Mengenal lebih dalam Dharsyaf Pabottingi, sosok seniman komplit dari Bulukumba

29 Desember 2022, 15:48 WIB
Dharsyaf Pabottingi, sosok seniman komplit dari Bulukumba /Tangkapan layar YouTube.com/@TeaterKampong

WartaBulukumba - Teater Kampong di Bulukumba kini sudah memijak usia ke 43 tahun.

Itu sebuah perjalanan yang tidak pendek. Eksistensi Teater kampong membawa Kabupaten Bulukumba di Sulawesi Selatan menjadi salah satu tonggak penting di pelataran dunia teater Tanah Air.

Di sana ada seorang seniman komplit yang orang-orang Bulukumba mengakrabinya dengan panggilan "Cacca". 

Baca Juga: 43 tahun Teater Kampong di Bulukumba membersamai karya-karya monumental dan kini sudah generasi keempat

Ya, "Om Cacca" atau "Kak Cacca". Begitulah panggilan akrab dari orang-orang yang jauh lebih muda usianya dibanding Dharsyaf Pabottingi, pendiri dan frontline Teater Kampong di Bulukumba.

Di jagat teater, Dharsyaf Pabottingi lebih dikenal sebagai dramawan atau teaterawan.

Namun di Bulkumba, dia lebih dikenal sebagai seorang seniman komplit. Sebuah julukan yang dalam sejarah seni di dunia juga disematkan kepada Leonardo Da Vinci.

Baca Juga: Menemu kenali salah satu tabiat siluman parakang melalui cerbung sastrawan Bulukumba, Mahrus Andis

Julukan seniman komplit lantaran suami dari Suhaemina ini juga intens berkarya di luar teater. Selain sebagai penulis naskah drama, produser, sutradara dan sekaligus pemain teater Dharsyaf juga adalah seorang pelukis dan penyair bahkan koreografer.

Dharsyaf Pabottingi berusia 50 tahun pada saat terpilih sebagai penerima Celebes Award dari Gubernur Sulawesi Selatan pada tahun 2004.

Teater kontemporer Indonesia saat ini sedang menghadapi dilema di etalase pasar. 

Baca Juga: Bukan dari Sulawesi apalagi Bulukumba, ini sejarah latto latto atau katto katto

Terjadi distorsi di berbagai sudut. Nilai-nilai kultural dianggap tidak mendatangkan uang. Keadaan ini mungkin akan berlangsung sampai masyarakat jenuh sendiri.

Apalagi kalau orang-orang teaternya semua memilih untuk beradaptasi. Tapi masih ada juga segelintir orang teater yang tidak letih mengabdi. Salah satunya adalah Dharsyaf Pabottingi.

Penghargaan tersebut diberikan karena Dharsyaf Pabottingi sangat produktif dan kreatif menggarap seni pertunjukan khususnya teater untuk dinikmati masyarakat.

Baca Juga: Buku 'Ngopi Rongg' karya mendiang wartawan senior asal Bulukumba Usdar Nawawi adalah juga nisan

“Teater sudah menjadi urat nadi kehidupan saya. Hanya itu yang menjadi modal pengabdian saya kepada bangsa, negara dan agama,” kata dia, sekali waktu.

Gencarnya eksperimen teater Indonesia pada tahun 70-an terhenti. Puncak-puncak prestasi teater di tahun-tahun itu belum terulang lagi.

Itu  bukan semata-mata masalah teater. Tapi dampak perkembangan nilai-nilai di tengah masyarakat yang terlanjur berada di tahap konsumerisme. Mereka telah meletakkan nilai-nilai ekonomi di atas segalanya.

Baca Juga: Puisi ini ditulis Mahrus Andis sebelum pemakaman Fahmi Syariff di Ponre Bulukumba

Namun bagi seorang Dharsyaf, teater adalah salah satu anak zaman dan zaman tidak pernah membunuh anak kandungnya sendiri.

Achmad Dharsyaf Pabottingi lahir 22 Juni 1955 di Kampung Gaddea, Bulukumba.

Ayah Dharsyaf Pabotingi bernama Abdul Rakhman Pabottingi adalah orang Gowa sedangkan Ibunya bernama Sitti Djohariah adalah orang Enrekang.

