Menemu kenali salah satu tabiat siluman parakang melalui cerbung sastrawan Bulukumba, Mahrus Andis

- 25 Desember 2022, 19:54 WIB
Ilustrasi  - Siluman jenis parakang bisa mengubah wujudnya menjadi hewan, salah satunya anjing hitam.
Ilustrasi - Siluman jenis parakang bisa mengubah wujudnya menjadi hewan, salah satunya anjing hitam. /Pixabay / RandyRMM.

Aku terbakar. Wajah manis yang tergolek di atas pematang itu menyulut api pemberontakanku. Sementara, di atas hamparan padi yang mulai menguning, ribuan burung pipit mencericit. Riuh sekali.

"Jangan, Sapirah ! Di sini banyak orang yang lewat. Bangun, ... !" Seruku kian gagap seraya menoleh kiri dan kanan.

Sapirah, gadis cantik berkulit putih kelahiran Bontokapese, 30 tahun yang lalu. Ayahnya Bugis asli dan menikahi perempuan Bontorampo ketika ia bekerja sebagai Mandor pelabuhan di sana. Ibu Sapirah telah meninggal dua tahun lalu. Ayahnya beristri lagi dan saat ini bersama istrinya tinggal di Bontokandatto. Minggu lalu, oleh ayahnya, Sapirah dititip di rumah neneknya, tetangga denganku di kampung Bontojabe. Sejak itulah aku sering bertemu dengannya.

Entah mengapa, aku di hati perempuan itu seakan menjadi lipatan kecil yang sangat bernilai. Sehari saja tidak melihatku, ia pasti gelisah dan tidak segan-segan mencari aku sampai ke ceruk-ceruk gua. Yang membuat aku tak paham, baru empat hari kedatangannya di Bontojabe, Sapirah sudah berani mengajak aku berduaan. Bahkan, lebih dari itu: bertigaan dengan syaitan. Aku beralasan takut pada Tuhan, tapi dia bilang itu urusan taubat. Aku bilang sibuk dan selalu merasa lelah jika pulang dari sawah, dia bilang, justru itu akan cepat pulih jika disentuh jari yang gemulai.

Kemarin, menjelang Magrib, aku bertemu Sapirah di sumur umum, di belakang rumah, dekat kandang sapi ambo'ku. Dia tidak sedang mandi ataupun berwudu. Ia Duduk saja mencangkung menghadap comberan.

"Sedang apa, Pirah ?" sapa aku. Sapirah menoleh, tersenyum kemudian berdiri dan mendekati aku.

"Lari ! Ayo, cepat lari !" Teriakku pada Sapirah.

Seperti anak panah melesat, aku meraih tangan Sapirah dan cepat berlari di sela-sela pohon kelapa. Seekor babi hutan mendengus di balik semak, membuatku terkejut.

"Terima kasih, DaEng", katanya setelah sampai di tangga rumahnya.

Sejak itulah, perhatian Sapirah mulai tumbuh menjadi cinta mahaberat. Itu aku tahu, ketika sehari sesudah kejadian di sumur, neneknya mengatakan padaku: "Sapirah demam tinggi. Ia mengigau memanggil namamu".

Halaman:

Editor: Alfian Nawawi


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah

x