Innalillah cendekiawan dan sastrawan Bulukumba Mochtar Pabottingi meninggal dunia

4 Juni 2023, 09:13 WIB
Mochtar Pabottingi /Dok. Dandungbondowoso

WartaBulukumba - Bulukumba didera hujan dan hari ini turun bersama duka. Salah satu putra terbaiknya tutup usia. Innalillahi Wa Inna Ilaihi Rojiun. Cendekiawan dan sastrawan Mochtar Pabotinggi meninggal dunia pada Ahad dini hari, 4 Juni 2023.

Mochtar Pabottingi lahir di Bulukumba, 17 Juli 1945, adalah seorang penulis Indonesia terutama puisi. Sejumlah puisinya dipilih Linus Suryadi AG dimuat dalam antologi puisi Tonggak 3 (1987). Namun banyak orang mengenal ia sebagai seorang peneliti daripada penulis puisi. Mochtar adalah seorang Peneliti Utama bidang perkembangan politik nasional di Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI).

Sejak April 2023, pengamat politik nasional asal Bulukumba itu menjalani perawatan di Rumah Sakit EMC, Pulo Mas, Jakarta Timur. Sang istri, Nahdia Julihar, mengatakan Mochtar terkena serangan jantung pada Sabtu pagi, 22 April 2023, atau bertepatan dengan Idul Fitri 1444 H.

Baca Juga: Innalillah, budayawan dan sastrawan Bulukumba Drs Muhannis tutup usia

Nahdia menyatakan bahwa Mochtar langsung mengalami koma saat itu. Pria berusia 77 tahun itu pun harus menjalani operasi pembuatan lubang pada dinding anterior trakea untuk mengatasi sumbatan jalan napas atau traceostomy.

Mochtar Pabottingi menempuh pendidikan di jurusan Sastra Inggris Fakultas Sastra Universitas Gadjah Mada (UGM) dan lulus pada 1973. Dia melanjutkan studi di Universitas Massachusets Amerika Serikat dan lulus M.A pada 1984. Tidak berhenti di situ, Mochtar Pabottingi meneruskan pendidikan ke Universitas Hawaii Amerika Serikat dan mendapat gelar Ph.D pada 1989.

Dalam perjalanan kariernya, Mochtar Pabottingi pernah menjadi redaktur di Harian Mercu Suar dan Harian Kami, Ketua Seni Budaya Muslim Indonesia di Ujungpandang, penggiat Teater Gadjah Mada, redaktur Majalah Titian, hingga menjadi peneliti di LIPI Jakarta.

Baca Juga: Innalillah, penulis dan budayawan Bulukumba Muhammad Arief Saenong tutup usia

Kecintaannya pada buku bermula dari rumah orangtuanya yang terletak tiga kilometer dari kota Bulukumba.

Pabottingi, ayahnya adalah seorang gerilyawan di Bulukumba yang dikenal sangat keras sebagai penentang Belanda.

Sebelum bergerilya masuk hutan, ayahnya membelikan buku pelajaran membaca berjudul “Si Didi dan Si Minah” ketika usianya genap lima tahun. Buku itu dilahap habis.

Sang cendekiawan ini pemilik rambut yang berombak dan memutih. Bahasa lisannya selalu persis sebagaimana bila ia menuangkannya dalam tulisan. Ujarannya tersusun rapi dengan bahasa Indonesia yang begitu prima. Amat jarang di Indonesia kita bisa mendapati orang seperti itu, lisan dan tulisan bagai saudara kembar. Dia seorang analis politik terkemuka Tanah Air.

Baca Juga: Innalillah, teaterawan senior asal Bulukumba Fahmi Syariff tutup usia

Kegemaran membaca, khususnya karya sastra, berlanjut. Mochtar yang ketika remaja tergolong nakal, jatuh hati pada puisi Soekarno berjudul "Berdiri Aku" yang bercerita tentang kecintaan kepada Tanah Air.

Dinukil dari buku "Inspiring Bulukumba" yang ditulis Alfian Nawawi, penerbit Mafazamedia tahun 2014, Mochtar Pabottingi lahir di Barebba, Bulukumba, Sulawesi Selatan, 1945.

Ia adalah seorang peneliti dan penulis Indonesia, terutama puisi. Sejumlah puisinya dipilih Linus Suryadi AG dimuat dalam antologi puisi Tonggak 3 (1987). Kemudian puisinya dari antologi Tonggak 3 tersebut diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris dimuat dalam antologi puisi On Foreign Shores: American Images in Indonesian Poetry (1990).

Ia menjadi redaktur buku berjudul: Islam: Antara Visi, Tradisi dan Hegemoni Bukan Muslim, kumpulan esai yang terbit 1986. Buku antologi puisinya “Dalam Rimba Bayang-Bayang” terbit tahun 2003.