Baca Juga: Kolaborasi esai penggiat literasi Bulukumba dalam buku 'Sabda Teknologi'

Achmad Dharsyaf Pabottingi merupakan anak ke enam dari sebelas bersaudara. Di antaranya enam orang laki-laki dan lima orang perempuan. Kedua orang tua Achmad Dharsyaf Pabottingi lama menetap di Bulukumba lalu menikah sehingga pengaruh budaya Bugis lebih kental dalam keluarga

Berikut sekilas lintas kehidupan Dharsyaf Pabottingi yang dimuat dalam sebuah dokumen di laman 123.dok.com

Achmad Dharsyaf Pabottingi lahir dari keluarga pegawai, ayah kandungnya Abdul Rakhman Pabottingi adalah juru tulis (tata usaha) di Kantor Jennang Terang-terang.

Baca Juga: Mengulik sederet fakta mencengangkan di balik 4 karya seniman Bulukumba dalam pembukaan Porprov Sulsel

Di kemudian hari setelah Bulukumba resmi menjadi daerah Kabupaten 4 Februari 1960, istilah Jennang diganti menjadi Kecamatan.

Saat itulah ayahnya diangkat sebagai Kepala Desa Terang-terang oleh Camat Ujungbulu Kapten (TNI) Andi Mallanti atas persetujuan Kepala Daerah pertama Kabupaten Bulukumba Andi Patarai.

Pada tahun 1961 dengan usia yang menginjak enam tahun, Achmad Dharsyaf Pabottingi memulai pendidikan formalnya di SD No.2 Terang-terang hingga selesai pada tahun 1967.

Baca Juga: Seniman muda Bulukumba ini satu-satunya pelukis pirografi di Sulawesi Selatan, melukis di kayu dengan api

Semasih kecil Dharsyaf dibesarkan dalam lingkungan budaya pesisir yang akrab dengan tembang Batti’-batti’ dan Rambang-rambang yang dimainkan dengan petikan gambus, gesekan biola dan tetabuhan rebana yang bibawah oleh pelaut Bira dan Tanah Beru.

Masa itu pesisir pantai Kampong Gaddea bersentuhan langsung dengan muara sungai Teko yang cukup luas dan dalam sehingga memungkinkan menjadi pelabuhan bagi perahu-perahu yang pulang dari Jawa dan sekaligus menjadi pelabuhan nelayan setempat. Irama gendang Tunrung Pallopi sangat akrab ditelinga Achmad Dharsyaf Pabottingi saat perahu bertolak, demikian pula saat kembali berlabuh.

Di pesisir itu pula Achmad Dharsyaf Pabottingi menyaksikan orang-orang Tanah Beru membuat berbagai jenis perahu, mulai dari Pinisi, Lambo, Pajala, Sandek. Sampai rangkaian dan saat paling meriah adalah upacara peluncuran perahu dengan semangat gotong royong.

Baca Juga: Puisi 'Kepada Para Pengkotbah' penyair Bulukumba Andhika Mappasomba

Selain budaya pesisir, Achmad Dharsyaf Pabottingi juga akrab dengan budaya pertanian.

Ayahnya yang kepala desa sering mengadakan pesta panen. Di sana berlangsung permainan sepak raga, atraksi pencak baruga dan permainan Mappadekko.

Kebiasaan mappadekko ini tidak hanya dilakukan pada saat pesta panen, tapi dilakukan juga ketika terjadi gerhana bulan (semmei ketengnge) sebab mitos orang tua masih dipercaya bahwa gerhana itu terjadi akibat bulan purnama ditelan oleh ular raksasa dan untuk memaksa ular raksasa itu memuntahkan kembali bulan purnama dalam mulutnya, dilakukanlah mappadekko.

Dentangan alu dilesung dalam suasana sakral itu terdengar sepanjang malam sampai bulan purnama kembali bersinar terang. Ibunya yang suka menembangkan iya’belale, burada dan pantun-pantun Bugis-Makassar sebagai lagu nina bobo (pengantar tidur) membuat Achmad Dharsyaf Pabottingi sangat rindu akan masa kecilnya. 

Dimasa kecil Achmad Dharsyaf Pabottingi juga sudah akrab dengan lingkungan Mesjid. Di depan rumahnya di antara jalanan berdiri sebuah surau berdinding bambu beratap daun nipa di atas tanah milik neneknya. Surau itu kemudian dibangun menjadi musallah berdinding batu bata dan beratap seng atas prakarsa ayahnya. Dikemudian hari musallah itu dirubah menjadi mesjid yang berlantai dua yang diberi nama Mesjid Hayyaalalfalah.

