WartaBulukumba - Langit duka di Bulukumba meneteskan hujan, mengiringi jenazah budayawan, seniman dan teaterawan Bulukumba ke tempat peristirahatannya yang terakhir.
Akademisi Unhas Fahmi Syariff meninggalkan sederet kenangan yang sangat sulit dilupakan para sahabatnya, murid-muridnya dan sesiapa pun yang pernah mengakrabi buah pikiran dan karya-karyanya.
Sebuah puisi yang menggetarkan ditulis oleh budayawan dan sastrawan Bulukumba Mahrus Andis menjelang pemakaman Fahmi Syariff pada Rabu siang, 16 November 2022 di Ponre, Kecamatan Gantarang Bulukumba.
SETANGKAI MAWAR- DI BUMI GRANIT
(Kado kecil di usia 75 tahun teaterawan Fahmi Syariff)
Kutahu
matahari langitmu
tak seramah purnama menciumi punggung bukit
Saat itu,1947
Gema kemerdekaan
terasa beku menggelantung di ubun-ubun waktu
Hutan berlumut
meredam pekik riang burung-burung enggang
Seluruh alam berkabut:
"di kelopak ngeri
leher siapa lagi
bakal terlempar
ke rimbun belukar ?"
Hari itu, 23 Mei
Di puncak gigil perempuan
Engkau menggeliat
dalam kepompong arwah
Seketika,
syahadat meretas
ke rahim jagat
Maka,
laut dan segenap musim
telah mengasah belati uratnadimu
Tajam
berkilau menghadang gelombang
Hamparan angan-angan bagai seribu kupu-kupu
Kelepaknya lincah menjelajah
di antara pohon kehidupan dan ranting-ranting nasib
Inilah kodrat, katamu:
Sebuah taman yang gembur
Tempat menabur
imaji yang luhur
Pada siluet siangmalam
Terpahat gelisah rindumu
Hitamputih
Bernisan teater !
Tujuhpuluh lima kalender berlalu
Detak usia
adalah saksi sejarah
Semangkuk evolusi
engkau hirup kuah peradaban
Gemulai
sayap kupu-kupu
engkau racik sukma kondobuleng- 1)
Sengat lebah berbisa
engkau rakit aura para karaeng-2)
Dengan teropong dan meriam-3)
masadepan di kelopak mimpi-mimpi merekah
Engkau petik
buat senyum manis
istri dan anak-anakmu
Hari ini
Duapuluhtiga mei
tahun duapuluhdua
Perahumu terus melaju
Di tepi cakrawala
dermaga menganga
Seteguh janji Datu Museng dan Maipa Deapati-4)
sunyimu merangkak
ke dinding takdir
Terbaca sudah, wahai musafir:
Inilah
senandika:-5)
Pelayaran
hikmah
kerikil-kerikil
empatlima-6)
Karyamu
telaga
bagi setiap dahaga
Imajimu
ialah zikir
bagi siapa yang
berpikir
Dan engkau ?
Nyalimu tegar
bagai karakter
jenderal terakhir-7):
Setangkai mawar
di bumi granit-8).
-Blk, 23 Mei 2022-
Catatatan:
1) Teater tradisional berlatar cerita rakyat Sulawesi Selatan,
2)-3)-4)-6)-7) ; Judul naskah teater karya Fahmi Syariff,
5)-8) : Judul buku esai karya Fahmi Syariff.
Fahmi Syariff mengembuskan nafas terkahir pada Selasa siang pukul 14.00 WITA di Makassar.
Baca Juga: Innalillah, penulis dan budayawan Bulukumba Muhammad Arief Saenong tutup usia
Novelnya “Bulukumba Membara” diterbitkan pada lebih dua dasawarsa silam. Dalam sejarahnya, itulah sebuah novel pertama yang ditulis oleh manusia Bulukumba.
Ia pernah diganjar penghargaan “Celebes Award” untuk dedikasinya terhadap teater. Dari dunia teater ia senantiasa 'sangar.'