Baca Juga: Insan pers Sulawesi Selatan berduka, wartawan senior asal Bulukumba Usdar Nawawi meninggal dunia

Namun banyak orang mengenal ia sebagai seorang peneliti daripada penulis puisi. Mochtar adalah seorang peneliti di bidang perkembangan politik nasional di Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI)  dengan jabatan Peneliti Utama dengan fokus kajian Pemikiran Politik dan Kelembagaan Politik.

Lewat buku berjudul Burung-Burung Cakrawala (Gramedia, 2013). Buku autobiografi itu ia tulis sendiri—hal yang memang dilakukan orang semampu, sepatut, dan sebentangan-cakrawala berpikir sekaliber lelaki dari Bulukumba ini.

Burung-Burung Cakrawala (BBC) terdiri dari delapan bab. Tebalnya 386 halaman. Setiap babnya bercerita tahapan kehidupan Mochtar Pabottingi. Isinya  tentang masa kecilnya di sebuah rumah panggung di Desa Barebba, nama kampung di Kabupaten Bulukumba, yang terletak di pinggang pegunungan kawasan Lompobattang.

Baca Juga: Mengenal lebih dalam Dharsyaf Pabottingi, sosok seniman komplit dari Bulukumba

Pada bab lain ia bercerita perihal kepindahan keluarganya ke Makassar pada tahun-tahun akhir dasawarsa 1950. Sayup tertangkap dalam bagian ini narasi tentang kepindahan banyak orang ke Makassar dikarenakan dera perang antara TNI dan DI/TII. Sengketa ini pula menjadi salah satu episentrum pendorong gelombang migrasi orang-orang Sulawesi Selatan ke Makassar maupun ke daerah lain.

Dalam bab ini kita bisa meresapi romantisme keadaan Makassar kala belum menjadi kota semacet sekarang. Lebih dari itu, di sepanjang bab ini banyak informasi bagaimana golak dan didih dunia intelektual di Makassar di kurun waktu 1970-an dan gemanya yang menyentuh kita hingga sekarang.

Bab-bab setelahnya menghikayatkan bagaimana ia menjelma sebagai seekor burung membentangkan sayapnya menuju ufuk-ufuk yang sering dibayangkan oleh Mochtar muda tatkala duduk menghabiskan senja di Pantai Losari tahun 1960-an.

Baca Juga: Prof Dr Mattulada cendekiawan dan tokoh sastra nasional dari Bulukumba dengan karya-karya yang mendunia

Cakrawala pertama adalah Yogyakarta. Mochtar menjejaki Yogya berkat beasiswa dari sebuah perusahaan multinasional. Di sana ia melanjutkan jurusan Sastra Inggris di UGM, yang sebelumnya ia sempat tempuh di Unhas, Makassar. Di sini ia berkarib seraya berguru pada sejumlah nama ‘awam’ di jagat kecendikiawanan Indonesia, seperti Umar Kayam, Kuntowijoyo, WS Rendra, dan lain-lain. Bab ini pun dijuduli “Yogyakarta: Merapat ke Orbit Bintang-Bintang”.

Jakarta lalu menjadi cakrawala kedua yang dijelajahi Pak Mochtar. Ia bertemu lagi Rendra karena kerap tampil berteater di TIM (Taman Ismail Marzuki). Pak Mochtar sering mengunjungi Rendra dan Mas Kunto kala di Yogya, sebagaimana juga ia sowan ke rumah Taufik Ismail dan Sapardi Djoko Damono saat bermukim di Jakarta.

Kurun waktu bab ini pada dasawarsa 1970, masa Pak Mochtar meniti karir. Kala itu pula intelektualitas di Yogyakarta dan Jakarta berkembang pesat ditopang fondasi penerbitan yang kokoh. Pak Mochtar paling sering mengunjungi Horison dan Prisma. “Jika Horison menjadi barometer kesusastraan, Prisma menjadi barometer perkembangan ilmu-ilmu sosial di Indonesia.” Masa itu memang zaman ketika Jakarta menjadi pusat kehidupan penulis, seniman, dan intelektual Indonesia. Selain Horison dan Prisma, terbit pula Kompas, Tempo, Budaja Djaja, menjadi semacam komunitas media yang melahirkan kalangan-kalangan tadi.

Ia  juga menuturkan pengembaraannya ke cakrawala Amerika Serikat di bab selanjutnya, negeri yang dijajalnya karena harus melanjutkan studi. Agaknya selama di Amerikalah salah satu bagian hidup Pak Mochtar ditempa. Justru di negara nun jauh ini ia mendapati perbandingan Islam yang diyakininya dengan Islam versi rekannya sesama penuntut ilmu dari negara lain. Islam bagi Pak Mochtar adalah Islam agama damai dan tidak memaksakan keyakinan pada orang lain.

Sampai saat ini, di tengah kesibukannya sebagai Kepala Pusat Penelitian Politik dan Kewilayahan LIPI, kegemaran masa kecilnya membaca karya sastra tetap berlanjut mulai dari angkatan Pujangga Baru sampai Milan Kundera. Intensitas bacaannya pada karya Kundera mengarah pada keterpesonaan. Pesan Kundera yang kental ditangkapnya adalah munculnya kecenderungan masyarakat untuk kembali kepada identitas atau mencari kembali identitasnya yang telah terkubur oleh ambisi materi atau kekuasaan.