Peletakan batu pertama mesjid tersebut dirangkaikan dengan peringatan Maulid dan digalian fondasi itulah ayah Achmad Dharsyaf Pabottingi menyampaikan pidato yang membangkitkan semangat membangun. Segenap hadirin meneteskan air mata keharuan. Di setiap hari besar islam seperti peringatan Maulid, diadakan Zikir Bunga Pandang (Sikkiri Pandang).

Memori lain Achmad Dharsyaf Pabottingi yang tetap lengket adalah kebiasaan menghabiskan waktu sepulang sekolahnya dengan bermain perang-perangan ditumpukan sekam dan jerami di belakang sebuah pabrik penggilingan padi. senjata yang dibuatnya beragam, mulai dari senjata yang terbuat dari bahan batang pelepah pisang hingga menggunakan senjata yang terbuat dari bambu kecil dengan memakai peluru dari kertas yang direndam kemudian dipadatkan, serta pedang dan sangkur terbuat dari pagar bambu. Setelah puas bermain, untuk menghilangkan rasa gatal akibat tumpukan sekam dan jerami yang berbaur

dengan keringat, Achmad Dharsyaf Pabottingi berpindah ke sebuah sungai yang letak dan jarakya tidak jauh dari pabrik penggilingan padi untuk bermain serta mencelupkan dan membersihkan diri hingga masuk waktu magrib.

Achmad Dharsyaf Pabottingi juga masih mengingat dongeng-dongeng yang diceritakan kakaknya menjelang tidur. Kakaknya yang pendongeng itu Achmad Darfin Pabottingi adalah anak ketiga yang selalu juara deklamasi sejak dibangku SD, SMP sampai SMA.

Dharsyaf Pabottingi juga sering diajari berdeklamasi, namun sayang kakaknya itu meninggal dunia saat duduk dibangku kuliah Akdemik Administrasi Niaga Makassar.

Cerita-cerita film seperti Benhur, Spartacus, Romulus, Helen Of Troya, The Ten Comandment, Yulius Caisar, Cleopatra dan cerita wastern serial Django, Texas Adios, Star Black dan banyak lainnya didengar dan disimak dengan baik dari penuturan kakak sulungnya yang sekolah di SMA 1 Makassar. Kakak sulungnya, Achmad Salatin Pabottingi Penggemar film itu setamat SMP Sawerigading Bulukumba melanjutkan studinya SMA 1 Makassar sebab waktu itu belum ada SMA di Bulukumba.

Pengaruh cerita-certa itu diam-diam diekspresikan Achmad Dharsyaf Pabottingi dengan membuat film layar tancap di pekarangan rumah. Kertas minyak yang berukuran lebar dijadikan layar tancap. Lampu sorotnya terbuat dari lampu minyak yang dimasukkan ke dalam sebuah kotak yang diberi dua lubang.

Dari lubang depan kotak itu memancarkan sinar ke layar tancap dan lubang atas kotak itu untuk mengeluarkan asap dari lampu minyak. Tokoh-tokoh cerita film yang didengarnya itu digambar di atas karton bekas yang dipungut di tong sampah toko cina kemudian digunting lalu dimainkan di layar tancap itu.

Biasanya tokoh Westren sepeti Django, sering juga tokoh pahlawan seperti Pangeran Diponegoro. Adegan perang menggunakan asap rokok yang disemburkan melalui pelepah papaya. Dialog dan ilustrasi musik dimainkan melalui mulut seperti Dalang dalam Pewayangan.

Bukan hanya anak sebaya Achmad Dharsyaf Pabottingi yang nonton tetapi juga orang-orang yang usianya jauh lebih tua yang menjadi penonton dan penggemar pertunjukan Achmad Dharsyaf Pabottingi. Penonton di belakang layar menyaksikan bayangan atau siloluit pertunjukan yang dibuat Achmad Dharsyaf Pabottingi.

Ternyata permainan masa kecil, perang-perangan, perkelahian, bermain pedang-pedangan dan seloluit layar tancap banyak berpengaruh dan menjadi bagian erat pada karya teaternya di kemudian hari.***

 

Editor: Alfian Nawawi

Tags

Terkini

Terpopuler