Fahmi Syariff adalah teaterawan dan pensiunan dosen di Fakultas Sastra (kini di FIB) Universitas Hasanuddin. Ia meletakkan learning by doing tentang drama dan teater sebagai prinsip kreatif sejak setengah abad lalu.
Ia telah menulis kurang lebih 20 karya sastra drama, 12 di antaranya sudah diterbitkan dalam 4 buku.
Sorot matanya tajam namun di balik itu terdapat keramahan yang meruah. Suaranya tegas, kadang meledak-ledak. Seperti itu pula jiwanya dalam berkesenian.
Ia pernah diganjar Celebes Award untuk dedikasinya terhadap teater.
Dinukil dari buku "Inspiring Bulukumba" yang ditulis Alfian Nawawi, penerbit Mafazamedia, tahun 2014, dalam sebuah materi kuliah yang belum tuntas, ia memutuskan untuk mengimbau para mahasiswanya agar datang menonton sebuah pagelaran teater yang saat itu akan disiarkan oleh TVRI Makassar.
Baca Juga: Ikuti Sumpah Pemuda, diam-diam Andi Sultan Daeng Radja berangkat dari Bulukumba ke Batavia
Hal itu untuk membuktikan ucapannya di kelas saat itu, ”Jika Iwan Fals sore ini datang di Karebosi, saya yakin kalian semua akan berbondong-bondong kesana tanpa disuruh. Tapi jika saya menyuruh kalian untuk datang menonton teater, saya tidak yakin separuh kelas akan hadir.”
Dan benar saja, tidak lebih dari separuh kelas yang datang.
Fahmi mengaku bahwa ia main teater pada awalnya karena “dendam”. Tahun 1964 kakak kelasnya di SMA Negeri 198 Bulukumba akan menyelenggarakan acara perpisahan. Salah satu acaranya adalah pementasan drama di bawah bimbingan Pak Emil Agus Kalalo, guru Civicsnya,yang sering menulis naskah dan sutradara di sekolahnya.
Baca Juga: Semasa kecilnya di Kajang Bulukumba Imam Besar Masjid Al Hikmah New York 'hobi berkelahi'
Fahmi yang saat itu masih remaja selalu berdiri di pintu kelas tempat berlatih saban latihan sore hari.
Bukan untuk menonton, melainkan menampakkan diri agar diajak juga main. Tapi sampai latihan terakhir, bahkan sampai pementasan selesai, dia tak pernah ditegur.
Dalam dirinya tumbuh “dendam”. Dia lalu menulis naskah sendiri, memanggil dan berlatih dengan teman-temannya yang juga mau tapi tidak pernah diajak oleh guru.
Baca Juga: Mochtar Pabottingi, cendekiawan nasional dari Bulukumba dalam sastra dan politik yang holistik
Mereka latihan di berbagai tempat selama sebulan lebih tiap sore, dan akhirnya main di Gedung Wanita Bulukumba.
Prinsipnya: bagus atau tidak, hak penonton. Judulnya Dendam dan Korban, kisah cinta segi tiga yang penuh simbahan darah. Belakangan disadarinya, drama tersebut dipengaruhi oleh drama Ayahku Pulang karya Usmar Ismail yang pernah dia tonton sebelumnya.
Fahmi yang sudah jatuh cinta kepada teater akhirnya memutuskan masuk ISBM (Ikatan Seniman Budayawan Muhammadiyah) Bulukumba. Bermain sebagai Aswad (tokoh pembantu) dalam drama Timadhar karya Mayor (TNI) Yunan Helmy Nasution.
Dalam acara perpisahan saat tamat SMA tahun 1966, main sebagai Amir (tokoh utama) dalam drama Mereka Mulai Menyerang karya Rahman Arge.
Sutradaranya, Andi Syafruddin Gani dan M. Arman Yunus, selesai pementasan ketika itu berkata: “Kamu punya bakat main drama.”