Ketertarikan pada karya sastra itulah yang membuat analisis politiknya lebih holistik. Saat masih menjadi mahasiswa Sastra Inggris, Fakultas Sastra Universitas Gajah Mada,  bersama teman-temanya di Yogyakarta dia membentuk kelompok studi politik "Juli 73".

Dia tak pernah bisa meninggalkan puisi, sastra, dan politik. Dia mengakui adanya lingkaran unik keterkaitan sastra dan politik sejak menemukan, menyukai dan hafal puisi Soekarno berjudul "Berdiri Aku".

Tahun 1973 ia menamatkan kuliahnya di jurusan sastra Ingggris Fakultas Sastra Universitas Gadjah Mada. Tahun 1984 lulus M.A. dari Universitas Massachusets, Amerika Serikat, dan tahun 1989 lulus Ph.D. dari Universitas Hawaii, Honolulu, Amerika Serikat. Pendidikan terakhir S3 University of Hawaii, jurusan Ilmu Politik, lulus tahun 1991.

Ia pernah menjadi redaktur Mercu Suar dan Harian Kami (keduanya edisi Sulawesi Selatan), Ketua Seni Budaya Muslim Indonesia di Ujungpandang, penggiat Teater Gadjah Mada, redaktur majalah Titian, dan sekarang sebagai peneliti LIPI di Jakarta.

Ketika menjadi mahasiswa pernah menjuarai lomba deklamasi se-Daerah Istimewa Yogyakarta, menjadi sutradara dan bermain drama dalam grup Teater Gadjah Mada. Ia menulis puisi, esai, cerita pendek, dan artikel. Tulisannya itu dimuat di majalah dan surat kabar Pelopor Yogya, Basis, Horison, Budaya Jaya, Prisma dan Tempo.

Ketegasan dalam setiap kali bertutur dan pilihan katanya yang asli diakuinya sebagai buah dari kecintaannya kepada Republik. Ia mengakui rumah dan buku ikut membentuk kepribadiannya. Rumah telah membentuk karakternya seperti sekarang. Sementara buku membukanya pada keluasan cakrawala. Keduanya berjalan beriringan.

Sebagai peneliti, doktor bidang ilmu politik dari Universitas Hawaii, Amerika Serikat, ini banyak menulis berbagai artikel, khususnya di harian Kompas yang dengan kontribusi pemikiran dalam wacana publik dan dedikasi yang konsisten sebagai cendekiawan di Indonesia. Kompas pun memberikan penghargaan ”Cendekiawan Berdedikasi” kepada Mochtar.

Mochtar sebagai pengamat politik juga termasuk orang yang kritis terhadap berbagai persoalan politik atau kehidupan berbangsa dan bernegara. Konsistensi pemikiran yang kritis terlihat dari tulisan-tulisannya, misalnya ”Monumen Pengkhianatan” dimuat Kompas, 4 September 2010 yang menyorot etika dan integritas para legislator yang semakin terpuruk.

Mochtar juga pernah menulis artikel yang mengkritisi sikap Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Artikel itu kemudian mendapat tanggapan dari Juru Bicara Presiden Julian Aldrin Pasha.

Kutukan terbesar

Mochtar menilai, setelah reformasi 1998, kondisi kehidupan berbangsa dan bernegara memang tidak lebih baik, bahkan sebaliknya, semakin memprihatinkan. Ia menilai kondisi bangsa dan negara saat ini masih memprihatinkan karena terkait dengan sejarah reformasi tahun 1998.

”Bangsa kita ini memasuki suatu periode yang sangat buruk ketika awal reformasi,” kata Mochtar. Mengapa? Karena saat reformasi 1998 tidak terjadi pergantian rezim.

”Orde Reformasi” tetap terisi oleh politisi dan pejabat publik yang berasal dari rezim Orde Baru. Berbeda saat Orde Baru mulai berkuasa tahun 1965, pergantian rezim benar-benar terjadi.

”Saat Orde Baru berkuasa, betul-betul terjadi clean government, clean regime change. Sementara, ini reformasi kita ini no regime change,” kata Mochtar. Akibatnya, tidak ada koreksi dari kesalahan atau pelanggaran besar yang dilakukan pejabat-pejabat pada masa Orde Baru. Tidak ada hukuman terhadap orang-orang yang dinilai bersalah pada masa Orde Baru, seperti terkait pelanggaran hak asasi manusia dan praktik koruptif.

Karena itu, menurut Mochtar, reformasi dimulai dengan impunitas. ”Impunitas ini terus berlanjut. Jadi, celaka atau kutukan terbesar sepanjang reformasi adalah dibalikkannya fungsi hukum. Hukum bukan untuk menegakkan keadilan, tetapi mempertahankan terus ketidakadilan,” katanya.***

Editor: Nurfathana S

Tags

Terkini

Terpopuler