Hari Pahlawan 10 November: Pekik 'Allahu Akbar' dan Resolusi Jihad dalam pertempuran Surabaya

- 10 November 2022, 06:00 WIB
Pemuda-pemuda pejuang dalam pertempuran Surabaya, 10 November 1945
Pemuda-pemuda pejuang dalam pertempuran Surabaya, 10 November 1945 /Tangkapan layar YouTube.com/@SerbaSerbi

Setelah gencatan senjata antara pihak Indonesia dan pihak tentara Inggris ditandatangani pada tanggal 29 Oktober 1945, keadaan berangsur-angsur mereda. Walaupun begitu tetap saja terjadi bentrokan-bentrokan bersenjata antara rakyat dan tentara Inggris di Surabaya.

Bentrokan-bentrokan bersenjata di Surabaya tersebut memuncak dengan terbunuhnya Brigadir Jenderal Mallaby, pimpinan tentara Inggris untuk Jawa Timur, pada 30 Oktober 1945 sekitar pukul 20.30.

Mobil Buick yang ditumpangi Brigadir Jenderal Mallaby berpapasan dengan sekelompok milisi Indonesia ketika akan melewati Jembatan Merah.

Kesalahpahaman menyebabkan terjadinya baku tembak yang berakhir dengan tewasnya Brigadir Jenderal Mallaby oleh tembakan pistol seorang pemuda Indonesia yang sampai sekarang tak diketahui identitasnya. Terbakarnya mobil tersebut terkena ledakan granat yang menyebabkan jenazah Mallaby sulit dikenali.

Kematian Mallaby ini menyebabkan pihak Inggris murka. Mayor Jenderal Eric Carden Robert Mansergh mengeluarkan ultimatum 10 November 1945 untuk meminta pihak Indonesia menyerahkan persenjataan dan menghentikan perlawanan pada tentara AFNEI dan administrasi NICA.

Ultimatum disebarkan melalui pamflet udara oleh tentara Inggris membuat rakyat Surabaya sangat marah.

Nyaris seluruh sudut kota Surabaya dipenuhi pemuda dan kelompok bersenjata. 

Pertemuan pemuda dan kelompok bersenjata di Surabaya memutuskan mengangkat Sungkono sebagai Komandan Pertahanan Kota Surabaya dan mengangkat Surachman sebagai Komandan Pertempuran. Dari sini, muncul semboyan "merdeka atau mati".

Bung Tomo di Surabaya menjadi salah satu pemimpin revolusioner Indonesia yang paling dihormati.  Pada 1944, ia terpilih menjadi anggota Gerakan Rakyat Baru dan pengurus Pemuda Republik Indonesia di Surabaya yang disponsori Jepang. Bisa dibilang, inilah titik awal keterlibatannya dalam Pertempuran 10 November.
 
Dengan posisinya itu, bung Tomo bisa mendapatkan akses radio yang lantas berperan besar untuk menyiarkan orasi-orasinya yang membakar semangat rakyat untuk berjuang mempertahankan Indonesia. Terlebih, sejak 12 Oktober 1945 Bung Tomo juga memimpin Barisan Pemberontak Rakyat Indonesia (BPRI) di Surabaya.

Setelah terbunuhnya Brigadir Jenderal Mallaby, penggantinya, Mayor Jenderal Robert Mansergh mengeluarkan ultimatum yang menyebutkan bahwa semua pimpinan dan orang Indonesia yang bersenjata harus melapor dan meletakkan senjatanya di tempat yang ditentukan dan menyerahkan diri dengan mengangkat tangan di atas. Batas ultimatum adalah jam 6.00 pagi pada tanggal 10 November 1945.

Ultimatum tersebut kemudian dianggap sebagai penghinaan bagi para pejuang dan rakyat yang telah membentuk banyak milisi. Ultimatum tersebut ditolak oleh pihak Indonesia dengan alasan bahwa Republik Indonesia waktu itu sudah berdiri, dan TKR juga telah dibentuk sebagai pasukan negara.

Halaman:

Editor: Alfian Nawawi


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah