Ammatoa Kajang di Bulukumba sudah mempraktikkan demokrasi Pancasila jauh sebelum NKRI berdiri

- 3 Januari 2023, 14:14 WIB
Wisata Kawasan Adat Ammatoa ramai pengungjung.*
Wisata Kawasan Adat Ammatoa ramai pengungjung.* /Nurfathana S/WartaBulukumba/Nurfathana S

Ammatoa membagikan langsung di hadapan forum satu persatu kepada Puto Betto, Puto Pagala, Kepala Desa dan semua yang mendampingi Ammatoa. Menariknya, perempuan yang hadir dan menyajikan hidangan alakadarnya atau disebut pappatala juga diberi sejumlah uang. Dalam tradisi seperti ini, semua pihak tidak boleh menolak pemberian Ammatoa, karena dianggap sebagai tanda selesainya sebuah persoalan.

Ketika forum dianggap selesai, suasana kembali cair. Semua orang sudah bisa saling berdiskusi masing-masing. Ammatoa memanfaatkan momen tersebut rupanya untuk menyampaikan pasang dan nasehat berharga bagi semua yang hadir. Sesi ini sangat meriah karena Ammatoa sesekali ketawa dan membuat joke berupa cerita atau sindiran.

Ada Ballo Dalam Forum

Pada suasana cair yang seperti itulah, ballo (minuman keras tradisonal) dikeluarkan dari dalam rumah. Gelas diberikan kepada semua yang datang bahkan sebagian menikmati ballo dengan satu gelas yang diminum bersama secara bergantian. Bagi masyarakat Kajang, tradisi minum bersama setelah konflik selesai seperti itu dianggap sebagai bentuk kebahagiaan dan persaudaraan.

Menariknya memang adalah ketika ballo itu diminum setelah proses pertemuan dianggap selesai. Warga Kajang mengakui, ballo memang diminum setelah persoalan selesai karena apabila diminum sambil mendiskusikan masalah, tentu akan mempengaruhi mental dan pikiran seseorang. Bagi warga Kajang, ballo memang minuman yang memabukkan tapi bukan karena itu sehingga dilarang. Yang terpenting adalah bagaimana kita bersikap setelah minum ballo yakni tidak membuat onar tau masalah, tetapi segera beristirahat dan tidur.

Perdamaian pihak bersengketa ditandai dengan arahan Ammatoa pada kedua belah pihak untuk berjabat tangan di tengah forum. Hal ini menandai diakhirinya masalah dan kedua belah pihak disarankan oleh Ammatoa untuk tidak mengungkit-ungkit lagi masalah yang sudah berlalu itu di kemudian hari.

Kedua pihak yang bersengketa kemudian menjabat tangan meminta maaf kepada Ammatoa dan semua yang hadir satu persatu. Suasana haru sangat terasa, nampak wajah kedua pihak bersengketa yang awalnya tegang menjadi meriah dan senang.

Tradisi penyelesaian masalah seperti ini memang sudah berlangsung ratusan tahun. Sebuah tradisi musyawarah dan berdemokrasi yang tumbuh di atas tradisi dan nilai-nilai Pasang Ri Kajang. Pertanyaannya kemudian adalah pernahkah kita belajar cara berdemokrasi dari sebuah tatanan nilai lokal seperti di Komunitas Ammatoa? Bukankah kita sama-sama tahu bahwa tradisi seperti itu sudah ada bahkan jauh sebelum demokrasi liberal dicangkokkan oleh Barat ke dalam konstitusi negara kita?

Semestinya memang demokrasi di Nusantara bisa jauh lebih berkembang dibandingkan di Barat.

Kita sudah punya tradisi dan budaya yang berkembang berupa nilai-nilai dan praktik berdemokrasai sejak berabad-abad lalu.

Halaman:

Editor: Nurfathana S


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah