif sejak setengah abad lalu.

Baca Juga: Obituari Andi Sukri Sappewali, Andi Soraya Widiyasari ungkap sederet fakta menarik sosok 'Puang Ompo'

Ia telah menulis kurang lebih 20 karya sastra drama, 12 di antaranya sudah diterbitkan dalam 4 buku.

Sorot matanya tajam namun di balik itu terdapat keramahan yang meruah. Suaranya tegas, kadang meledak-ledak. Seperti itu pula jiwanya dalam berkesenian.

Ia pernah  diganjar Celebes Award untuk dedikasinya terhadap teater.

Dinukil dari buku "Inspiring Bulukumba" yang ditulis Alfian Nawawi, penerbit Mafazamedia, tahun 2014, dalam sebuah materi kuliah yang belum tuntas, ia memutuskan untuk mengimbau para mahasiswanya agar datang menonton sebuah pagelaran teater yang saat itu akan disiarkan oleh TVRI Makassar.

Baca Juga: Ikuti Sumpah Pemuda, diam-diam Andi Sultan Daeng Radja berangkat dari Bulukumba ke Batavia

Hal itu untuk membuktikan ucapannya di kelas saat itu, ”Jika Iwan Fals sore ini datang di Karebosi, saya yakin kalian semua akan berbondong-bondong kesana tanpa disuruh. Tapi jika saya menyuruh kalian untuk datang menonton teater, saya tidak yakin separuh kelas akan hadir.”

Dan benar saja, tidak lebih dari separuh kelas yang datang.

Fahmi mengaku bahwa ia main teater pada awalnya karena “dendam”. Tahun 1964 kakak kelasnya di SMA Negeri 198 Bulukumba akan menyelenggarakan acara perpisahan. Salah satu acaranya adalah pementasan drama di bawah bimbingan Pak Emil Agus Kalalo, guru Civicsnya,yang sering menulis naskah dan sutradara di sekolahnya.

Baca Juga: Semasa kecilnya di Kajang Bulukumba Imam Besar Masjid Al Hikmah New York 'hobi berkelahi'

Fahmi yang saat itu masih remaja selalu berdiri di pintu kelas tempat berlatih saban latihan sore hari.

Bukan untuk menonton, melainkan menampakkan diri agar diajak juga main. Tapi sampai latihan terakhir, bahkan sampai pementasan selesai, dia tak pernah ditegur.  

Dalam dirinya tumbuh “dendam”. Dia lalu menulis naskah sendiri, memanggil dan berlatih dengan teman-temannya yang juga mau tapi tidak pernah diajak oleh guru.

Baca Juga: Mochtar Pabottingi, cendekiawan nasional dari Bulukumba dalam sastra dan politik yang holistik

Mereka latihan di berbagai tempat selama sebulan lebih tiap sore, dan akhirnya main di Gedung Wanita Bulukumba.

Prinsipnya: bagus atau tidak, hak penonton. Judulnya Dendam dan Korban, kisah cinta segi tiga yang penuh simbahan  darah. Belakangan disadarinya, drama tersebut dipengaruhi oleh drama Ayahku Pulang karya Usmar Ismail yang pernah dia tonton  sebelumnya.

Fahmi yang sudah jatuh cinta kepada teater akhirnya memutuskan masuk ISBM (Ikatan Seniman Budayawan Muhammadiyah) Bulukumba. Bermain sebagai Aswad (tokoh pembantu) dalam drama Timadhar karya Mayor (TNI) Yunan Helmy Nasution.

Baca Juga: Prof Dr Mattulada cendekiawan dan tokoh sastra nasional dari Bulukumba dengan karya-karya yang mendunia

Dalam acara perpisahan saat tamat SMA tahun 1966, main sebagai Amir (tokoh utama) dalam drama Mereka Mulai Menyerang karya Rahman Arge. Sutradaranya, Andi Syafruddin Gani dan M. Arman Yunus, selesai pementasan ketika itu berkata: “Kamu punya bakat main drama.”

Setelah di Makassar diajak main oleh Saleh Mallombasi dalam drama Montserrat  (Emmanuel Robles) produksi Teater Makassar, pimpinan produksi Arsal Alhabsi, sutradara Rahman Arge. Latihannya 5 bulan termasuk training centre 1 bulan; general rehearsal 5 Agustus 1970, main 7 sampai 12 Agustus 1970 di Gedung Dewan Kesenian Makassar Jl. Irian 69.

Setelah pementasan, Fahmi mendapatkan honorarium Rp 8.000,-. Fahmi menceritakan sambil tertawa, saat itu ia langsung membeli celana saddle king (ketat, warna merah tua).

Baca Juga: Siapakah pencipta logo Kabupaten Bulukumba?

Penyerahan honorarium dilakukan di Kebun Binatang. Dalam produksi ini, semua pemain laki-laki mendapatkan Surat Izin Gondrong dari Kapolda Sulselra.

Fahmi banyak menulis naskah drama, di antaranya Dendam dan Korban (1964), Baja Putih (1972), Datu Museng & Maipa Deapati (1975), Karaeng Bontoala’ (1976), Kerikil-Kerikil (1977), Arung Palakka (1988), Nuansa-Nuansa Almamater (1991), Karaeng Pattingalloang (1992), Para Karaeng (1994), dan Manusia-Manusia Perbatasan (1995). Tiga di antaranya (Karaeng Pattingalloang, Arung Palakka,  Para Karaeng) diterbitkan oleh Hasanuddin University Press (2005) dengan judul Trilogi Drama Teropong dan Meriam atas bantuan Rektor Unhas Prof. Dr. Ir. Radi A. Gany.

Teater tidak dapat dipisahkan dari Fahmi. Tercatat ia mendirikan beberapa grup teater: Latamaosandi bersama Jacob Marala, Ichsan Amar, Husni Husen Nud, Philips Tangdilintin (1968), Yuvana Santika bersama Manan Ibrahim (1969), Poseidon Arts Group bersama Sandy Karim (alm.) dan Amir Sinrang (1975), Pola Artistik bersama pemuda Gantarang (1977), Kosaster bersama Shaifuddin Bahrum (1985), Teater Titik-Titik bersama A. Ansar Agus dan Salahuddin Alam (1995).

Baca Juga: Bertandang ke rumah filosofi Ammatoa Kajang di Bulukumba

Dalam dua kali festival teater se-Sulawesi Selatan, terpilih sebagai Aktor Terbaik (1971) dan Aktor Pembantu Terbaik (1977). Kritiknya Sinetron IS: Obsesi dalam Bahasa Gambar yang Naratif terpilih sebagai Pemenang II Sayembara Kritik Sinetron TVRI (1991).

Fahmi diganjar Hadiah Seni dari Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (1993), Anugerah Seni dari DKSS (1999), dan Celebes Award dari Gubernur Sulsel (2002). Ketiganya dalam bidang penulisan, pemeranan, dan penyutradaraan teater.

Putra dari Drs. Syariff Saleh dan Hamidah Daeng Puji ini dilahirkan 23 Mei 1947 di Bulukumba, Sulawesi Selatan. Menyelesaikan SR dan Ibtidaiyah (1959), SMP (1963), SMA (1966 di Bulukumba. Menyelesaikan School of Acting DKM (1972), Sarjana Muda Sastra Barat Unhas (1970), Sarjana lengkap Sastra Indonesia Unhas (1994), dan Pascasarjana Unhas (2001) Di Makassar. Menjabat Ketua I Kompartemen Pendidikan dan Pelatihan Dewan Kesenian Makasar, dosen di Fakultas Ilmu Budaya Unhas sejak 1985 dan Fakultas  Ilmu Komunikasi Universitas Fajar sejak tahun 2004.

Rambutnya yang memutih dan memanjang ternyata tidak pernah menghalangi semangatnya dalam berkesenian. Ia tetap konsisten bermain teater sampai tua.***

Editor: Sri Ulfanita

Tags

Terkini

Terpopuler