Setelah di Makassar diajak main oleh Saleh Mallombasi dalam drama Montserrat (Emmanuel Robles) produksi Teater Makassar, pimpinan produksi Arsal Alhabsi, sutradara Rahman Arge.
Baca Juga: Siapakah pencipta logo Kabupaten Bulukumba?
Latihannya 5 bulan termasuk training centre 1 bulan; general rehearsal 5 Agustus 1970, main 7 sampai 12 Agustus 1970 di Gedung Dewan Kesenian Makassar Jl. Irian 69.
Setelah pementasan, Fahmi mendapatkan honorarium Rp 8.000,-. Fahmi menceritakan sambil tertawa, saat itu ia langsung membeli celana saddle king (ketat, warna merah tua).
Penyerahan honorarium dilakukan di Kebun Binatang. Dalam produksi ini, semua pemain laki-laki mendapatkan Surat Izin Gondrong dari Kapolda Sulselra.
Baca Juga: Bertandang ke rumah filosofi Ammatoa Kajang di Bulukumba
Fahmi banyak menulis naskah drama, di antaranya Dendam dan Korban (1964), Baja Putih (1972), Datu Museng & Maipa Deapati (1975), Karaeng Bontoala’ (1976), Kerikil-Kerikil (1977), Arung Palakka (1988), Nuansa-Nuansa Almamater (1991), Karaeng Pattingalloang (1992), Para Karaeng (1994), dan Manusia-Manusia Perbatasan (1995). Tiga di antaranya (Karaeng Pattingalloang, Arung Palakka, Para Karaeng) diterbitkan oleh Hasanuddin University Press (2005) dengan judul Trilogi Drama Teropong dan Meriam atas bantuan Rektor Unhas Prof. Dr. Ir. Radi A. Gany.
Teater tidak dapat dipisahkan dari Fahmi. Tercatat ia mendirikan beberapa grup teater: Latamaosandi bersama Jacob Marala, Ichsan Amar, Husni Husen Nud, Philips Tangdilintin (1968), Yuvana Santika bersama Manan Ibrahim (1969), Poseidon Arts Group bersama Sandy Karim (alm.) dan Amir Sinrang (1975), Pola Artistik bersama pemuda Gantarang (1977), Kosaster bersama Shaifuddin Bahrum (1985), Teater Titik-Titik bersama A. Ansar Agus dan Salahuddin Alam (1995).
Dalam dua kali festival teater se-Sulawesi Selatan, terpilih sebagai Aktor Terbaik (1971) dan Aktor Pembantu Terbaik (1977). Kritiknya Sinetron IS: Obsesi dalam Bahasa Gambar yang Naratif terpilih sebagai Pemenang II Sayembara Kritik Sinetron TVRI (1991).
Fahmi diganjar Hadiah Seni dari Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (1993), Anugerah Seni dari DKSS (1999), dan Celebes Award dari Gubernur Sulsel (2002). Ketiganya dalam bidang penulisan, pemeranan, dan penyutradaraan teater.
Putra dari Drs. Syariff Saleh dan Hamidah Daeng Puji ini dilahirkan 23 Mei 1947 di Bulukumba, Sulawesi Selatan. Menyelesaikan SR dan Ibtidaiyah (1959), SMP (1963), SMA (1966 di Bulukumba. Menyelesaikan School of Acting DKM (1972), Sarjana Muda Sastra Barat Unhas (1970), Sarjana lengkap Sastra Indonesia Unhas (1994), dan Pascasarjana Unhas (2001) Di Makassar.
Menjabat Ketua I Kompartemen Pendidikan dan Pelatihan Dewan Kesenian Makasar, dosen di Fakultas Ilmu Budaya Unhas sejak 1985 dan Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Fajar sejak tahun 2004.
Rambutnya yang memutih dan memanjang ternyata tidak pernah menghalangi semangatnya dalam berkesenian. Ia tetap konsisten bermain teater hinga usia senja.***